Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya tidak mau masuk ke makam Santa Cruz," Mario Viegas Carrascalao menjawab cepat dan tegas ketika diajak berziarah ke pemakaman terkenal di Kota Dili itu. Tragedi berdarah 12 November 1991 seperti tak pernah lekang dari ingatan Mario. Hari itu, ribuan orang berunjuk rasa menuntut kemerdekaan sekaligus menaburkan bunga untuk Sebastiao Gomes Rangel, yang tewas oleh milisi prointegrasi di depan Gereja Motael, 28 Oktober sebelumnya. Pekik demonstran berubah menjadi jerit menyayat hati ketika aparat keamanan menyiramkan peluru ke arah mereka.
Komisi Penyelidik Nasional—saat itu Timor Leste masih menjadi provinsi Indonesia—menyebutkan setidaknya 50 orang tewas dan 96 orang terluka parah. Tapi Komite 12 November yang dibentuk pada 2008 dan mendata korban Santa Cruz menyebutkan setidaknya 186 orang terbunuh.
"Peristiwa itu amat menyedihkan, membuat saya menitikkan air mata," kata Mario, yang mengaku sebetulnya sangat susah menangis. Tapi tragedi itu pula yang dianggap menjadi pembuka jalan bagi kemerdekaan Timor Leste. Belakangan, pemerintah Timor Leste mengganjar mereka yang terlibat dalam unjuk rasa dengan penghargaan Lorico Aswain.
Sejak tragedi itu, Mario tidak mau masuk ke makam Santa Cruz, kecuali saat tabur bunga di makam ibunya, Marcelina Guterres, sekali setahun. Kini ia tak pernah lagi menjejakkan kaki ke makam tersebut karena beberapa tahun lalu sisa jenazah sang ibu dipindahkan ke gunung di Liquica, berdekatan dengan makam ayahnya dan anggota keluarga yang lain.
Pagi itu, 12 November 1991, saya meninggalkan rumah di Farol menuju kantor sekitar pukul 06.45. Di depan Gereja Motael, saya lihat gereja sudah penuh pemuda. Saya tanya ke ajudan saya yang bernama Antonio, hari itu hari apa, kok gereja ramai. Saya biasa bekerja sampai larut, sehingga sering lupa hari. Bahkan anak saya, Sonia Carrascalao, yang waktu itu masih kecil, kadang datang ke kantor dan berkata merajuk, saya masih ada. Itu karena saya kerap berangkat kantor saat dia belum bangun, dan pulang ketika dia sudah tidur.
Sesampai di kantor gubernur, saya heran tidak melihat satu pun tentara. Padahal malam sebelumnya, sudah dilaporkan oleh intel, hari itu akan ada demonstrasi. Sekitar pukul 08.00, massa lewat di depan kantor saya. Jumlahnya ribuan, mereka terbagi dalam beberapa kelompok. Saya mengambil gambar dari beranda kantor saya di lantai dua. Kemudian saya meneruskan pekerjaan.
Sekitar pukul 08.30, ajudan mengetuk pintu ruang kerja saya. Dia memberitahukan ada suara tembakan. Saya kemudian juga mendengar senapan menyalak. Saya memanggil asisten saya yang orang Badan Intelijen Strategis (Bais), Letnan Kolonel Manurung, agar mengecek apa yang terjadi. Beberapa waktu kemudian, Manurung melapor. Belum ada kepastian jumlah orang meninggal ataupun luka. Tapi sejumlah saksi mata mengatakan ratusan orang mati. Korban luka-luka dibawa ke Rumah Sakit Wira Husada di Lahane dan rumah sakit umum di Kuluhun. Sejumlah demonstran yang selamat melarikan diri ke rumah Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo di Lecidere.
Saya bersama ajudan dan Manurung kemudian berangkat ke kediaman Uskup Belo. Di sana ada 200-an orang, termasuk dua wartawan asing, Allan Nairn dan Amy Goodman. Nairn sedikit terluka. Paspor dan barang mereka disita tentara, padahal sorenya mereka harus meninggalkan Dili. Saya minta Manurung membantu mengembalikan dokumen dan barang itu.
Dari rumah Uskup Belo, saya berangkat ke rumah sakit di Kuluhun. Saya langsung ke unit gawat darurat. Di sana ada sekitar 20 orang yang terluka berat sedang dirawat. Kemudian saya menuju pemakaman Santa Cruz. Belum sampai di Santa Cruz, mobil saya dihentikan tentara. Tapi Manurung keluar dan menjelaskan bahwa orang yang di mobil adalah gubernur. Akhirnya, kami diperbolehkan lewat. Saya sempat melihat ada orang berpakaian sipil yang begitu melihat saya langsung menyembunyikan senjatanya.
Di depan pintu pemakaman Santa Cruz, saya melihat ada tiga truk. Ajudan saya bilang isinya mayat semua. Ada juga tentara yang membersihkan jalan yang penuh darah dengan pasir. Seolah-olah semua sudah dipersiapkan. Saya tidak berhenti, dan langsung kembali ke kantor. Kemudian saya mengirim berita faksimile kepada Menteri Dalam Negeri Rudini, tapi tak ada respons.
Di kantor, sekitar pukul 12.00, saya ditelepon seorang dokter. Dia mengatakan saya harus ke rumah sakit. Dia memberitahukan ada dokter dipaksa menginjeksi korban dengan air. Dia juga mengatakan ada orang yang belum mati dimasukkan ke ruang pendingin.
Saya minta istri saya menengok korban di Rumah Sakit Wira Husada. Saya katakan kepada istri saya, "Kamu sebagai Ketua Dharma Wanita punya tugas. Datanglah ke rumah sakit, lihat keadaan mereka." Saya juga minta Uskup Belo menengok korban.
Sore harinya, Panglima Daerah Militer IX/Udayana Mayor Jenderal Sintong Panjaitan dan Panglima Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) Timor Timur Brigadir Jenderal Rudolf Samuel Warouw datang ke kantor saya. Mereka mengatakan korban peristiwa pagi itu adalah 19 orang tewas dan 91 terluka. Saya bilang hampir seperti ini: "Waduh, bapak-bapak ini punya ingatan yang kuat. Saya juga tidak akan lupa angka ini. Ini kan tahun 1991, jadi 19 yang meninggal, 91 yang luka."
Esok paginya, Wakil Kepala Bais Sutaryo yang datang. Dalam pertemuan yang dilangsungkan di rumah Panglima Kolakops itu, air mata saya menetes. Padahal saya tidak mudah menangis. Saya mengatakan, "Kenapa harus begini, menembak mati orang. Kenapa tidak ditangkap saja. Diinterogasi juga boleh. Kalau salah, boleh juga ditindak." Mereka tidak menjawab. Semua diam.
Tak lama setelah tragedi 12 November itu, saya menerima sebuah kaset rekaman tentang peristiwa tersebut, sejak unjuk rasa di Motael sampai hujan tembakan di Santa Cruz. Si perekam dalam posisi berlari. Dari kaset itu, saya menyimpulkan tembakan pistol yang dikatakan sebagai tembakan peringatan ternyata sebuah komando, yang langsung disambut dengan rentetan tembakan senapan. Ketika saya menunjukkan kaset tersebut ke Menteri Dalam Negeri Rudini, yang bekas militer, dia menyimpulkan, dengan rentetan tembakan seperti itu, korban tewas bisa jadi ratusan orang.
Ketika saya melapor ke Menteri Dalam Negeri Rudini di kediamannya di kompleks Widya Candra, Jakarta Selatan, dia menawari saya perpanjangan jabatan dua tahun. Masa jabatan saya memang akan berakhir pada tahun berikutnya. Sore harinya, saya sudah ditanyai wartawan apa benar saya ditawari perpanjangan masa jabatan. Saya jawab saja, "Memang benar, tapi saya tidak mau."
Sebenarnya, Menteri Rudini selalu mendukung saya. Sintong dan Rudy Warouw juga baik. Mereka semua terkejut oleh insiden Santa Cruz. Saya percaya itu bukan permainan mereka. Itu pekerjaan orang-orang garis keras.
Akibat kejadian itu, yang kena sanksi adalah Sintong Panjaitan dan Rudy Warouw, juga beberapa orang lain. Waktu itu, saya memang mendengar mereka akan dikorbankan, dan saya memberi tahu Pak Rudy bahwa dia akan dikorbankan. Demi nama baik siapa? Saya tidak tahu. Saat itu saya benar-benar meminta insiden Santa Cruz betul-betul diperiksa. Saya juga meminta jangan ada Santa Cruz lainnya. Kejadian seperti itu akan membuat orang tidak berhenti melawan. Setelah Rudy Warouw ditarik, terbukti dia digantikan orang dari garis keras, Theo Syafei.
Menurut saya, insiden Santa Cruz sangat penting bagi perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Tragedi tersebut membuat apa yang terjadi di Timor Timur makin menjadi pembicaraan di seluruh dunia, dan membuka jalan untuk merdeka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo