Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guangzhou, Cina, Desember 2018.
PADA suatu sore, saya berjalan menuju stasiun kereta. Di sepanjang trotoar, pedagang kaki lima berjejer. Ada yang berjualan gorengan, jagung bakar, ubi rebus, dan macam-macam penganan.
Yang menarik mata saya, di hampir semua gerobak terpampang banner QR AliPay, WeChat Pay, dan lainnya. Para pembeli membayar gorengan dengan memindai kode respons cepat (QR) memakai telepon seluler mereka, lalu si penjual yang pelit senyum tinggal bilang: “Xie xie.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekarang, dua tahun kemudian di Tanah Air, itu bukan lagi pemandangan yang istimewa. Kalau kita membeli gorengan di Warung Bu Gendut di Blok M, ramai juga pembeli membayar dengan memindai kode QR memakai ponsel mereka, lalu si penjual yang murah senyum tinggal bilang: “Matur nuwun.”
Di Guangzhou dan Blok M, kita menyaksikan bagaimana teknologi keuangan alias financial technology (fintech) telah mendemokratisasi—atau supaya jangan sampai ada tuduhan bahwa artikel ini sedang mempolitisasi fintech, kita sebut saja melakukan “gorenganisasi”—dunia keuangan.
Fintech di Indonesia bertumbuh pesat dalam dua-tiga tahun belakangan. Saat mengikuti World Economic Forum (WEF) 2019 di Dalian, Cina, saya menyimak pidato Klaus Schwab, Executive Chairman WEF. Dia mengatakan pusat pertumbuhan ekonomi digital dunia bukan lagi di Cina atau India, tapi di Asia Tenggara—yang daya dorong terbesarnya datang dari Indonesia.
Banyak ahli melihat Indonesia dan Cina memiliki lanskap keuangan yang mirip. Ini diyakini merupakan lahan subur bagi pertumbuhan fintech—antara lain karena rendahnya penetrasi dunia keuangan konvensional. Indonesia hari ini seperti Cina delapan-sepuluh tahun lalu. Dengan kata lain, ruang-tumbuh fintech di Tanah Air masih begitu besar di masa depan.
Gorenganisasi
Berbagai data menunjukkan pertumbuhan pesat fintech cenderung berbanding lurus dengan kenaikan tingkat inklusi keuangan. Mari kita periksa datanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di wilayah e-money, data Bank Indonesia menunjukkan penggunaan instrumen uang elektronik (bank dan nonbank) pada 2019 telah mencapai 293 juta. Dalam tiga tahun, terjadi lonjakan 486 persen. Dari angka itu, 71 persen berasal dari e-money nonbank, seperti OVO, Dana, LinkAja, dan GoPay.
Penting dicatat, platform e-money telah menjadi semacam jembatan bagi inklusi keuangan, untuk mengantarkan warga di segmen unbanked/underbanked masuk ke sistem keuangan formal. Platform digital juga telah membuka jalur distribusi bagi jutaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)—yang sebelumnya merupakan barang mahal yang dikuasai segelintir pemain besar. Sebagai contoh, di OVO, 28-30 persen pengguna berasal dari segmen unbanked/underbanked. Dari sekitar 650 ribu merchant, 85 persen merupakan UMKM.
Fenomena yang sama kita temukan di area fintech yang lain. Salah satunya e-investasi.
Bertahun-tahun, penetrasi reksa dana nasional sangatlah memprihatinkan. Di kawasan, kita jauh tertinggal bahkan jika dibanding Malaysia dan Thailand. Pada awal 2015, jumlah nasabah cuma sekitar 280 ribu. Setelah Otoritas Jasa Keuangan membuat terobosan penting dengan mendorong pemanfaatan fintech seperti platform Bareksa, angka ini melonjak 833 persen menjadi 2,3 juta lebih per September lalu.
Gejala yang sama terjadi pada Surat Berharga Negara (SBN) Ritel. Pada Mei 2018, Kementerian Keuangan meluncurkan proyek pilot untuk mendistribusikan SBN secara online. Pada awalnya, ada delapan bank besar dan dua perusahaan fintech (Bareksa dan Investree) yang diberi mandat.
Dan kita melihat hasil serupa. Sejak itu, hingga Juli lalu, jumlah nasabah SBN Ritel melonjak 543 persen.
Lonjakan ini tidak lepas dari fenomena “gorenganisasi”. Pada awal 2017, diinspirasi kesuksesan sinergi Alibaba-Yu’e Bao, saya bertukar pikiran dengan dua pelopor e-commerce Indonesia: William Tanuwijaya (Tokopedia) dan Achmad Zaky (Bukalapak). Terima kasih kepada dua anak muda visioner ini, kami lalu bekerja sama meluncurkan terobosan serupa di Indonesia.
Tujuannya satu: reksa dana harus dengan mudah bisa dibeli oleh siapa saja, seperti membeli gorengan—bukan hanya oleh mereka yang berdompet tebal. Maka jadilah di Tokopedia dan Bukalapak, Bareksa menyediakan reksa dana yang bisa dibeli hanya dengan 10 ribu perak. Sebagai catatan, empat-lima tahun lalu, nilai minimum pembelian masih Rp 1-5 juta.
Kebijakan serupa diterapkan Kementerian Keuangan. Dari awalnya masih Rp 5 juta, nilai minimum SBN Ritel dipelorotkan menjadi Rp 1 juta saja.
Sejak “gorenganisasi” itulah terjadi lonjakan angka investor retail reksa dana dan SBN di Tanah Air.
Yang juga perlu digarisbawahi, di era pandemi, perkembangan e-investasi justru terus melaju naik—baik dari sisi pertumbuhan jumlah nasabah, frekuensi transaksi, maupun nilai dana kelolaan. Resiliensi ini sangatlah penting bagi ekonomi nasional. Lapisan investor retail yang makin tebal niscaya akan menjadi bantalan penting bagi stabilitas pasar modal dan keuangan nasional.
Regulasi
Agar semua gejala awal yang positif itu bisa terus digenjot—supaya kita bisa menyusul langkah Cina—regulasi merupakan salah satu kuncinya. Ini mengingat fintech adalah area dengan regulasi ketat. Regulasi akan membentuk ekosistem fintech nasional, dan menentukan arah perkembangannya ke depan.
Berbagai kebijakan progresif yang telah ditetapkan pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan telah membuahkan kemajuan pesat dunia fintech di Tanah Air. Karena itu, perlu terus kita dukung berbagai upaya regulator yang sedang terus melakukan reformasi kebijakan agar makin sesuai dengan kebutuhan dunia fintech.
Terlebih saat ini sedang ada upaya sebagian regulator untuk mulai beralih dari pendekatan berbasis aturan (rule-based) menjadi berbasiskan prinsip (principle-based). Pendekatan yang kedua memfokuskan desain kebijakan pada prinsip-prinsip pokok dan penting, dan melepaskan diri dari rigiditas pengaturan yang berpusat pada hal-hal teknis. Peralihan ini diperlukan, mengingat teknologi digital bergerak dengan sangat cepat secara nonlinear. Pendekatan berbasiskan prinsip akan lebih membuka ruang bagi inovasi.
Selain itu, mulai muncul berbagai inisiatif di kalangan regulator untuk mengadopsi pendekatan yang holistik; tidak lagi parsial dan terkotak-kotak. Berbeda dengan dunia keuangan konvensional, ekonomi digital dan fintech memiliki dua karakteristik penting, yakni kolaborasi dan integrasi. Kita melihat, satu aplikasi kini bisa menyediakan multilayanan. Aplikasi transportasi daring (online), misalnya, sekaligus menyediakan layanan food delivery, e-money, e-investasi, e-asuransi, dan banyak lainnya.
Adopsi atas pendekatan regulasi yang holistik ini sangatlah penting bagi perkembangan fintech kita ke depan. Begini ilustrasinya.
Katakanlah aplikasi A menyediakan layanan X dan Z. Berdasarkan pakem regulasi konvensional, regulator X cenderung akan melarang aplikasi A menyediakan layanan Z. Pasalnya sederhana: regulator X enggan ada eksposur risiko dari layanan Z (yang berada di luar wilayah tanggung jawab regulator X). Padahal, dari sisi kemanfaatan, integrasi layanan X dan Z sebetulnya sangat dibutuhkan pengguna dan transformasi dunia keuangan nasional. Karena itu, diperlukan adanya pendekatan baru dalam meregulasi layanan X dan Z secara holistik, terintegrasi, dan tidak lagi terkotak-kotak.
Berbagai upaya ke arah itu memang sedang dilakukan. Seorang pejabat senior BI menjelaskan, bank sentral sedang mendesain apa yang disebutnya sebagai “reformasi kebijakan besar-besaran” untuk mendorong fintech pembayaran di Indonesia segera naik ke level berikutnya.
Pembangunan
Yang juga membesarkan hati kita semua, di masa sulit pandemi ini, platform digital dan fintech mulai menunjukkan potensinya untuk dapat dimanfaatkan sebagai economic development tool. Salah satu contoh nyatanya adalah platform Kartu Prakerja. Program yang semula didesain untuk menyalurkan dana bantuan pelatihan kerja ini kini diperluas untuk mendistribusikan dana bantuan tunai bagi pekerja yang terkena dampak krisis akibat Covid-19.
Di atas segala kekurangan dan kritik terhadap Prakerja, platform ini sejatinya merupakan sebuah terobosan bersejarah. Untuk pertama kalinya dalam riwayat penyaluran dana bantuan sosial, Indonesia kini memiliki platform digital yang tersentral, yang memangkas masalah middlemen (perantara) yang selalu saja menghantui berbagai program penyaluran bansos sebelumnya. Tak ada lagi keluhan bahwa yang didaftarkan cuma kerabat pak lurah atau uang yang diterima disunat pak kades. Melalui platform Prakerja, satu per satu warga kini dapat langsung mendaftar, divalidasi, dan menerima dana bantuan. Tanpa orang perantara.
Benar, platform ini masih punya kelemahan. Benar, mekanismenya perlu terus disempurnakan. Tapi data menunjukkan adopsi teknologi digital pada program Prakerja telah memperbaiki berbagai parameter kunci penyaluran bansos, dibanding jika dilakukan secara manual. Tingkat validasi peserta, distribusi dana, dan penyaluran bantuan, misalnya, jauh membaik.
Inilah bukti yang senyatanya betapa fintech punya daya untuk membantu masyarakat. Platform fintech tidak hanya memainkan peran bisnis, tapi juga dapat didayagunakan sebagai alat pemberdayaan ekonomi. Secara konkret. Secara nyata.
*ARTIKEL INI MERUPAKAN PENDAPAT PRIBADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo