Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Yayak Yatmaka membantu anak-anak Desa Wadas bangkit dari trauma.
Ia mengajari anak-anak menyanyi dan menggambar.
Yayak sempat ditangkap dan digelandang ke kantor polisi.
SEPENGGAL lirik lagu “Tanah Kebun Bumi Wadas” melantun nyaring di Sungai Juweh di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada Senin, 14 Februari lalu. Duduk di atas batu kali, kartunis Yayak Yatmaka bersama sepuluh bocah menyanyikan lagu ciptaannya itu penuh semangat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lompatilah nyawa kita bila mau merebutnya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bumi Wadas tanah bunda kan kami jaga sampai tua
Sembari mengepalkan tangan ke udara, mereka memekikkan kata “merdeka” di akhir lagu. “Ayo, ulang lagi,” Yayak berseru kepada anak-anak.
Gemericik air, hamparan sawah yang menghijau, dan pepohonan lebat membawa suasana damai. Para bocah juga bermain dengan menumpuk bebatuan. Suara tonggeret mengiringi permainan mereka di sungai itu.
Seorang bocah, Aura, bertanya tentang botol plastik yang terseret arus. “Bung Yayak, kok botol itu dibuang ke kali sembarangan?” tuturnya. Yayak lalu menjelaskan bahaya sampah botol plastik yang sulit terurai dan mencemari lingkungan.
Sudah hampir tiga pekan kartunis yang juga pemerhati anak-anak ini tinggal di Desa Wadas. Ia membantu pemulihan trauma anak-anak seusai penangkapan 67 warga dan pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta yang menolak penambangan batu andesit di sana. Yayak salah satu yang ditangkap dan digelandang ke kantor Kepolisian Resor Purworejo.
Pria yang akrab disapa Yayak Kencrit—karena kurus—itu memutuskan tinggal sementara di rumah keluarga Siswanto. Rumah itu dipenuhi mural penolakan terhadap tambang. “Anak-anak ketakutan. Jadi kami butuh Pakde Yayak untuk menemani mereka,” kata Siswanto.
Dua puluh bocah, dari usia balita hingga sekolah dasar, menyaksikan penangkapan warga di Masjid Nurul Huda, Selasa, 8 Februari lalu. Anak-anak itu ketakutan, menangis, kerap bermimpi buruk, dan membenci polisi karena menyaksikan ayah-ibu mereka menjadi korban tindakan represif polisi.
Yayak mencatat ada lima anak yang mengalami trauma berat dan harus ditangani serius. Orang tua anak-anak itu berupaya mengatasi trauma tersebut dengan mengajak mereka berjalan-jalan ke Purworejo.
Kartunis Yayak Yatmaka menemani anak-anak yang trauma setelah polisi menangkap 67 warga di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, 14 Februari 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Selain mengajarkan nyanyian, tiga kali sepekan Yayak mengajari anak-anak menggambar di Madrasah Hidayatul Islamiyah yang dekat dengan masjid. Itu bagian dari advokasinya bagi warga Wadas dalam isu konflik agraria. Pendiri Yayasan Sekretariat Anak Merdeka ini, bersama 50 muralis asal Yogyakarta dan Solo, Jawa Tengah, mendampingi warga Wadas sejak September 2021.
Mereka menciptakan karya seni berupa mural, poster cukil kayu, rontek, baliho, dan wayang kardus. Karya seni tersebut ditempatkan di seluruh penjuru desa, dari tembok rumah warga penolak tambang hingga pos jaga. Tapi kini hanya tersisa mural di sejumlah rumah. Karya seni lain diambil polisi, tentara, dan polisi pamong praja.
Satu baliho karya Yayak berukuran 3 x 3 meter yang dipasang di pos jaga turut raib. Baliho bertulisan “Stop Pertambangan Batu Andesit di Wadas!” itu bergambar kepala Presiden Joko Widodo dengan ekskavator dan seekor babi yang membawa sebuah buntelan serta bendera negara Cina di atasnya. Jokowi digambarkan sedang menjulurkan lidah. Telinga kanannya mengenakan anting uang koin dolar dan di telinga kirinya terdapat anting bertulisan “Nawa Cita”. Yayak membubuhkan kata-kata “404: Not Found” pada dahinya.
Yayak membangun kelompok solidaritas perlawanan budaya bersama komunitas seni Taring Padi di sana. Mereka membuat wayang kardus dan rontek. Ia berencana membuat teater rakyat seperti dalam tragedi Kedung Ombo, Jawa Tengah. Siapa pun bisa terlibat bermain teater.
Pada Oktober 2021, Yayak datang ke Wadas ketika warga bersiap menghadapi putusan Mahkamah Agung atas permohonan kasasi yang mereka ajukan setelah kalah di pengadilan tata usaha negara. Dari situ ia mulai mendampingi 15 anak yang mengalami trauma seusai penangkapan warga pada 23 April 2021.
Yayak mengajari anak-anak Wadas menyanyikan lagu “Anak Merdeka”, “Roti Matahari”, dan “Sama-Sama”. "Metode praktis. Mengajak mereka bergembira dalam kesiagaan," ucap pria kelahiran Yogyakarta, 9 Maret 1956, itu kepada Shinta Maharani dari Tempo yang menemuinya di Desa Wadas.
Ini bukan pertama kalinya Yayak mendampingi warga yang terpinggirkan atas nama pembangunan. Alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini pernah menjadi buron pemerintah Soeharto karena membuat poster tentang tanah untuk rakyat. Ia antara lain menciptakan gambar di kalender yang menggambarkan kekejaman tentara dalam konflik agraria.
Kalender itu antara lain bergambar pengusaha berjas dan berdasi menenteng harta, rakyat yang terinjak, tentara berwajah monyet, serta babi dan serigala yang mengenakan pakaian membunuhi anak-anak dan menembaki warga. Ada pula sosok berwajah Soeharto yang digambarkan memangku perempuan seksi dan menduduki rakyat jelata yang kurus.
Di depan sosok Soeharto, Yayak menggambar perempuan mirip Ibu Tien—sapaan Siti Hartinah, istri Soeharto—yang hanya mengenakan bikini sedang bermain golf. “Gambar itu yang membuat Tien dan Soeharto marah besar dan saya dicekal di semua bandara pada 1991,” ujarnya. Tema skripsinya di ITB pun tergolong berani, yaitu propaganda Soeharto dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Yayak berkisah, seorang budayawan terkenal di Yogyakarta menulis tentang dia sebagai buron subversif di koran Ibu Kota. Budayawan itu menelusuri data Yayak sejak ia duduk di sekolah menengah atas dan mengirimkannya sebagai data intelijen. Sejak saat itu, Yayak menjadi buron subversif. Delapan instansi memburunya. Salah satunya Kejaksaan Agung.
Dibantu kawan-kawannya, ia melarikan diri ke Jerman melalui Singapura. Sebelumnya, ia mengirim istri dan dua anaknya yang berumur 2 dan 3 tahun ke Jerman.
Yayak bertemu dengan seniman Lekra, Basuki Resobowo, saat berada di Belanda pada 1989. Basuki mengundang Yayak ke rumahnya. Ia masuk melalui jendela dan tinggal di kolong rumah. Sejak saat itu, Yayak menjadi murid Basuki, yang mengajarinya menggambar.
Yayak juga kerap menerima undangan membuat karya seni di Eropa. Ia berkeliling ke 35 kota di pusat komik dunia, Prancis, dan mempresentasikan karyanya di aula sekolah. Karyanya bercerita tentang eksploitasi terhadap anak-anak yang bekerja di pabrik tembakau di Jember, Jawa Timur. Ia menggambar dengan kelir warna-warni, berbeda dengan seniman negara lain yang karyanya hitam-putih. “Anak-anak suka warna,” katanya.
Pada 1993, di Paris, ia berunjuk rasa memprotes pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI), kelompok negara pemberi utang bagi Indonesia. Ia membuat baliho 4 × 6 meter bergambar rakyat yang tersiksa karena pembangunan Soeharto. Baliho itu berjudul “CGI Your Aid is Our Aids!”. Bagi dia, bantuan asing seperti penyakit AIDS bagi Indonesia. Pada 1995, ia mengikuti demo besar-besaran di Dresden, Jerman, dengan menggambar buruh tani yang ditembaki.
Yayak mengaku pernah membantu Ganjar Pranowo dalam kampanye pencalonan Gubernur Jawa Tengah pada 2018. Ia beralasan Ganjar punya visi reformasi birokrasi. Namun, dalam soal Wadas, Yayak berseberangan sikap dengan Gubernur Jawa Tengah itu. Ia meminta Ganjar segera mencabut izin penetapan lokasi (IPL) yang menjadi sumber petaka warga Wadas. “Yang paling bertanggung jawab Ganjar. Bila tidak mencabut IPL, dia melakukan genosida dan ekosida,” tutur Yayak.
Menurut koordinator Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, Sana Ullaili, peran Yayak penting dalam pemulihan trauma anak-anak karena Yayak punya pengalaman panjang di Yayasan Samin. Solidaritas Perempuan Kinasih adalah komunitas yang mendampingi perempuan, kelompok rentan, dan kaum minoritas di lokasi penggusuran.
Sejak terjadi kekerasan dan penangkapan warga Wadas yang menolak pengukuran dan pematokan lahan untuk penambangan pada 23 April 2021, tak ada yang menangani trauma anak-anak. “Pakde Yayak Yatmaka banyak membantu anak-anak bangkit kembali,” kata Sana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo