Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Arsip Nasional RI atau ANRI mendapat koleksi baru berupa 27 ribu foto dari Departemen Penerangan tentang situasi Jakarta periode 1958-1965.
ANRI tidak hanya menyimpan dokumen bersejarah, tapi juga merawat, memperbaiki, dan menyalin sebagai antisipasi kerusakan dan kehilangan.
Arsiparis juga bertugas mencari informasi seputar foto-foto yang mereka terima tanpa caption.
LIMA bocah itu tampak berdiri mematung. Dalam foto berusia 66 tahun itu, mereka berbaris rapi di depan Presiden Sukarno yang berdampingan dengan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Berbeda dengan ayah mereka yang semringah, tak ada senyum terpancar dari kelima anak itu. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Guruh Soekarnoputra, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto itu diambil di Istana Merdeka, Jakarta, pada 23 Desember 1958. Itu merupakan hari kedatangan Presiden Tito ke Jakarta. Dia mengunjungi Indonesia hingga 1 Januari 1959. Gambar tersebut merupakan bagian dari koleksi baru Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang diperoleh dari koleksi foto Departemen Penerangan seputar Jakarta pada 1958-1965. Diskusi soal koleksi tersebut berlangsung di Ruang Binakarna, Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, pada Rabu, 6 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto Megawati dan saudara-saudaranya itu menjadi bagian dari jutaan foto koleksi ANRI yang tergolong arsip statis. Arsip statis adalah arsip milik pembuat yang telah habis masa retensi atau penyimpanannya dan diverifikasi oleh ANRI. "Memiliki nilai sejarah yang tinggi," kata Wiwi Diana Sari, Direktur Pelestarian dan Perlindungan Arsip ANRI, kepada Tempo di lokasi diskusi.
Direktur Pelestarian dan Perlindungan Arsip Wiwi Diana Sari (tengah) seusai diskusi soal pengolahan arsip foto statis Departemen Penerangan wilayah Jakarta periode 1958-1965 di Ruang Binakarna, Hotel Bidakara, Menteng, Jakarta, 6 November 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Menurut dia, ada 14 media yang diarsipkan oleh ANRI. Mulai dari kertas, poster, kartografi/peta, foto, film, mikrofilm, mikrofis, rekaman suara, reel to reel sound, video, optical disc, piringan hitam, flashdisk, hingga hard disk. Di antaranya berupa 3.480.251 lembar foto, 30.644.60 lembar kertas, 384 lembar poster, 59.057 kumparan film, 14.502 gulungan mikrofilm, dan 28.087 kaset video.
Arsip-arsip ANRI kebanyakan diperoleh dari kementerian/lembaga, organisasi masyarakat, dan partai politik. Termasuk koleksi baru mereka, 57.406 lembar foto cetak seputar Jakarta periode 1958-1965 dari Departemen Penerangan. Arsip paling banyak diperoleh dari Sekretariat Negara. ”Ada kertas, foto, video, film, dan arsip elektroniknya,” kata Wiwi.
Medium arsip disimpan di Unit Pelestarian ANRI. Wiwi mengatakan temperatur ruang disesuaikan dengan media koleksi. Misalnya arsip kertas, suhunya 18-20 derajat Celsius dengan kelembapan tidak lebih dari 15 persen. Sedangkan suhu penyimpanan foto dan film harus 8 derajat Celsius. ”Di atas itu, rusak,” tuturnya.
Selama penyimpanan, ada proses pencegahan dan perbaikan dari kerusakan. Misalnya pencegahan preventif. Selain mengatur suhu ruangan, area penyimpanan harus dipastikan bebas dari debu dan kotoran. "Karena akan menyebabkan obyek arsip berjamur dan mudah diserang serangga," ujar Wiwi. Sedangkan proses kuratif berupa menambal arsip kertas yang bolong. Penambalan memakai tisu sesuai dengan warna kertas atau laminasi. Ada juga arsip kertas yang dibungkus memakai plastik khusus atau enkapsulasi.
Ada mekanisme penilaian risiko atau risk assessment. Para arsiparis memantai kondisi koleksi mereka secara berkala. Jika mendapati gejala kerusakan, mereka segera memperbaikinya. Bisa dengan laminasi, enkapsulasi, atau alih media. ”Alih media dari bentuk fisik ke digital,” kata Wiwi, yang juga menjadi pelaksana tugas Direktur Pengolahan Arsip.
Dia mengatakan setiap arsip, baik berupa kertas, film, maupun video, mengandung bahan kimia yang dengan sendirinya dapat merusak obyek tersebut. Istilahnya adalah autodegradasi. ”Jadi, kami sifatnya hanya memperpanjang umur, bukan menyetop kerusakan,” ujar magister sejarah dan kearsipan lulusan Universitas Leiden pada 2009 itu.
Seperti namanya, pengarsipan menjadi napas ANRI. Menurut Wiwi, semua medium penting harus memiliki cadangan untuk menghindari musnahnya data penting atau hilang akibat kerusakan medium utama. Penyalinan data, dia melanjutkan, kian terasa penting setelah terjadi peretasan Pusat Data Nasional pada Juni 2024. "Kalau enggak punya backup data, informasinya hilang, dong,” ucap Wiwi.
Suasana diskusi inventaris arsip foto Departemen Penerangan oleh pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia, di Ruang Binakarna, Hotel Bidakara, Menteng, Jakarta, 6 November 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Mengingat banyaknya koleksi ANRI, tidak semua arsip disalin ke bentuk digital. Ada skala prioritasnya. Pertama, kata Wiwi, arsip yang paling sering diakses. Berikutnya, arsip yang kualitas mediumnya telah menurun. Terakhir, adanya permintaan dari pengguna.
Backup data juga terbentur ketersediaan perangkat. Wiwi mengatakan, dengan pesatnya perkembangan teknologi, mereka kesulitan mendapatkan perangkat keras untuk menyalin file video dari medium kaset. "Video player kami terbatas," ujar Wiwi. Mereka telah berupaya mencari pemutar kaset video di pasar loak, tapi kebanyakan tidak bisa beroperasi secara utuh.
Pengarsipan tidak sekadar menyimpan. Ada juga proses penginformasian. ”Kita tidak hidup di zaman itu, tapi harus secara akurat menentukan waktu, peristiwa, dan tokohnya,” ujar Wiwi, yang menunjuk koleksi foto Jakarta periode 1958-1965 dari Departemen Penerangan itu.
Koordinator pengelolaan arsip wilayah Jakarta 1958, Hasna Fuadilla Hidayati, mengatakan ada saja kesulitan dalam penelusuran informasi foto yang hendak mereka arsipkan. Ribuan foto tersebut tidak disertai caption. Dia mencontohkan foto-foto seputar Asian Games 1962. Departemen Penerangan memiliki foto persiapan pesta olahraga terakbar se-Asia itu sejak 1958. Mulai dari rapat persiapan; pembangunan berbagai gelanggang di kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, itu; sampai kedatangan atlet dari 14 negara sahabat. "Tapi tak ada keterangan dan tidak berurutan secara waktu," ujar Hasna.
Untuk menambah nilai historis, para arsiparis menelusuri berbagai sumber sejarah, termasuk berita-berita di koran pada masa itu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional. Saat mendapatkan informasi tentang satu foto, mereka memeriksa ulang ke sumber lain supaya terverifikasi. Hasna dan kawan-kawan membutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk memberi keterangan pada lebih dari 6.000 lembar foto koleksi Departemen Penerangan tersebut.
Pengarsipan foto Departemen Penerangan—yang dibubarkan di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999—itu sebagian besar merekam kegiatan pemerintahan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan dan keamanan. Kris Hapsari, Ketua Tim Pengolahan Arsip I, mengatakan foto-foto tersebut kini memiliki keterangan. "Misalnya di satu arsip foto Presiden Sukarno dan Ruslan Abdul Gani, ada keterangan mereka sedang apa, di mana, kapan, dan konteksnya apa," tutur Kris. Setelah penataan fisik dan informasi, tumpukan foto tersebut diserahkan ke ruang baca. "Peneliti bisa meminjam arsipnya untuk melakukan riset."
Anhar Gonggong. TEMPO/Yosep Arkian
Sejarawan Anhar Gonggong, 81 tahun, termasuk orang yang kerap menggali informasi di kantor ANRI di Jalan Ampera Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Menurut akademikus yang banyak menulis sejarah pada periode kolonial dan pasca-kemerdekaan ini, dokumentasi ANRI cukup lengkap, termasuk arsip dari abad XIX dan XX.
Anhar mengandalkan arsip nasional milik ANRI sejak menulis buku Hadji Oemar Said Tjokroaminoto pada 1984. Menurut dia, hal yang perlu dikembangkan ANRI adalah menjalin kerja sama dengan lembaga arsip negara lain, terutama yang memiliki hubungan penjajahan dengan Indonesia, yaitu Portugis (sekarang bernama Portugal), Spanyol, Belanda, Prancis, Inggris, dan Jepang. "Mereka bisa memberikan sumber-sumber yang kita minta," kata Anhar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo