Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku yang mengangkat fakta-fakta seputar revolusi kemerdekaan Indonesia dengan cukup berimbang.
Penulisnya seorang Belgia yang tidak punya hubungan dengan Indonesia.
David van Reybrouck menyajikan ulang detail sejarah revolusi Indonesia itu sehingga enak dibaca.
Penulis buku Congo: A History, David van Reybrouck, yang pernah meraih Libris History Prize 2010, menerbitkan buku tentang Indonesia berjudul Revolusi: Indonesië en het ontstaan van de moderne wereld (Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World). Setelah mempelajari sejarah kolonialisme Belgia di Kongo, dia tertarik mempelajari kolonialisme Belanda di Indonesia. Menurut dia, banyak paralelitas. Buku ini dipuji banyak pengamat karena kemampuanya menjelaskan bagaimana revolusi Indonesia sesungguhnya memiliki dampak besar bagi tatanan global saat itu, sesuatu yang kurang dieksplorasi sejarawan lain. Menurut David, tokoh-tokoh revolusi Indonesia seharusnya mendapat penghormatan dalam penulisan sejarah dunia, seperti Mahatma Gandhi.
DISKUSI buku Revolusi: Indonesië en het ontstaan van de moderne wereld di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda, Selasa, 7 Desember lalu, menjadi menarik ketika seorang peserta bernama Tati Vereecken-Suwarganda mendapat kesempatan bertanya kepada David van Reybrouck—sang penulis buku yang duduk di atas panggung.
Tati bercerita bagaimana ia mendengarkan aduan putranya yang berusia 17 tahun dan mengecap pendidikan di salah satu sekolah bergengsi di Amsterdam perihal pelajaran sejarah yang diterimanya. Pertanyaannya terkait dengan cerita masa VOC (kongsi dagang Belanda) yang dalam pelajaran sejarah Belanda dikenal dengan sebutan Periode Emas. Tati yang menikahi pria Belanda menyatakan anaknya tiba-tiba merasa tak nyaman. “Itu adalah pertama kalinya dia merasa memiliki dua identitas, sebagai orang Belanda dan punya darah Indonesia juga,” kata perempuan 47 tahun itu. Dalam diskusi di sekolahnya, Tati melanjutkan, putranya tersebut merasa sendirian mempertanyakan glorifikasi VOC tanpa memberi ruang sedikit pun untuk dampak VOC terhadap orang-orang yang dijajah dan dipaksa bekerja untuk mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi cerita Tati, David menyebutkan bahwa sejatinya ada masalah dalam pendidikan sejarah di Belanda yang dinilai tidak berimbang, juga tidak memadai. David, misalnya, menyoroti jumlah jam pelajaran sejarah selama sekolah menengah Belanda yang sedikit kalah dengan Belgia. Tebal buku Revolusi: Indonesië en het ontstaan van de moderne wereld lebih dari 600 halaman. Rencananya buku ini akan akan diterjemahkan ke sepuluh bahasa lain, seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Indonesia yang akan diterbitkan Gramedia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
David van Reybrouck saat melakukan riset dan mewawancarai penduduk di Indonesia. New Ams Film Company/Marlou van den Berge, Djoeke Veeninga
Secara garis besar buku itu berisi cerita kemerdekaan Indonesia dan peristiwa-peristiwa setelahnya yang mempengaruhi tatanan dunia modern. “Jika pendiri bangsa Amerika, Mao, dan Gandhi menjadi penting, kenapa pionir kemerdekaan Indonesia tidak?” tulis David di Bab I bukunya. Secara detail dan teliti dalam buku ini David mengaitsambungkan revolusi kemerdekaan Indonesia dengan berbagai peristiwa dunia dan memberikan argumentasi bahwa dampak revolusi Indonesia besar. Bahkan hingga periode penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika dan bermulanya kekuasaan Orde Baru. “Indonesia adalah negara pertama yang merdeka selepas Perang Dunia Kedua. Ini penting,” ujar David. Setelah itu, menyusul kemerdekan negara-negara koloni lain, seperti India dan Filipina.
Khusus Konferensi Asia-Afrika, David memberikan ulasan sangat dalam. David memberikan banyak data baru bagaimana Konferensi Asia-Afrika sangat berpengaruh terhadap tatanan dunia modern. Salah satu yang signifikan adalah bagaimana Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, sepulangnya dari Konferensi Asia-Afrika, menginisiasi krisis di Terusan Suez melawan Prancis dan Inggris. “Itu merupakan semangat antikolonialisme yang ditularkan dari Konferensi Bandung,” ujar doktor lulusan Universitas Leiden, Belanda, ini.
Salah satu temuan David yang menarik adalah bagaimana sesungguhnya Konferensi Bandung merupakan pemantik dibentuknya Uni Eropa. Menurut David, semangat yang ditularkan Konferensi Asia-Afrika membuat negara-negara Eropa kebakaran jenggot dan khawatir kehilangan wilayah koloninya, terutama setelah kehilangan Asia selepas Indonesia merdeka dan kehilangan Arab seusai konflik Suez.
Pemasangan spanduk Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955/Dok. Museum KAA
Dalam bukunya, David mengulas panjang hal ini. Pada Maret 1957, dipaparkan oleh David, negara-negara Eropa berkumpul di Roma, Italia, yang kemudian melahirkan Perjanjian Roma dan produk utamanya adalah European Economic Community (Komunitas Ekonomi Eropa). Negara-negara penanda tangan ketika itu adalah Belanda, Jerman Barat, Belgia, Prancis, Italia, dan Luksemburg. “Mereka takut kehilangan Afrika juga,” ujar David.
Sejauh ini, buku berbahasa Belanda yang terbit pertama kali pada akhir 2020 tersebut mendapat ulasan media dan tanggapan publik cukup positif. “Magnum opus,” ujar Phara de Aguirre di De Afspraak. “Tidak hanya sintesis dari kurangnya kesejarahan Belanda, tapi juga banyak aspek yang harus dipelajari lebih detail. Dan itu membuat karya David lebih berharga,” tulis harian Belgia, De Standaard.
Sebelum Revolusi, pada 2010 David menulis Congo: A History, yang berhasil meraup beberapa penghargaan, seperti Libris History Prize 2010, AKO Literature Prize 2010, dan Prix Medicis 2012. Sedangkan buku esainya, Against Elections: The Case for Democracy, yang diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 2018, berhasil menggondol penghargaan Henriette Roland Holst Prize.
•••
SEBAGAI orang Belgia, tak pernah terbayangkan oleh David van Reybrouck sebelumnya mendalami atau bahkan menulis tentang Indonesia. Penulis yang juga mantan dosen itu lebih tertarik mempelajari sejarah Kongo di Afrika yang merupakan bekas koloni Kerajaan Belgia. David merasa lebih terhubung dengan Kongo.
Namun jalan hidup berkata lain. Justru di Kongo-lah David berkenalan dengan Indonesia. Ketika itu ia sedang mengumpulkan bahan dan mewawancarai sejumlah narasumber di sana, lebih dari 10 tahun lalu. Di Kota Boma, ia menemui seorang pustakawan tua yang menjadi saksi sejarah Kongo-Belgia.Oleh sang pustakawan, David diserahi sejumlah buku. “Saya sudah tidak membutuhkannya lagi. Mungkin Anda lebih membutuhkannya,” tutur David dalam wawancara khusus dengan Tempo, menirukan si pustakawan narasumbernya, akhir November lalu.
David van Reybrouck saat melakukan riset untuk menulis buku tentang revolusi di Indonesia. New Ams Film Company/Djoeke Veeninga, Marlou van den Berge
Salah satu buku yang kemudian menarik perhatian David adalah Max Havelaar karangan Multatuli atau Douwes Dekker. Ia membaca buku terbitan 1860 yang berkisah tentang ketidakadilan kolonialisme di Hindia Belanda itu—yang oleh Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai “buku pembunuh kolonialisme”. Ia tertarik akan kisah Indonesia sejak saat itu. David mendapati apa yang dilakukan Belgia terhadap Kongo di masa kolonialnya mirip dengan apa yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia. “Raja Belgia meniru apa yang dilakukan Raja Belanda. Jadi semua inspirasinya datang dari kolonialisme Belanda,” ucap David.
Selepas buku Congo terbit, David menenggelamkan diri mengulik Indonesia. Selama kurang-lebih lima tahun sejak 2015, David berjibaku dengan semua bahan seputar periode kemerdekaan Indonesia hingga Konferensi Asia-Afrika. Ia melakukan studi arsip, riset, hingga mewawancarai hampir 200 orang untuk menerbitkan buku yang jika diterjemahkan berjudul Revolusi: Indonesia Penanda Dunia Modern itu. Ia menghabiskan lebih dari delapan bulan berpergian ke Indonesia, Jepang, dan Nepal guna mencari narasumber.
Di Nepal, dia menemui mantan serdadu Gurkha yang dibawa Inggris untuk memerangi pejuang kemerdekaan. Di Indonesia dia mendatangi tempat-tempat yang menjadi lokasi sejarah sembari mewawancarai saksi mata yang masih hidup. Dia menjelajahi Jakarta, Medan, Tasikmalaya, Bandung, Cirebon, Madiun, Malang, Yogyakarta, Bali, Manado, Gorontalo, Makassar, Lombok, hingga Ternate dan Tidore. Sejumlah narasumber yang diwawancarainya juga merupakan tokoh dan pelaku sejarah. Misalnya Soemarsono, yang ikut dalam perlawanan di Surabaya pada periode 1945 dan kemudian dituduh terlibat pemberontakan Madiun 1948, ia wawancarai di Jakarta pada 2016. “Dia adalah salah satu saksi kunci saya. Dia masih punya daya ingat yang mengagumkan di umur 95 tahun,” ujar David.
Tidak hanya tokoh, David mewawancarai orang biasa yang juga saksi sejarah. Salah satunya Hendrik Pauned Muntuuntu yang menyaksikan pendaratan tentara Jepang pada 11 Januari 1942 di Kema, Sulawesi Utara, ketika berusia 15 tahun. “Saya melihat tentara Jepang pertama. Tentu kami takut dan lari bersembunyi,” kata Hendrik, seperti yang tertulis di Bab VI buku Revolusi. Hendrik bercerita bahwa ketakutan mereka melihat orang Jepang agak aneh mengingat nelayan dan pelaut-pelaut Jepang sudah ada di sekitar Bitung sejak 1930-an. Tapi, sebelum perang dimulai, orang-orang Jepang itu dipanggil pulang bergabung dengan angkatan perang. “Sebelumnya ada sekitar 4.000 orang Jepang di sini,” tutur Hendrik.
David van Reybrouck saat riset dan mewawancarai penduduk di Indonesia. New Ams Film Company/Marlou van den Berge
Selain Indonesia, David mewawancarai pelaku sejarah Belanda. Salah satunya Ton Berlee yang berusia 100 tahun ketika diwawancarai. Ton adalah mantan serdadu KNIL (angkatan perang Hindia Belanda) yang ditugasi menghancurkan ladang minyak Plaju, Sumatera Selatan, agar tak dikuasai Jepang. “Saya berpangkat sersan ketika itu. Jumlah kami hanya 27 orang melawan serbuan Jepang,” ucap Ton, seperti dikutip dari buku Revolusi. Untuk periode Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, David salah satunya mewawancarai Sriyono, pengawal Presiden Sukarno. “Dia bercerita bagaimana dia di Bandung harus mencoba semua makanan dan minuman apakah beracun atau tidak. Keadaannya sebenarnya sedemikian genting saat itu,” tutur David.
David mengulas bagaimana Konferensi Asia-Afrika sesungguhnya hendak disabotase. Pesawat delegasi Cina yang hendak menuju Bandung meledak dua hari sebelum konferensi dimulai. “Targetnya adalah Perdana Menteri Zhou Enlai, yang merupakan tangan kanan Mao Zedong,” kata David. Tapi beruntung, Enlai tidak ada dalam pesawat nahas itu karena mengubah jadwalnya di menit-menit akhir.Untuk periode bertakhtanya Orde Baru, David juga menyoroti peran lembaga intelijen Amerika Serikat, CIA, yang membantu naiknya Soeharto. Hal yang sama juga dilakukan CIA di Afrika. “Di bulan yang sama Soeharto naik, Mobutu Sese Seko juga naik takhta dan keduanya bertahan hingga lebih dari 30 tahun,” ujarnya.
Salah satu yang disajikan dalam buku Revolusi adalah kisah para pemuda Indonesia di Belanda pada periode 1940-an yang terlibat dalam perlawanan melawan NAZI Jerman. “Itu tidak ada dalam buku sejarah Indonesia sebelumnya. Itu sesuatu yang baru,” ucap Jos Wibisono, penulis Indonesia yang menetap di Belanda. Salah satu yang menarik, kata Jos, adalah kisah Irawan Soejono yang ditembak mati dalam operasi razia pada 3 Januari 1945. Ketika itu Irawan tertangkap sedang membawa mesin cetak (stensil) sebagai alat propaganda melawan NAZI. “Jadi, selain aktif melawan kolonialisme, aktivis sosialis Indonesia terlibat melawan fasisme,” ujar mantan wartawan stasiun Radio Nederland itu.
Kemampuan David untuk meletakkan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam peta politik global ini dinilai sebagai sesuatu yang brilian. “Ini buku yang penting dan spesial karena meletakkan sejarah hubungan Indonesia dan Belanda dalam perspektif global,” kata Andhika Rutten, Wakil Ketua INS (Indonesia Nederland Society). Tak sampai di situ, David juga menyandingkan keterangan para saksi mata dengan dokumen-dokumen sejarah yang ditelitinya. Keterangan yang disampaikan Hendrik, misalnya, ia selaraskan dengan laporan militer Jepang. Demikian juga dengan kesaksian Ton Berlee. “Luar biasa bisa mendengarkan kisah ini dari kedua belah pihak,” tulis David di Bab VI.
Antrean pengunjung meminta tanda tangan penulis David van Reybrouck (kanan) di toko buku Paagman, Den Haag, Belanda, 2 November 2021/Tito Sianipar
Selain penelitian dokumen dan wawancara narasumber mahkota, karya David dipuji karena tulisannya yang bertutur sehingga enak dibaca. “Buku ini ditulis dengan indah. Sangat bagus,” ujar mantan Menteri Luar Negeri Belanda, Ben Bot, kepada Tempo. Pria bernama lengkap Bernard Rudolf “Ben” Bot ini menekankan, selain menguak apa yang pernah terjadi, hal penting lain yang perlu disikapi adalah hubungan Indonesia dan Belanda ke depannya. Dan dia juga berharap buku-buku serupa bisa diterbitkan lagi oleh sejarawan lain. “Juga ada hal-hal positif yang bisa dituliskan,” tutur pria 84 tahun itu.
Menurut Andhika Rutten, penulisan ulang sejarah semacam ini juga dibutuhkan untuk pembelajaran dan membuka ruang diskusi, terutama untuk kerja sama antar-kedua negara yang lebih erat dan setara. “Kita tidak melihat ke depan untuk melupakan masa lalu. Kita melihat ke depan karena kita tidak mau kehilangan masa depan,” ujar perempuan lulusan jurusan antropologi itu.
Untuk itu pula Raja Belanda Willem-Alexander dalam kunjungannya ke Indonesia pada Maret 2020 menyampaikan permohonan maaf atas kekejian yang dilakukan pemerintah kolonial di masa lalu. Di Istana Bogor yang didirikan VOC pada 1744, Willem Alexander mengatakan, “Saya melakukannya dengan kesadaran bahwa kepedihan keluarga yang menjadi korban masih terasa sampai saat ini.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo