Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dari Putri Priayi ke Aktivis Bawah Tanah

Umi Sardjono lahir dari keluarga priayi Jawa yang terinspirasi Kartini. Bergerilya melawan pendudukan Jepang.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Umi Sardjono lahir dari keluarga priayi Jawa dan tumbuh menjadi aktivis gerakan perempuan.

  • Umi banyak terpengaruh buku Habis Gelap Terbitlah Terang karya Kartini.

  • Umi dan suaminya tertangkap tentara Jepang saat menjadi kurir politik di Jawa Timur.

“AKU tuh saat sekolah cita-citanya sudah tinggi; bukan ingin jadi istri. Waktu itu aku ingin memperjuangkan hak perempuan seperti yang dilakukan Kartini,” tutur Umi Sardjono kepada Ruth Indiah Rahayu, Ketua Divisi Pendidikan IndoProgress Institute for Social Research and Education, pada awal 2000-an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Ruth, pengakuan itu menunjukkan bahwa keinginan memperjuangkan hak perempuan sudah muncul sejak Umi masih belia. “Di saat perempuan sebayanya ingin menjadi nyonya (menikah), Umi justru memikirkan hak perempuan,” ujar Ruth dalam wawancara via Zoom dengan Tempo, Sabtu, 25 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika Ruth menjumpainya, ingatan Umi yang saat itu sudah sepuh mulai lemah. Ruth menyebutkan mantan pemimpin Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) tersebut mulai pikun dan menderita paranoid akut. Kejadian traumatis yang ia alami selama dipenjara pada masa Orde Baru terus menghantuinya. Umi masih merasa terus diawasi hingga akhir hidupnya.

Umi Sardjono lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 24 Desember 1923, dengan nama Suharti Sumodiwirjo. Ayah Umi, Ruslan Sumodiwirjo, adalah seorang carik atau juru tulis di kawedanan. Adapun sang kakek dulu adalah prajurit Pangeran Diponegoro.

Setelah kalah oleh Belanda pada 1830, sebagian anggota pasukan Diponegoro mengungsi ke Salatiga. Mereka kemudian membuka lahan di sana, termasuk kakek Umi. “Umi mewarisi darah pejuang sang kakek, juga bapaknya, yang aktif di pergerakan,” kata Lilik H.S., penulis buku Pemenang Kehidupan (tentang penyintas perempuan 1965), pada Kamis, 30 September lalu.

Tak banyak yang Umi ceritakan kepada Ruth dan Lilik mengenai sosok ibunya. Ruth menduga itu karena pada masa lalu peran perempuan dalam rumah tangga cenderung subordinat dari lelaki. Namun status Ruslan sebagai pamong praja kawedanan memberi Umi keistimewaan untuk bisa belajar di sekolah Belanda buat bumiputra, Hollandsch-Inlandsche School.

Pada masanya, hanya segelintir orang yang mendapatkan peluang tersebut. Ruslan tak sekadar membukakan akses untuk Umi bersekolah, tapi juga mengenalkan putri keduanya ini kepada “buku babon” perjuangan perempuan saat itu, Habis Gelap Terbitlah Terang, karya Raden Ajeng Kartini.

Menurut Ruth, buku tersebut adalah benang merah yang menghubungkan aktivis-aktivis perempuan pada masa pergerakan. “Aktivis perempuan selalu membaca Habis Gelap Terbitlah Terang. Ini menarik untuk memperlihatkan transformasi kesadaran dari ide Kartini soal emansipasi perempuan menjadi suatu gerakan praktis,” tuturnya.

Selain Umi, aktivis yang membaca buku tersebut pada masa itu di antaranya Siti Soendari (wartawan Wanita Swara), Suyatin Kartowijono (salah satu penggagas Kongres Perempuan), Surastri Karma/S.K. Trimurti (jurnalis), dan Suwarsih Djojopuspito (pengarang novel Manusia Bebas).

Umi Sardjono (berdiri, tangan menyandar di pundak kawan), bersama para tokoh perempuan era kemerdekaan di antaranya Rangkayo Rasuna Said (duduk paling kiri), Kartinah Kurdi (duduk kedua dari kanan), dan S.K. Trimurti (duduk paling kanan). Repro Foto: Gunawan Wicaksono, dari koleksi: Uchikowati

Bagi Umi kecil, buku Kartini tersebut membawa pengaruh besar. Pikirannya menjadi lebih terbuka, terutama soal pentingnya memperjuangkan hak perempuan. Ayahnya yang cukup moderat memperbolehkan Umi terus bersekolah. Ayahnya tak ingin Umi seperti ibunya yang buta huruf. Umi kemudian melanjutkan sekolah di Semarang dan kuliah di Akademi Sosial Politik.

Ruth mengatakan sebenarnya ada perbedaan ideologi antara Kartini dan Umi dewasa. Sementara Kartini berdiri di garis feminisme liberal, Umi adalah seorang feminis sosialis yang dekat dengan pemikiran aktivis Marxis, Clara Zetkin. Namun Umi dan Kartini sama-sama memiliki gagasan memperjuangkan perempuan dalam hal pendidikan. Mereka memperjuangkan aturan perkawinan dini karena hampir pasti itu mencerabut hak anak perempuan bersekolah. Keduanya juga antipoligami.

Kelak, saat Umi dewasa, dua hal itu ia perjuangkan keras di parlemen. “Adapun nilai yang tak sempat dipikirkan Kartini tapi kemudian digagas Umi adalah hak-hak normatif perempuan pekerja,” ujar Ruth, yang juga kandidat doktor filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Saat berusia 15 tahun, Umi masuk ke organisasi pergerakan. Ia mengikuti jejak kakak lelakinya, juga sang ayah, yang aktif di Partai Indonesia Raya (Parindra). Umi tertarik masuk organisasi karena Parindra memberikan ruang kepada perempuan dan tidak anti terhadap cita-cita Kartini. Namun, menurut Ruth, Umi tak bertahan lama di partai tersebut. Umi menganggap gerakan Parindra kurang progresif karena berisi orang-orang tua yang sudah mapan.

Menurut Ruth, dalam Umi Sardjono: Feminis Marxis yang Menakhodai Gerwani (IndoProgress, 2017), Umi kemudian bergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Didirikan oleh Amir Sjarifuddin pada 1937, Gerindo dibentuk sebagai wadah persatuan berbagai gerakan kebangsaan Indonesia. Di dalamnya ada kader partai komunis—yang dibubarkan Belanda setelah aksi 1926—seperti Wikana, yang bertugas mengorganisasi pemuda, serta Sutrisno dan D.N. Aidit, yang membidangi politik. S.K. Trimurti juga menjadi anggota Gerindo.

Oleh Gerindo, Umi sempat ditugasi ke Blitar, Jawa Timur. Ia mendapat pendidikan gerakan “bawah tanah” dalam melawan fasisme Jepang. Ruth mengatakan strategi ini adalah ciri khas obyektif dan subyektif orang-orang “partai komunis” sesudah penghancuran oleh Belanda pada 1926, ketika para pemimpinnya kocar-kacir karena dibuang atau tak bisa kembali ke Indonesia. Daerah gerilya bawah tanah mereka cukup kuat di wilayah barat Jawa Timur, meliputi Madiun, Jombang, Kediri, Tulungagung, dan Blitar.

Pada masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, menurut Ruth, peran perempuan tak hanya mengurus dapur umum dan menjadi petugas kesehatan. Mereka juga menjadi kurir politik yang bertugas di bawah tanah untuk menyampaikan surat rahasia antarkesatuan. Pekerjaan berbahaya ini banyak diberikan kepada perempuan karena mereka jarang dicurigai Jepang. Para kurir politik, termasuk Umi, biasa menjalankan tugas dengan berjalan kaki ataupun bersepeda. Umi bertugas di wilayah barat Jawa Timur, seperti Tulungagung, Kediri, Jombang, dan Madiun.

Semasa di Jawa Timur itulah Umi berjumpa dengan Sukisman, sesama gerilyawan bawah tanah. Keduanya lantas menikah, tanpa perhelatan karena masih dalam masa perjuangan. Setelah menikah, Sukisman mengganti panggilannya dengan Sardjono, yang kemudian diimbuhkan Umi ke belakang namanya. Jadilah setelah itu Suharti dikenal sebagai Umi Sardjono. “Suharti sebelumnya memilih nama samaran Umi karena panggilan itu mudah diingat,” ujar Ruth.

Ruth menyebutkan Umi tak banyak bercerita mengenai suaminya. Ia hanya bilang bahwa Sukisman biasa dipanggil Bung Kisman dan menyebut diri mereka “suami-istri perjuangan”. Adapun menurut Lilik, usia Sukisman lebih tua daripada Umi. “Dia senior dan, setelah ada Partai Komunis Indonesia, posisinya cukup kunci di situ. Saya rasa ideologi politik Umi juga dipengaruhi suaminya,” kata Lilik.

Umi dan Sukisman terus melanjutkan tugas masing-masing sebagai kurir politik. Kondisi itu membuat keduanya kerap berpisah jalan dan bisa berbulan-bulan tak berjumpa. Ruth mengungkapkan pasangan ini tak memiliki anak. Selain menjadi kurir politik, Sukisman bertugas mengurus propaganda di stasiun radio bawah tanah. Terkadang Sukisman membawa selebaran berisi seruan kemerdekaan Indonesia. Selebaran itu digulung dan diselipkan di dalam setang sepeda untuk disebarkan ke desa-desa.

Ruth Indiah Rahayu, peneliti dan aktivis perempuan. Dok. Pribadi

Sebagai pejuang bawah tanah, Umi dan Sukisman juga bertugas menghimpun informasi dari sesama gerilyawan ataupun pihak lawan. Keduanya membuka warung makan di depan Hotel Centrum—kini bernama Hotel Tugu Sri Lestari—di Jalan Merdeka, Blitar. Umi menuturkan, warung itu penting sebagai titik temu gerilyawan dengan aktivis, juga tempat bertukar informasi. Saat mereka membayar sesuatu di warung, Umi biasa memberi selebaran rahasia. Tak jarang juga tentara Jepang makan di sana.

Suatu hari pada 1943, gerak-gerik mencurigakan Umi dan Sukisman terendus tentara Jepang. Pasangan suami-istri itu akhirnya dibekuk dan dijebloskan ke penjara. Keduanya dituduh membantu pemberontakan tentara Pembela Tanah Air pimpinan Supriyadi. Selama menjadi tawanan Jepang, Umi yang ketika itu berumur 20 tahun disiksa habis-habisan. Ia digantung dalam posisi terbalik seperti kalong, tak diberi makan dan minum. Dalam kondisi itulah Jepang melakukan interogasi. Pukulan demi pukulan datang bila Umi masih bertahan dalam diam.

S.K. Trimurti juga mendekam di rumah tahanan tersebut. Ia mengalami siksaan yang sama dengan Umi. Di penjara itulah keduanya berkenalan dan menjadi dekat. Hubungan mereka seperti kakak-adik. Umi pun biasa memanggil Trimurti dengan “Yu Tri”. Umi mengaku kepada Ruth bahwa ia amat heran karena bisa bertahan hidup walau menerima siksaan kejam. “Kok, aku enggak mati-mati, ya? Apa karena aku minum air kencingku sendiri?” tutur Umi kepada Ruth.

Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, rumah tahanan di Blitar diserbu Front Pemuda Kiri, yang pada 10 November 1945 menjadi organisasi resmi Front Pemuda Sosialis Indonesia. Serangan ini membebaskan Umi dan Sukisman beserta tahanan lain. Atas prakarsa Wali Kota Blitar ketika itu, Umi dan Sukisman mengungsi sementara di rumah Presiden Sukarno.

Setelah Proklamasi, konflik Indonesia dengan armada Sekutu meletus. Umi pun turun memanggul senjata dalam perang mempertahankan kedaulatan Indonesia, sebagai bagian dari Laskar Wanita Indonesia (Laswi). Informasi itu didengar Lilik dari Sri Sulistyawati alias Sri Sukatno, wartawan penyintas penyiksaan 1965-1979. Kepada Lilik, Sri yang mantan Sekretaris Gerwani DKI Jakarta menyebutkan Umi adalah kawan bibinya yang dulu aktif di Laswi. “Namun soal keterlibatan Umi di Laswi harus kita cek lagi kronologi tahunnya,” kata Lilik.

Menurut Sri, seperti yang ia ungkapkan kepada Lilik, anggota Laswi berjumlah ratusan perempuan yang tersebar di beberapa kabupaten. Pemimpinnya adalah Sumarsih Subiyati, istri Arudji Kartawinata, Komandan Badan Keamanan Rakyat Divisi III Jawa Barat, cikal-bakal Divisi Siliwangi. Gerakan ini memiliki sejumlah unit, seperti dapur umum, palang merah, kurir, dan prajurit garis depan.

Tak hanya menjadi kurir, Umi Sardjono sempat turun ke gelanggang perang. Kepada Lilik, Sri mengaku sempat melihat perawakan Umi. “Saya masih kecil. Kaget sekali melihat ada seorang perempuan masuk rumah pakai baju tentara dan sepatu lars. Itulah Umi Sardjono,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus