Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur menemukan bangkai kapal Van der Wijck.
Identifikasi kapal Van der Wijck terhalang kondisi perairan yang keruh.
Butuh proses panjang untuk mengevakuasi kapal Van der Wijck.
DI kedalaman 54 meter perairan Brondong, Lamongan, Jawa Timur, bangkai kapal raksasa ditemukan. Bentuknya relatif utuh saat dikenali penyelam Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur pada 14 Oktober lalu. Padahal kapal itu—diduga kapal Van der Wijck—tenggelam 85 tahun lalu dalam perjalanan dari Surabaya menuju Semarang. Pada 19 Oktober 1936, kapal Van der Wijck mengangkut 260 penumpang sebelum karam. Tragedi itu menewaskan puluhan orang di lautan, sementara ratusan lainnya dikabarkan selamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Titik lokasi bangkai kapal Van der Wijck diketahui oleh BPCB Jawa Timur sejak April lalu. Namun foto dan video kapal baru diambil pada 14 Oktober lalu oleh Faizin, penyelam yang ditugasi BPCB. Faizin adalah penyelam tradisional dari Desa Sidayulawas, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tepat tengah hari ia turun ke laut, menerobos perairan berjarak 17 mil utara Lamongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arkeolog BPCB yang mengawal penyelaman, Wicaksono Dwi Nugroho, mengatakan, pada pekan kedua dan ketiga Oktober, perairan utara Lamongan sedang jernih-jernihnya. Arusnya pun tenang. Karena itu, momen tersebut mereka manfaatkan untuk merekam, agar gambar yang dihasilkan tampak jelas. “Pada April lalu, kami gagal menyelam karena airnya keruh berlumpur. Arusnya juga kuat,” kata Wicaksono, Rabu, 27 Oktober lalu.
Hasil dokumentasi Faizin memperlihatkan samar-samar bentuk sebuah kapal. Misalnya visualisasi cerobong, palka, dan tangga. Wicaksono menduga bangkai kapal itu adalah bekas kapal kargo barang atau kargo penumpang. Walaupun penyelam hanya mampu menjangkau 36 meter dari dasar kedalaman 54 meter, Wicaksono yakin obyek itu adalah bangkai kapal Van der Wijck. “Keyakinan saya 70 persen,” ujarnya.
Kapal Van der Wijck di perairan Indonesia, antara 1921-1931. Tropenmuseum
Berdasarkan pengamatan Faizin, kapal dalam keadaan miring dengan posisi membujur barat daya dan timur laut. Adapun cerobongnya rebah ke utara. Ukuran kapal diduga cukup besar. Namun penyelam tak dapat mengukur panjang kapal karena sulit untuk turun lebih dalam. Setelah mengetahui keadaan kapal, Wicaksono menyebutkan, BPCB bakal melanjutkan eksplorasi penyelaman pada Oktober tahun depan saat perairan sedang jernih dengan memakai teknologi lebih canggih. “Percuma juga kami lanjutkan saat ini karena perairan sudah keruh lagi,” tuturnya.
Dia mengklaim target eksplorasi tahun ini hanya mengonfirmasi bahwa obyek di bawah air itu memang benar-benar kapal. Rekaman video dan foto yang diambil Faizin dibuat untuk menguatkan dugaan itu. Setelah dipastikan bahwa benda itu adalah sebuah kapal, barulah dicari identitasnya apakah benar kapal tersebut merupakan kapal Van der Wijck. Kegiatan eksplorasi itu sendiri, menurut Wicaksono, bagian dari pembuktian tersebut.
Van der Wijck adalah kapal penumpang dan kargo milik Belanda yang dibuat oleh Maatschappij Fijenoord. Namanya diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda ketika itu, Carel Herman Aart van der Wijck. Bahtera dengan panjang 97,5 meter, lebar 13,4 meter, serta tinggi 8,5 meter itu memiliki dua kelas dan geladak. Kelas pertama berkapasitas 60 orang dan kelas kedua 34 orang, sementara geladak bisa memuat 999 orang. Pada 1921, kapal mewah ini berangkat dari Feyenoord ke Indonesia.
Pada Oktober 1936, kapal ini berlayar dari Bali ke Surabaya. Dari Surabaya, Van der Wijck rencananya bakal berlabuh di Semarang, baru kemudian ke Batavia. Namun pada akhirnya kapal tersebut tak pernah sampai di Semarang. Senin petang, 19 Oktober 1936, Van der Wijck terbenam di perairan Lamongan. Sebanyak 58 penumpang meninggal, 42 orang hilang, dan ratusan lainnya selamat. Namun hingga kini belum jelas mengapa kapal itu mengalami kecelakaan.
Tim dari BPCB Jawa Timur serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lamongan berfoto di depan foto bawah air penampakan kapal Van der Wijck. TEMPO/Kukuh S Wibowo
Sebelum ini, tim cagar budaya menghimpun keterangan dari nelayan lokal mengenai titik lokasi karamnya kapal yang oleh warga setempat dijuluki Marina. Para nelayan itu kebanyakan mengetahui tentang Marina dari orang tua mereka. Walau tak bisa memberi tahu titik persisnya, mereka menunjukkan ancar-ancar lokasi tenggelamnya Van der Wijck dari mitos dan kisah yang diturunkan nelayan-nelayan terdahulu.
Berdasarkan keterangan nelayan itulah BPCB Jawa Timur mencari titik koordinat bangkai kapal melalui sonar. Mereka mengukurnya dari atas sebuah bukit dan melihat adanya anomali di dasar laut. Pada April lalu, BPCB mendatangkan penyelam profesional dari Semarang untuk mengeceknya. Namun upaya tersebut gagal karena kondisi perairan yang keruh dan berarus deras. Ketika itu, kata Wicaksono, mereka ingin mengetahui apakah anomali tersebut adalah bangkai kapal atau batu karang. “Jika betul bangkai kapal, kami ingin tahu apakah itu Van der Wijck atau bukan,” ujarnya.
•••
SELASA subuh, 20 Oktober 1946. Langit masih gelap saat petaka kapal Van der Wijck diketahui oleh para nelayan tradisional di Brondong dan Paciran, Lamongan. Nelayan-nelayan yang sudah melaut ke daerah tangkapan ikan sejauh 17 mil dari bibir pantai itu lamat-lamat mendengar suara teriakan meminta tolong. Dengan mendayung, mereka pun mendekat ke arah sumber suara. Alangkah terkejutnya para nelayan tersebut setelah mereka mengetahui banyak orang berkulit putih terapung sambil memeluk ban pelampung.
Walhasil, para nelayan urung mencari ikan. Mereka sibuk menolong korban dan mengevakuasinya ke Pantai Blimbing. Puluhan korban bisa diselamatkan. Salah satu nelayan yang turut dalam evakuasi korban adalah Sari Kastiman. Ia mengajak anak laki-lakinya yang berusia 12 tahun, Kasmijan, ikut melaut. “Kakek dan ayah saya bilang melihat banyak orang terapung, sedangkan kapalnya sudah tidak terlihat,” kata Agus Mulyono, 55 tahun, cucu Sari Kastiman, saat ditemui Tempo di kantor Rukun Nelayan Blimbing, Kamis, 28 Oktober lalu.
Kepada Agus, Sari Kastiman menyebutkan kondisi sebagian korban yang terapung sudah lemah. Tubuh mereka pucat karena kedinginan. Wajah para korban terlihat ketakutan. Sari Kastiman mengevakuasi dua gadis Belanda dan seorang pria Belanda ke Pantai Blimbing. Di tempat itu, semua korban dikumpulkan. “Kakek mengaku tidak melihat ada barang-barang berharga yang terapung kecuali manusia,” ucap Agus.
Sebagai imbalan, pemerintah Belanda, melalui Wedana Paciran, mendata para nelayan yang terlibat dalam evakuasi korban. Tiap nelayan dihadiahi satu perahu tangkapan ikan yang cukup bagus. Bila disamakan dengan era sekarang, menurut Agus, satu perahu yang diberikan Belanda kepada nelayan penolong saat itu kira-kira seharga Rp 50 juta. Belanda juga mendirikan monumen peringatan di tempat evakuasi korban.
Tugu peringatan tenggelamnya kapal van der Wijck di Brondong, Lamongan. TEMPO/Kukuh S Wibowo
Saban 20 Oktober setelah tragedi nahas itu, Belanda menyelenggarakan festival perahu dayung khusus untuk nelayan Paciran dan Brondong. Rutenya menuju titik tenggelamnya kapal Van der Wijck, lalu balik lagi ke pantai. Di lokasi Van der Wijck karam, mereka melarung sesaji. Namun, setelah Jepang datang, festival itu dihilangkan.
Menurut Agus, hingga 1980, tak ada yang berani mengulik bangkai Van der Wijck. Sebab, sebelumnya muncul desas-desus dari nelayan yang melewati jalur kecelakaan itu bahwa mereka sering mendengar suara ramai orang berpesta dan irama musik dansa. “Cerita-cerita itu membuat nelayan di sini makin tak berani mendekat,” katanya.
Pada 1982, datang seorang pemburu harta karun bernama Darsono yang mengaku sebagai pegawai Pengadilan Negeri Bojonegoro, Jawa Timur. Ia ditemani juru selamnya bernama Kadir dan beberapa pembantu. Menurut Agus, Darsono dan Kadir sering datang ke rumahnya pukul 22.00. Lewat pukul 00.00, mereka berangkat ke lokasi tenggelamnya kapal yang diduga Van der Wijck. Mereka baru balik ke rumah Agus pada siang keesokan harinya.
Dari beberapa kali penyelaman itu, Kadir berhasil membawa keluar alat dapur dari dalam kapal, seperti gelas, piring, dan sendok. Barang-barang itu ditaruh di rumah Agus yang dipakai sebagai posko. Setelah terkumpul agak banyak, barang-barang tersebut kemudian dimasukkan ke karung, lalu diangkut menggunakan mobil Darsono dan entah dibawa ke mana. Agus mengingat pernah ada satu gelas tertinggal. Bentuknya antik, layaknya gelas pesta.
Agus menuturkan, pada penyelaman terakhir, Kadir mengambil sebuah cermin dan daun jendela kapal berlapis kuningan. Agus, yang ketika itu masih duduk di kelas II sekolah menengah pertama, mendengar Kadir bercerita bahwa dia sempat melihat peti-peti besi di dalam kamar juru mudi. Namun ia tak berhasil membuka pintu kamar itu karena dikunci. Kadir berjanji menyelam lagi khusus untuk mengambil peti-peti tersebut. “Namun beberapa minggu kemudian Kadir tewas dalam kecelakaan,” tutur Agus.
Setelah Kadir meninggal, Darsono datang lagi membawa juru selam baru asal Mojokerto, Jawa Timur, bernama Syamsul. Ayah Agus, Kasmijan, pernah mengantar Syamsul turun menyelam. Tugas Kasmijan mengangkat tali yang melilit pinggang Syamsul bila ada kode dari dalam air. Belum lama menyelam, Syamsul minta ditarik. Dia melapor baru saja melihat ikan sebesar lemari diikuti ribuan ikan sejenis melintasi bangkai kapal. Setelah tenang, Syamsul menyelam lagi. Lama tidak memberi kode, ketika tali ditarik oleh Kasmijan, ternyata Syamsul sudah tak bernyawa. “Peristiwa meninggalnya dua penyelam itu membuat kapal Van der Wijck makin dikeramatkan,” ucap Agus.
Ketua Rukun Nelayan Blimbing Nurwahid menuturkan, akibat tewasnya Kadir dan Syamsul, tak ada lagi pemburu harta kapal yang berniat menjarah isinya. Pemburu besi tua pun tak berani mempereteli kapal itu. Sejak 1936 hingga 2021, berarti hanya ada tiga penyelam yang mendekati kapal tersebut, yaitu Kadir, Syamsul, dan Faizin.
Ketika menyelam pada 14 Oktober lalu, kata Nurwahid, Faizin mengatakan melihat rombongan ikan barakuda berukuran besar di sekitar kapal Van der Wijck. Ikan-ikan itu berukuran separuh badannya. Menurut Nurwahid, lokasi tenggelamnya Van der Wijck memang daerah tangkapan ikan. Berbagai jenis ikan ada di situ. “Namun, kalau besarnya di luar kewajaran seperti yang dilihat penyelam, itu tidak lazim,” ujar Nurwahid.
Tim Arkeolog Badan Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur dalam paparannya mengenai dugaan lokasi tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di Gedung Pemkab Lamongan, Jawa Timur, 21 Oktober 2021. ANTARA/HO-Pemkab Lamongan
Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho, mengatakan, karena dikeramatkan, bangkai Van der Wijck relatif masih utuh. Padahal, menurut dia, banyak bangkai kapal tenggelam habis karena dipotong-potong oleh pemburu besi tua. Wicaksono mengaku telah meneliti perairan Gresik dan Tuban, Jawa Timur. Di sana tak ada satu pun bangkai kapal yang utuh, bahkan ada yang tak berbekas.
Arkeolog maritim Universitas Indonesia, Ali Akbar, menyebutkan wilayah perairan di utara Jawa cenderung rumit karena kondisinya berlumpur sehingga menghambat jarak pandang penyelam. Namun, bila gambar kapal tersebut dapat direkam, ada sejumlah aspek yang mesti diteliti untuk menguji identitas kapal. Misalnya detail bagian kapal, seperti anjungan, buritan, haluan, tiang, dan cerobong, yang biasanya ditandai dengan nama.
“Kalau yang sekarang, sepertinya belum (pasti Van der Wijck). Kecuali kita sudah melihat tulisan nama kapalnya. Masih ada kemungkinan juga ini kapal lain karena di (perairan) Lamongan banyak bangkai kapal,” tuturnya saat dihubungi, Jumat, 29 Oktober lalu. Di Indonesia, kata Ali, ada 463 kapal tenggelam yang tercatat. Jumlah kapal yang tidak tercatat diperkirakan lebih banyak.
Bila memang bangkai kapal itu adalah Van der Wijck, Ali menilai kelayakan kapal tersebut untuk diangkat dan dijadikan obyek wisata rendah. Ini mengacu pada kapal karam Cirebon Wreck yang “menetap” di kedalaman 50-an meter dan tak bisa diangkat ke daratan. Ali menjelaskan, saat tenggelam, kapal akan mengalami kehancuran awal. Namun, saat sudah stabil di dasar laut, kapal berada dalam kondisi konstan. Tak tertutup kemungkinan, jika dipaksakan diangkat dari laut, bangkai kapal justru akan hancur.
Inilah yang membuat badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, menyarankan pelestarian in situ untuk artefak di bawah laut. Namun, jika studi kelayakan menyatakan bangkai kapal dapat diangkat, ada sejumlah hal yang perlu disiapkan, yakni tempat—semacam hanggar yang luas—juga proses desalinasi atau menghilangkan garam dari obyek setiap 15 menit. “Kami pernah punya pengalaman sekali (mengangkat dan memulihkan kapal kuno), yakni Punjulharjo di Rembang, Jawa Tengah,” ujarnya. Proses pemulihan kapal berukuran 15 x 5 meter itu berlangsung sekitar enam tahun. “Menilik ukurannya, kapal Van der Wijck tentu butuh waktu lebih lama.”
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo