Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sindhunata menulis cerita bersambung Anak Bajang Mengayun Bulan sebagai lanjutan dari Anak Bajang Menggiring Bajang
Perupa Susilo Budi Purwanto memvisualkan kisah anak bajang.
Peresmian Museum Anak Bajang.
DI tangan budayawan Romo Sindhunata, raksasa bajang digambarkan sebagai sosok buruk rupa. Kulitnya hitam pekat, giginya beringgit-ringgit seperti duri-duri pandan. Taringnya tajam keluar. Hidungnya mengguntung, dahinya menggantung. Matanya membelalak, lehernya cekak, sampai ia kelihatan tak berpundak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rambut raksasa bajang itu merah, tumbuhnya jarang-jarang. Kakinya pendek, jalannya berangkang-rangkang. Punggungnya membungkuk sabut, pantatnya menggerumuk seperti mangkuk. Perutnya buncit, menggelembung seperti kelapa bergelantung. Tak ada sedikit pun keindahan melekat padanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, oleh perupa Susilo Budi Purwanto, raksasa buruk rupa itu berubah menjadi seperti bocah lucu yang menggemaskan. Wajahnya yang kemerahan, sepasang matanya yang melotot, dan gigi-gigi taringnya tersamarkan oleh raut muka ceria dan penuh kasih sayang. Hal itu tergambar dalam lukisan berjudul Hutan Jatirasa yang menjadi ilustrasi terbitan pertama cerita bersambung alias cerbung kedua Anak Bajang. Raksasa mungil itu berlarian bersama teman-temannya para penghuni hutan Jatirasa. Ada harimau, monyet, badak, bajing, burung, dan rusa. Senyumnya melebar, membuatnya tampak lebih semringah.
Lewat pameran tunggal seni rupa bertajuk “Sukrasana” yang dihelat di Bentara Budaya Yogyakarta, Susilo ingin menggamblangkan kisah Anak Bajang Menggiring Angin yang ditulis Sindhunata 40 tahun lalu dan lanjutannya, Anak Bajang Mengayun Bulan, yang mulai diterbitkan Harian Kompas pada Senin, 27 September lalu. Bahwa anak bajang adalah perwujudan Sukrasana dalam kisah serial pewayangan Ramayana. Juga bahwa Sukrasana terlahir kembar dengan saudara laki-laki yang tampan dan sempurna, Sumantri namanya. Lakon keduanya dikenal dengan cerita “Sumantri Sukrasana”.
Kelahiran 2021
Kisah kelahirannya digambarkan dalam dua lukisan yang dibuat pada tahun berbeda. Dalam satu lukisan yang dibuat pada 2020, Susilo menggambar rahim ibu yang transparan. Bayi Sumantri yang putih dan Sukrasana yang hitam meringkuk di dalam rahim, mengingatkan pada filosofi keseimbangan ala Cina. Begitu pun Susilo menjuduli karyanya: Kembar Yin Yang. Proses kelahiran si kembar tersuguh lewat ilustrasi telur pecah. Sukrasana yang berkulit hitam terduduk, sementara Sumantri yang berkulit putih berdiri. Adapun sosok ibu mereka berdiri di tengah, seolah-olah melayang. Lukisan berjudul Kelahiran itu dibuat pada 2021.
Ada 25 karya yang dibuat sebagai ilustrasi 21 bab Anak Bajang Mengayun Bulan. Yang menarik, ilustrasi itu tidak berupa lukisan wayang kulit, melainkan wayang golek. “Karena wayang golek tiga dimensi, sesuai dengan lukisan saya yang realis,” kata Susilo, yang pernah memadukan lukisan orang dengan wayang golek dalam pameran “Mirong Kampus Jingga”.
Puluhan lukisan itu lahir dari hasil pertemuannya dengan Sindhunata. Sebagian didasari teks yang ditulis budayawan sekaligus wartawan itu, ada pula yang disarikan dari diskusi mereka. “Sedari awal Romo membebaskan saya melukis dan menginterpretasikan. Saya senang karena cara itu lebih menarik,” ucap Susilo.
Pembuatan lukisan anak-anak bajang yang dimulai Susilo pada 2000 itu sekaligus memecah kebekuan Sindhunata dalam menulis cerbung kedua Anak Bajang. Sindhunata mengaku keinginan menulis lanjutan kisah itu sudah cukup lama dipendam. Cerbung pertama, Anak Bajang Menggiring Angin, diterbitkan oleh harian yang sama tiap pekan sepanjang 1 Februari 1981-21 Desember 1981. Namun, tiap kali mencoba menulis cerbung kedua, Sindhunata mengaku merasa mentok. “Macetnya bertahun-tahun,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 menjadi titik balik baginya. Ia mulai menulis cerita yang kemudian diberi judul Anak Bajang Mengayun Bulan. Ceritanya berkisar pada siklus Arjunasasrabahu yang lebih tua dari siklus Ramayana. Di sana ada lakon “Sumantri Ngenger”, juga “Sumantri Sukrasana”. Susilo menyambutnya dengan obrolan demi obrolan dan upaya menginterpretasikan teks. Dia sudah menyiapkan tiga-empat lukisan pada 2020. “Lalu saya mulai menulis, dan kelihatannya kok lancar,” tutur Sindhunata.
Keberadaan ilustrasi Susilo memberikan warna berbeda pada cerbung kedua ini. Dalam cerbung pertama, digunakan ilustrasi wayang purwa garapan Hajar Satoto. Lantas siapa sebenarnya anak bajang itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai bajang sebagai raksasa berkuku panjang yang suka mengganggu anak-anak dan perempuan hamil. Namun, bagi Sindhunata, anak bajang adalah figur dalam kenyataan yang tidak sempurna tapi merindukan kesempurnaan. “Ini sangat menarik buat saya. Lebih baik tidak sempurna dan merindukan kesempurnaan sehingga realistis dalam hidup. Daripada merasa sempurna dan seolah-olah sudah selesai,” ucapnya.
Untuk merayakan 40 tahun cerbung Anak Bajang Menggiring Angin sekaligus menandai pameran “Sukrasana” dan peluncuran Anak Bajang Mengayun Bulan, Sindhunata mengadakan Festival Anak Bajang di pesanggrahannya, Omah Petruk, Karang Klethak, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 27 September lalu. Museum Anak Bajang sekaligus diresmikan dalam momen ini. Dulu tempat berhias aneka arca dan candi itu adalah rimba tempat banyak orang dari berbagai kalangan berdiam menggali ide.
Museum Anak Bajang terdiri atas enam bangunan utama. Ada kompleks Ashram Bajang yang menampung berbagai karya seniman dalam menginterpretasikan anak bajang. Di kompleks ini ada ruang Sindhu Skoel yang berisi koleksi Sindhunata, baik tentang filsafat, seni, jurnalistik, maupun sepak bola. Sejumlah seniman juga merespons tulisannya dengan membuat ilustrasi.
Pengunjung mengamati koleksi karya seni di Museum Anak Bajang, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, 1 Oktober 2021. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Kompleks kedua, Kapujanggan, menyimpan koleksi majalah Basis sejak cetakan pertama terbitan 1951 hingga sekarang. Juga rupa-rupa hal tentang tiga sosok penting dalam perjalanan perkembangan majalah tersebut, yakni P.J. Zoetmulder, Nicholaus Driyarkara, dan Dick Hartoko. Ada juga benda-benda peninggalan misionaris Belanda, Franciscus van Lith, yang mendirikan sekolah di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, pada akhir abad ke-19, serta Al-Quran yang ditulis di atas daun lontar. Di kompleks ini juga ada Ruang Insulinde, yang koleksinya didedikasikan bagi rakyat biasa, seperti tukang becak di pangkalan dekat kantor Basis. “Dulu tukang becak membantu kami berkarya. Karena tak punya mobil, kami diangkut pakai becak,” kata Sindhunata.
Kompleks ketiga, Sanggar Pamujan, disediakan untuk panepen yang meliputi bangunan-bangunan ibadah di Indonesia. Ada Pura Gadhung Melati, Panepen Mbok Turah, Candi Slamet, Kapel Seng Petruk, Klenteng Bio Ciu Mbah Petruk, juga Langgar Tombo Ati yang menyimpan sajadah yang pernah dipakai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Kompleks itu menjadi simbol perdamaian Indonesia.
Kompleks keempat, Panyarikan, didedikasikan bagi pekerja media. Di sana terdapat foto dan dokumentasi Kompas sejak 1960-an, juga rekam jejak karya jurnalistik Jakob Oetama sebagai pionir media massa tersebut. Kompleks kelima, Omah Petroek, memiliki ruang pertemuan, dan kompleks keenam, Sekolahe Petruk, berisi ruang perpustakaan. Sayangnya, menurut Kepala Museum Anak Bajang, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, museum itu baru akan dibuka untuk publik pada tahun depan. Itu pun tidak menerima tamu rombongan massal.
PITO AGUSTIN RUDIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo