Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Azan isya belum lama berkumandang. Di balik panggung kecil di tepi dermaga Pulau Panggang, 38 kilometer dari Pantai Ancol, 20-an anak usia belasan berdiri berbaris. Kamis malam itu, 30 Mei lalu, untuk pertama kalinya mereka bakal tampil menghibur penduduk pulau dalam sebuah pertunjukan teater. Mengusung judul Orang Pulo di Pulau Karang, pertunjukan itu berhasil memancing rasa penasaran penduduk pulau berpenghuni kurang dari 5.000 jiwa itu. Berbondong-bondong mereka datang ke dermaga, duduk di atas tikar, berdesakan di bibir panggung.
Ketika pertunjukan akan dimulai, tiba-tiba angin bertiup kencang. Penonton bubar. "Tinggal kami sendiri di dermaga, pelenga-pelengo kebingungan, sepi sekali," kata Bambang Prihadi dari Lab Teater Ciputat, yang menjadi sutradara pertunjukan. Meski sempat sedih ditinggal penonton, semangat anak-anak itu untuk naik panggung tak luntur. Mereka setia menunggu penonton. Beruntung, dua jam kemudian dermaga kembali ramai. Tepat pukul 21.30 pertunjukan digelar.
Bambang pun dapat bernapas lega. Kerja kerasnya berbulan-bulan melatih anak-anak itu membuahkan hasil. Di atas panggung, anak-anak itu tampil luwes layaknya pemain teater berpengalaman. Mereka tetap berkonsentrasi bermain peran. Tidak peduli dengan teriakan-teriakan usil penonton, kilatan lampu kamera, ataupun cekikan teman-teman mereka yang geli melihat mereka berakting, termasuk ketika adegan sedih.
Digelar di panggung sederhana, Orang Pulo di Pulau Karang bercerita tentang dua pemuda bernama Bubung dan Babung. Babung bertekad tinggal di pulau dan mengembangkan apa yang ada di sana. Sikap itu ditentang ayah dan ibunya. "Ngapain tinggal di pulau? Lebih baik Lu pergi ke kota," kata sang ayah. Lain lagi dengan Bubung. Ayah dan ibunya justru menentang keras keinginannya merantau ke Jakarta.
Pertunjukan teater itu merupakan acara utama Hajatan Pulang Babang yang digelar empat hari berturut-turut, 30 Mei-2 Juni 2013. "Pulang Babang adalah tradisi masyarakat Kepulauan Seribu yang berarti kesadaran untuk kembali ke kampung halaman," kata Ade Surya Wijaya, pemimpin produksi Hajatan. Mengacu pada istilah inilah Lab Teater Ciputat, bekerja sama dengan beberapa lembaga, berusaha menghidupkan kembali sejumlah ritual budaya yang mulai ditinggalkan, termasuk ritual menyambut nelayan yang kembali ke kampung halaman setelah berminggu-minggu pergi melaut.
Hajatan Pulang Babang diadakan oleh Lab Teater Ciputat bekerja sama dengan beberapa lembaga di dua pulau itu. Awalnya Rosidah E. Irsyad, Kasman Setiagama, dan Risma dari Lab Teater Ciputat mengadakan riset budaya sejak Oktober 2011 hingga Januari 2012.
Pada saat penelitian itulah Dewan Kesenian Jakarta menawarkan kerja sama untuk menampilkan kesenian dan kekhasan budaya Kepulauan Seribu. Dibantu Sentra Penyuluh Konservasi Pedesaan SAMO-SAMO, Lab kemudian menggelar Warung Kepulauan Seribu berupa pameran foto, kerajinan, serta penjualan makanan khas sana. Dari situ kemudian muncul ide untuk mengembalikan ritual budaya orang Pulo—sebutan untuk masyarakat Pulau Panggang dan Pramuka—yang kian ditinggalkan.
Berdasarkan hasil penelitian yang diterbitkan pada Februari 2012 dalam buku berjudul Orang Pulo di Pulau Karang, hajatan itu pun dibuat. Nah, di antara kegiatan-kegiatan itu, teater dipandang sebagai satu sarana efektif untuk menyampaikan pesan kepada penduduk untuk kembali mengingat akar sejarah dan budayanya.
Karena tujuannya seperti itu, keterlibatan orang lokal sangat penting. Dalam teater ini, semua pemainnya adalah anak-anak Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Kedua pulau di Kepulauan Seribu itu letaknya berdekatan dan penduduknya masih memiliki hubungan darah. Tak hanya dipentaskan di Pulau Panggang, pertunjukan teater ini juga menjadi penutup hajatan yang diadakan di Plasa Pulau Pramuka, sebuah ruang terbuka di tepi pantai, tepat di depan kantor Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu.
Tapi rupanya niat mereka itu tak berjalan semulus yang diperkirakan. "Sulit sekali mengumpulkan anak-anak," ujar Bambang. Sama sulitnya dengan menghadapi kecurigaan penduduk ketika pertama kali mereka datang ke pulau itu. Bambang membutuhkan lebih dari setahun untuk meyakinkan penduduk bahwa mereka datang bukan untuk mengeksploitasi penduduk pulau ataupun punya misi politik tertentu. "Saya dulu bahkan sering dapat SMS gelap dan fitnah," katanya.
Berbagai jurus dilakukan untuk bisa membuat anak-anak pulau ikut dalam kegiatan mereka. Awalnya seminggu sekali mereka datang ke pulau. Kemudian diubah dengan mengadakan workshop setiap bulan selama tiga hari berturut-turut. Yang diajarkan bermacam-macam, dari kelas musik, artistik, tari, hingga menulis. Memang banyak anak yang tertarik ikut kegiatan mereka. Sayang, anak-anak itu hanya datang sesuka hati. Padahal berlatih teater membutuhkan kedisiplinan.
Dua bulan menjelang hari-H, Bambang akhirnya memutuskan tinggal di pulau. Cara ini dipandang efektif karena dengan begitu dia bisa memantau anak-anak asuhnya. Untuk menumbuhkan semangat anak-anak itu, ia mengundang sejumlah komunitas seni, seperti Sanggar Anak Bulungan, Teater Ghanta dari Universitas Nasional Jakarta, dan kelompok musik Dewo. Mereka bergantian menggelar pertunjukan di dua pulau itu. Syaratnya, pertunjukan harus melibatkan anak-anak pulau.
Bambang mengaku tantangan terberat, selain membangkitkan rasa percaya diri anak-anak itu, adalah membuat mereka berkonsentrasi saat berlatih. "Mereka lebih banyak ketawa-ketiwi," ucapnya. Akhirnya Bambang menggunakan cara "ekstrem". Selama empat hari menjelang pementasan, anak-anak itu dikarantina di Pulau Karya, atau lebih dikenal sebagai Pulau Kuburan, karena di sana banyak makam. Selama itu pula mental mereka ditempa, harus berkonsentrasi latihan, tak boleh lagi main-main apalagi ketawa-ketiwi. "Untungnya, walau dikasari, mereka kebal," katanya.
Improvisasi tetap boleh, asalkan sebelumnya mereka sudah paham isi cerita. Bambang, misalnya, membiarkan anak-anak itu mengubah kata "darat" menjadi "kota". Padahal Bambang sengaja menulis "darat" untuk Jakarta—bukan "kota"—agar mereka sadar bahwa pulau mereka sebetulnya bagian dari Jakarta.
Bambang juga membebaskan mereka menggunakan dialek mereka sendiri, yang dipengaruhi bahasa Bugis, Banten, Betawi, dan Madura, empat daerah asal nenek moyang mereka. Maka tak mengherankan bila di panggung, kata "saya" dan "kamu" dalam naskah diubah menjadi "aku" dan "elu". "Jadi naskah yang saya buat itu mereka ubah semua," ujar Bambang tertawa.
Cerita yang menggambarkan kehidupan masyarakat pulau tak cuma memudahkan pemain menghayati peran, tapi juga menghapus jarak dengan penonton. Apa yang tersaji di atas panggung seolah mewakili suara hati mereka. Ketika ibu Bubung mengeluhkan soal ikan yang kini makin susah didapat, penonton kompak berteriak, "Betul!"
Penonton mendadak emosional ketika ada dialog yang menyindir pejabat pemerintah setempat sebagai pejabat turis, lantaran hanya datang lalu pulang tanpa kenal dengan rakyat yang dipimpinnya. Ketika di panggung disuguhkan adegan seorang anak yang meratap karena ayahnya tidak pulang dari melaut, penonton mendadak terdiam. Kehilangan kepala keluarga memang salah satu peristiwa yang sering dialami warga pulau. Entah karena menikah lagi di tempat lain entah meninggal.
Hajatan Pulang Babang yang baru pertama kalinya digelar itu memang berhasil memikat perhatian penduduk. Namun untuk mencapai tujuan, yakni merekonstruksi budaya pulau, jelas diperlukan waktu panjang. Selain itu, ada satu pekerjaan rumah yang masih harus dihadapi. "Sampai sekarang kami belum bisa meraih anak-anak muda di sini," kata Bambang.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo