Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGESAHAN omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu memantik kritik dan protes dari berbagai kalangan. Bukan hanya mahasiswa, berbagai elemen buruh, dan kelompok masyarakat sipil, para seniman pun turut menyuarakan sikap atas pengesahan undang-undang sapu jagat yang mereka nilai hanya akan menguntungkan pengusaha dan investor itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melanie Subono, misalnya, meluapkan kekesalannya melalui Instagram. Penyanyi dan pegiat lingkungan yang bertahun-tahun mengadvokasi hak-hak buruh ini menilai omnibus law lebih banyak merugikan para pekerja. “Undang-undang itu berstandar ganda, menguntungkan sepihak dan merugikan pihak lain. Masalahnya, yang dirugikan adalah pihak mayoritas di Indonesia,” katanya, Kamis, 22 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia antara lain menyoroti pasal-pasal yang mengatur soal lembur, pesangon, cuti, pensiun, serta kesejahteraan dan jaminan pekerjaan untuk buruh. “Gua juga keberatan saat tenaga kerja asing boleh masuk tanpa membayar pajak penghasilan,” ujar Melanie, 44 tahun. Ia juga mengkritik pasal yang mengatur alih fungsi hutan lindung menjadi kawasan pertambangan.
Melanie kali ini tidak ikut berdemonstrasi. Ia memilih mengedukasi masyarakat agar memahami persoalan dan tidak termakan kabar bohong. Ia menggunakan media sosial untuk berbagi informasi dan menyuarakan pandangannya. “Gua berharap mereka bisa bergerak sendiri jika sudah paham detailnya,” ucapnya.
Vokalis grup band Efek Rumah Kaca Cholil Mahmud berpose di Jakarta, Kamis, 6 Agustus 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Ia telah mengkritik omnibus law sejak tahun lalu, ketika gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil memprotes revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat itu pemerintah melontarkan rencana penyusunan omnibus law bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Ia ikut aksi turun ke jalan, membuat petisi, serta bersama aktivis lain mengajukan permintaan audiensi agar pembahasan rancangan omnibus law, yang saat itu masih bernama Cipta Lapangan Kerja, dihentikan.
Berbeda dengan Melanie, vokalis band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, ikut bergabung dalam aksi protes massa buruh dan mahasiswa di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Oktober lalu. Sambil memetik gitar, ia menyanyikan lagu “Di Udara” yang berkisah tentang aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib serta “Bunga dan Tembok” karya Fajar Merah yang merupakan musikalisasi puisi Wiji Thukul.
Cholil, 44 tahun, menilai pembahasan omnibus law cacat secara prosedur. Dengan cakupan lintas sektor dan 11 kluster, rancangan undang-undang dibahas ngebut tanpa menyerap masukan dari masyarakat, terutama mereka yang bakal terkena dampak aturan tersebut. “Boleh saja dipercepat, tapi semua prosedur harus dilalui dengan baik. Ini sebelum masuk ke substansinya saja sudah morat-marit,” tutur Cholil, Kamis, 29 Oktober lalu.
Ia menyoroti proses pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan yang menjadi lebih longgar, kluster ketenagakerjaan yang lebih banyak merugikan pekerja, juga potensi meningkatnya konflik agraria karena pembebasan lahan dipermudah demi kepentingan investor dan korporasi.
Sempat berunjuk rasa dengan mahasiswa dan buruh di Jalan Salemba, Jakarta, 8 Oktober lalu, Cholil mengkritik pihak yang menuding demonstrasi tidak konstitusional. Padahal, kata dia, baik unjuk rasa maupun permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dijamin oleh undang-undang. “Mengatakan judicial review lebih konstitusional dan intelek hanyalah upaya pembungkaman,” ujarnya.
Puthut E.A. ,Penulis. Dok. Pribadi
Adapun sastrawan Puthut EA menyoroti proses pembahasan omnibus law yang terburu-buru, dalam waktu sempit, dan mengabaikan masukan dari publik. “Itu seperti menghina suara masyarakat,” ucap Puthut, 43 tahun, Rabu, 28 Oktober lalu. Pendiri situs Mojok.co ini menilai sikap para elite politik, baik eksekutif maupun legislatif, yang memilih pendekatan top-down dan tidak menyerap aspirasi masyarakat sangat membahayakan iklim demokrasi di Indonesia.
Puthut mengatakan pendekatan penguasa yang terkesan mengabaikan suara rakyat juga tampak dalam revisi Undang-Undang KPK tahun lalu serta kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang kini berlangsung. “Suara rakyat sebagai suara yang penting gugur. Hanya ada suara elite politik,” kata Puthut, yang aktif menyuarakan sikapnya di media sosial dan dalam diskusi virtual. Ia pernah dirisak pendengung yang menggunakan akun bot karena kritiknya.
Ia menilai omnibus law secara prinsip mencederai cita-cita reformasi karena ingin mengembalikan kekuasaan ke pusat. Padahal problem utama di era Orde Baru adalah pemusatan kekuasaan. Setelah memasuki era reformasi, wewenang pembuatan aturan diserahkan ke daerah. Adapun Presiden Joko Widodo menginginkan aturan yang tumpang-tindih dipangkas. “Tapi itu artinya cita-cita reformasi ditarik lagi,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo