Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga tahun lagi umurnya mencapai 100 tahun. Arie Smit, perupa kelahiran Zaandam, Belanda, yang dikenal melahirkan gerakan Young Artist di Bali, kini tergolek lemah di tempat tidurnya di Vila Sanggingan, Ubud. Seluruh keperluan pribadinya dipenuhi di ranjang itu. Hanya sesekali dia digendong keluar dari kamarnya untuk merasakan udara yang berbeda.
Tempo melihat dia dijaga lima pembantu yang sekaligus menjaga Vila SangÂgingan. Vila ini milik Pande Suteja Neka, kolektor lukisan dan pemilik Museum Lukisan Neka. Di kompleks vila itu, sebetulnya dibangunkan sebuah rumah khusus buat Smit, yang sekaligus menjadi studionya. Tapi, sejak kondisi fisiknya menurun drastis tiga tahun lalu, ia ditempatkan di sebuah kamar yang lebih dekat dengan para penjaganya.
Hubungan Smit dan Neka memang dekat. Neka boleh dibilang sahabat Smit. Dialah yang mengurus Smit. "Kalau ada keperluan, Pak Arie Smit tinggal memencet tombol," kata Ketut Wita, salah seorang penjaga. Hubungan Smit dengan para penjaga itu juga sudah seperti bapak dan anak karena Smit sendiri yang memilih mereka ketika dia memutuskan tinggal di tempat itu sejak 1990.
Tatkala masih sehat, Smit merupakan sosok yang suka bercerita dan mengobrol dengan semua orang. Ia kebetulan sangat fasih berbahasa Indonesia dan kemudian bahasa Bali. Ceritanya berkisar saat ia masih muda dan mengalami beberapa kali masa perang di Indonesia.
Adapun kini, ketika ia sudah tak berdaya, setiap pagi—jadwal rutinnya—badannya dibasuh. Setelah itu, sarapan pagi dengan sepotong roti dan susu. "Makannya sedikit sekali. Kalau bukan roti, bisanya pisang rebus," ujar Wita.
Saat makan itu, Smit akan berbicara sepaÂtah dua patah kata. Ia sudah tak bisa lagi mengobrol karena hal itu akan berpengaruh pada pernapasannya. Matanya juga sudah buta dan telinganya tak bisa mendengar laÂgi. Ini yang membuatnya sulit berinteraksi.
Neka membawa lukisan Smit tahun 1950-an ke Jakarta. Lukisan bertajuk Upacara di Pura tergantung di tembok ujung ruang pameran Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta Selatan. Lukisan di kanvas 31 x 39 sentimeter itu memperlihatkan tiga perempuan menyunggi sesembahan di depan pura. Garis yang membentuk pohon kelapa, gapura, dan pura sangat jelas serta linear.
Bersama belasan lukisan lain, karya Smit ditampilkan dalam pameran "Modern Balinese Painting: The Relationship with Rudolf Bonnet and Arie Smit", yang digelar sejak 23 November lalu hingga 14 Januari tahun depan. Arie Smit dan Rudolf Bonnet merupakan dua pelukis asal Belanda yang menetap di Bali dan banyak mempengaÂruhi perkembangan seni lukis modern di Pulau Dewata.
Smit, yang menetap di Bali sejak 1956, pada mulanya menghimpun sejumlah pelukis muda di sanggarnya di Ubud. Ia seorang colorist. Ia terpukau pada warna. Warna sendiri adalah sebuah komposisi. Smit melukis pura, sawah, dan suasana upacara dengan warna-warna cerah. Dari lukisannya seolah-olah terpancar perasaan gembira.
Hal itu membuat sejumlah anak muda Bali tertarik. Mereka mengikuti langkah Smit, melukis hal-hal di sekitar bukan dengan dominasi warna murung atau warna natural, seperti cokelat dan kuning tanah. Anak-anak muda yang mengikuti gaya Smit ini kemudian disebut Young Artist. Dalam pameran di Erasmus Huis itu, karya-karya Young Artist—di antaranya I Made Sinteg dan I Ketut Soki—juga dipamerkan.
Menurut kurator pameran, Helena Spanjaard, Smit memberi sentuhan baru pada seni modern Bali. Spanjaard menceritakan, I Made Sinteg awalnya diberi kertas, kuas, dan cat oleh Smit. Mula-mula Sinteg menggambar semua bentuk manusia, hewan, tumbuhan, dan rumah dengan pensil di kanvas. Dia dibiarkan melukis menuangkan idenya. Smit lalu memberi saran tentang komposisi dan pemakaian warna.
Hal yang sama dialami I Ketut Soki, I Nyoman Londo, dan beberapa pelukis lain binaan Smit. Umumnya mereka menggambar pemandangan sawah, panen padi, dan kegiatan pertanian—kehidupan yang lekat dengan keseharian mereka sebagai anak petani. Tema lain yang muncul adalah kehidupan sehari-hari di Bali, seperti upacara agama dan pernikahan.
Saat itu peran Smit tidak hanya memberi saran dalam teknik melukis, tapi juga membantu memasarkannya. Mengingat saat itu belum ada galeri di Ubud, Smit menjual lukisan-lukisan tersebut kepada teman-temannya dan wisatawan.
Kemudian Suteja Neka mendirikan Museum Neka di Campuhan, Ubud. Neka bertemu dengan Smit. Dia bahkan memberi tempat tinggal untuk Smit. Hubungan mereka cukup bagus. Neka membantu Smit mempromosikan karyanya ke luar negeri. Kreativitas dan gaya pelukis ini berkembang. Kondisi finansialnya pun terjamin. Neka sering menggelar pameran karya Smit di dalam dan luar negeri. Nama Arie Smit pun kemudian melambung.
Persahabatan itu demikian tulus. Kini, ketika Smit terbaring lemah, Neka tetap menjaganya. Terbayang puluhan tahun lalu, bersama murid-muridnya, Smit pergi ke pura, sawah, pantai, dan bukit-bukit. Mengejar cahaya Bali. Menyabetkan warna merah, marun, biru muda, kuning keemasan, dan warna riang ke kanvas. Kini, untuk mengontrol kesehatannya, seminggu sekali dua orang dokter didatangkan. "Kebetulan masih keluarga saya," kata Suteja Neka.
Dokter yang masih saudara Neka itu adalah Pande Made Karde Suteja, spesialis penyakit dalam, karena Smit sempat bermasalah dengan prostat. Satunya lagi dokter ahli penyakit faal, Prof Dr Ketut Tirtayasa. Suteja Neka sendiri tiap hari wajib mengunjungi Arie Smit, yang telah dianggap sebagai ayahnya. "Kalau tidak datang, pasti akan ditanyakan ke semua penjaga," ujarnya.
Rofiqi Hasan (Bali), Dian Yuliastuti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo