Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Bisakah Kita Masih Saling Percaya?

Rasa saling percaya longsor di zaman kecerdasan buatan dan populisme. Bagaimana mencegahnya?

23 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPERCAYAAN adalah pelumas hubungan manusia. Kita bisa berkomunikasi dan bahkan menciptakan sistem yang membuat tiap orang tunduk menjalaninya, dari hubungan antartetangga hingga tindak-tanduk diplomasi internasional, karena ada kepercayaan antarpersonal hingga kepercayaan institusional. Dalam kata-kata sejarawan Yuval Noah Harari, saling percaya membuat fiksi dan mitos merekatkan pikiran Homo sapiens yang melahirkan peradaban. Bagaimana jika kepercayaan itu runtuh?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertanyaan ini menjadi basis analisis Ros Taylor tentang apa yang akan terjadi jika saling percaya tak ada lagi dalam buku The Future of Trust. Ia wartawan Guardian di London yang berfokus meliput dampak teknologi terhadap norma dan kepercayaan antarmanusia. Ia bekerja di Jawatan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) ketika wabah virus Covid-19 mengamuk pada 2020-2022. Taylor menyaksikan bagaimana virus yang tak terlihat itu membuat kepercayaan publik Inggris kepada NHS runtuh pelan-pelan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketidaksiapan layanan kesehatan membuat infeksi virus corona menyebar dengan cepat dan membunuh jutaan orang, sementara mereka yang tak terinfeksi tak punya pegangan untuk menghindar dari serbuan virus itu. Dibarengi ketakutan yang menyebar dengan masif melalui misinformasi dan disinformasi di media sosial, publik Inggris kehilangan kepercayaan terhadap dokter dan institusi kesehatan yang berdiri pada 1948 tersebut. Gerakan antivaksin meluas, yang membuat intervensi kebijakan negara makin sulit.

Apa yang terjadi di Inggris meruyak di mana-mana. Para pakar tak lagi didengarkan. Pemengaruh dan media sosial menjadi rujukan utama ketimbang kanal-kanal berita. Di Indonesia, ketika virus ini terdeteksi masuk dan menginfeksi penduduk Depok, Jawa Barat, pada 2 Maret 2020, pemerintah malah membuka akses wisata dengan memberikan diskon penerbangan. Kebijakan karantina, pengadaan vaksin yang penuh korupsi, hingga kebijakan-kebijakan pendukung untuk mencegah penyebaran virus seraya menahan ekonomi tak ambruk menjadi pertaruhan kepercayaan publik pada institusi negara.

Ros Taylor menambahkan pemicu runtuhnya saling percaya: teknologi. Kecerdasan buatan membuat realitas berubah, teknologi informasi membuat benar dan salah menjadi nisbi, naiknya populisme membuat demokrasi goyah, hukum yang tak imparsial, hingga runtuhnya kapitalisme. Semua itu meruapkan pertanyaan tentang masa depan kepercayaan yang menjadi pelumas hubungan manusia modern.

Kita percaya pada sistem, pada sosial, dan pada hukum karena semua itu membuat kita aman dan nyaman hidup dalam batas-batas negara. Tapi bagaimana jika semua itu dilanggar?

Demokrasi bisa berjalan karena para penguasa menahan diri memakai hukum positif dan kekuasaan bertindak tidak semena-mena. Bagaimana jika norma itu dilanggar secara telanjang, seperti kita lihat dalam pemilihan presiden 2024 di Indonesia? Seperti temuan Ros Taylor, selain termakan populisme, kita kecewa terhadap demokrasi karena sistem ini tak melahirkan orang yang kita percayai. Sebuah survei global pada 2022 menunjukkan 52 persen responden tak lagi percaya pada institusi negara yang demokratis.

Kapitalisme yang dipraktikkan di banyak negara hanya melahirkan ketimpangan dan krisis iklim. Akibatnya, hilangnya kepercayaan pada institusi negara melahirkan apatisme yang menggerogoti kepercayaan antarpersonal. Kita tak lagi saling percaya, yang membuat modal sosial kita dalam bermasyarakat dan bernegara cacat. Kohesi sosial pun ambruk.

Keruntuhan itu diperburuk teknologi yang mengubah cara kita berhubungan satu sama lain. Kecerdasan buatan memang membantu manusia lebih efektif menjalani hidup. Tapi ia menjadi institusi baru yang menjadi sumber kepercayaan baru. Kita lebih percaya pada peta Google ketika mencari alamat ketimbang bertanya kepada seseorang. Kita percaya pada mesin penyimpan data di bank ketika bertransaksi melalui aplikasi maya.

Ros Taylor tak menawarkan pencegahannya. Ia hanya mengingatkan bahwa kita masih bisa mencegah keruntuhan saling percaya meluas lebih masif, yakni dengan kembali menjadi Homo sapiens, makhluk sosial yang membangun norma berbasis kemanusiaan. Buku tipis ini tak cukup menampung cara dan solusi mencegah suramnya masa depan kepercayaan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

The Future of Trust; Penulis: Ros Taylor; Penerbit: Melville House; Tebal: 128 halaman. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Masa Depan Kepercayaan"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus