Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahasiswa dan aktivis menganggap proyek Taman Mini Indonesia Indah sebagai pemborosan.
Ali Sadikin menyebut Taman Mini Indonesia Indah sudah lama masuk master plan Jakarta.
Kebutuhan dana TMII awalnya akan dipenuhi pihak swasta.
MEMORI tentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 1972 sudah menguap dari ingatan Irma Hadisurya. Padahal Irma, yang saat itu berusia 25 tahun, adalah salah satu mahasiswi seni rupa Institut Teknologi Bandung yang hadir dalam diskusi lanjutan Petisi Akal Sehat, gerakan penentang pembangunan TMII.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Irma tercatat dalam artikel majalah Tempo edisi 1 Januari 1972. Dia disebut sebagai salah satu pelopor kelompok Gerakan Akal Sehat di Bandung. Dalam salah satu diskusi, Irma sempat memberi pernyataan. "Sebagai seniman saja menjokong ide Indonesia miniatur itu. Tapi ide itu belum waktunja untuk dilaksanakan sekarang karena kebutuhan lain masih belum dipenuhi," demikian kata penyandang gelar Ratu Indonesia 1969 tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun saat Tempo menanyakan ulang peristiwa itu, Irma enggan mengingatnya. "Cerita pembangunan TMII sudah enggak ada yang nyangkut di kepalaku, sedikit pun," tutur perempuan yang kini berusia 75 tahun itu, Jumat, 12 Agustus lalu.
Gerakan Akal Sehat yang muncul di Bandung diinisiasi oleh sejumlah mahasiswa dan aktivis. Mahasiswa kemudian merilis Petisi Akal Sehat karena menganggap pembangunan TMII sebagai pemborosan. Selain menyoroti dana yang besar, para penolak proyek ini memperhatikan pembebasan lahan 100 hektare yang memunculkan perlawanan dari penduduk Kampung Ceger, Jakarta Timur, pada akhir Desember 1971.
Ide Taman Mini Indonesia Indah berasal dari ibu negara, Siti Hartinah atau Tien Soeharto. Namun, menurut Ali Sadikin, gagasan serupa sebetulnya sudah ada dalam master plan DKI Jakarta yang disusun pada era Gubernur Soemarno Sosroatmodjo. Rencana ini, menurut Ali, belum terwujud karena belum ada lokasi yang pas. "Yang jadi soal adalah pihak yang mengerjakannya," ucap Ali.
Saat itu pemerintah DKI Jakarta tidak punya biaya. Tien Soeharto kemudian turun tangan menggarapnya. "Saya tidak punya alasan untuk tidak menyetujui pembangunan itu. Malah menguntungkan masyarakat Jakarta," tutur Ali seperti dikutip dari buku Bang Ali demi Jakarta 1966-1977 yang ditulis Ramadhan K.H.
Dalam buku itu, Ali menyebutkan sejumlah kritik yang dilontarkan kepadanya. Misalnya pertanyaan dari salah seorang perwakilan kelompok Gerakan Akal Sehat, “Apakah sudah waktunya proyek Mini Indonesia dibangun, mengingat masih banyak rakyat yang telantar, tidur di sepanjang rel kereta api?”
Menurut Ali, terlepas dari ada atau tidaknya proyek TMII, gelandangan bakal tetap ada dan bahkan jumlahnya terus bertambah. Kalau ini soal kehidupan gelandangan, Ali menambahkan, “Sekarang pekerjaan itu ada, uangnya disediakan orang lagi. Mengapa saya harus menolaknya?”
Sikap Ali membela pembangunan TMII memunculkan pandangan bahwa dia “pasang badan” atas rencana Tien Soeharto. Sampai-sampai Harian KAMI menulis, “Ia (Ali Sadikin) telah berhasil menarik fokus masyarakat dari Ibu Tien Soeharto kepada dirinya seluruhnya."
Namun Ali membantahnya seraya menegaskan bahwa sikapnya tidak ditumpangi siapa pun. Bersepakat ihwal pembangunan, ujar Ali, bukan berarti menyetujui penetapan waktu penyelesaian, yang ditargetkan dua tahun. "Saya punya karakter. Saya tidak akan mau ditunggangi orang, oleh siapa pun saya tidak mau.”
Ali sadar status proyek itu sempat agak kabur, apakah benar-benar digarap pihak swasta atau dibiayai negara, mengingat banyak pejabat punya andil di dalamnya. Dalam rencana awal, pembangunan TMII digarap pihak swasta dan pemerintah daerah hanya menanggung 16 persen biayanya.
Tapi belakangan Tien Soeharto meminta para gubernur membangun miniatur rumah adat di TMII. Tien juga menginstruksikan setiap daerah mengumpulkan dana Rp 40-50 juta. Padahal saat itu banyak kepala daerah mengeluh tak punya anggaran.
Walau dihujani kritik, pembangunan berlanjut hingga Taman Mini Indonesia Indah diresmikan pada 20 April 1975. Pembangunan TMII, menurut sejarawan JJ Rizal, secara dramatis mengubah morfologi kawasan timur dan selatan Jakarta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ali di Pusaran Proyek Taman Mini "