Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SRINTIL meliuk dengan riang meningkahi suara calung yang dimainkan teman-teman lelakinya (diisi kelompok musik ArtSwara). Gerakannya ringan, seolah-olah tak bisa berhenti. Ia makin bersemangat karena Rasus ada di tengah para pemain calung. Sesekali ia melirik Rasus dengan manja. Namun, terhadap kawan lelaki lain yang terus berseloroh cabul, Srintil ogah menimpali. Sorot matanya jengkel, bibirnya manyun bersungut-sungut.
Trie Utami, yang memainkan Srintil pada masa anak-anak, luwes menari. Ia lalu mengubah raut wajahnya, menjelma menjadi Srintil remaja. Sebagai Srintil remaja, ia kemudian bercerita bagaimana meladeni- dua pria asing pada malam bukak klambu. Ia tak kuasa menolak upacara lelang keperawanannya tersebut. Sebab, itu adalah bagian penobatannya sebagai ronggeng di Dukuh Paruk. “Seperih-perihnya luka daging, lebih perih luka batin. Tapi ronggeng mengalami keduanya,” kata Srintil.
Drama monolog Srintil, Tembang Duka Seorang Ronggeng (dipentaskan tiga kali pada 28-29 April 2019 di Teater Salihara, Jakarta) berdurasi 75 menit. Penonton awalnya melihat sebuah lincak bambu di panggung. Di sebelahnya, ada sebuah properti berupa pohon nangka tua. Trie muncul sebagai Srintil tua yang mengingat-ingat masa lalunya. Ia memungut daun nangka yang berguguran. Dulu ia pandai merangkainya menjadi mahkota daun. Tapi sekarang ia tak sanggup lagi. Mungkin naskah yang ditulis Sitok Srengenge ini akan menjadi monolog yang menarik apabila Trie Utami memainkan Srintil tua yang terus-menerus sebagai orang pertama mengingat masa lalunya yang pahit dan berliku. Namun, di tengah pertunjukan, Trie tiba-tiba menjadi narator yang membicarakan Srintil. Di sini ia banyak “celelekan”, berusaha mengundang tawa penonton dengan celetukan-celetukan.
Monolog Srintil berangkat dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari. Dalam novel terbitan 1982 itu, Srintil akhirnya menjadi tahanan politik gara-gara malapetaka 1965. Sutradara pentas ini, Iswadi Pratama, ingin menonjolkan kesendirian penari ronggeng tersebut. Ia ingin menyelami ruang batin Srintil yang kesepian. “Karena kita tahu hampir semua orang dekat Srintil pada akhirnya pergi,” ujarnya.
Dalam kesendirian itu, Srintil mengulang gerakan-gerakan ronggeng di masa jaya. Trie Utami lincah membawakan itu. Koreografer Eko Supriyanto, yang diminta membantu pertunjukan, tak terlalu kewalahan menggembleng Trie. Sebab, sejak sekolah menengah pertama, Trie menguasai tari Sunda. Ini yang membuat roh penarinya muncul di panggung. Akan halnya musik yang ditata Ava Victoria dengan membaurkan instrumen tradisi dan sound orkestra terasa pas.
Salah satu keunggulan pentas ini adalah kemampuan Trie Utami menyanyi. Jarang sebuah pentas di Indonesia atas nama musikal dimainkan aktor yang betul-betul bisa menyanyi. Kemampuan Trie jelas bisa membuat monolog musikal ini betul-betul mengesankan. Soalnya, nyanyian-nyanyiannya di panggung kurang cukup membekas. Perubahan Trie dari menggunakan bahasa Indonesia berlogat Banyumas saat berbicara lalu menggunakan bahasa Indonesia umumnya saat menyanyi terasa kurang menyambung.
Bagi pembaca novel, yang hilang adalah bagaimana kenestapaan Srintil pada hari tua lantaran tragedi Partai Komunis Indonesia. Pada masa itu, penari ronggeng sering digunakan alat kampanye PKI sehingga Srintil terbawa-bawa. Tatkala Trie Utami di awal adegan duduk serta menyampirkan selendang berwarna merah, orang mungkin menduga bahwa pentas malam itu akan berklimaks ke sana.
Namun ternyata tidak. Separuh pementasan itu hanya bercerita soal erotisme buka kelambu. Iswadi mengklaim pentasnya sengaja ingin menyuguhkan premis berbeda dari novelnya. Terlebih selama ini isu PKI sudah berulang menjadi wacana dalam sejumlah karya sastra Indonesia. “Seakan-akan sebuah karya sastra dengan sendirinya menjadi ‘penting’ bila mengusung isu PKI,” ucapnya. Karena itu, Iswadi ingin memposisikan Srintil sebagai ronggeng yang tak pernah sadar bersinggungan dengan urusan ideologi. “Dia hanya terjebak di sana.”
ISMA SAVITRI, SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo