Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengungsi ke hutan, Yakub Tabuni hanya memakan dedaunan, seperti pakis, untuk bertahan hidup. Ia meninggalkan rumah, kebun, dan babi-babinya di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga, setelah Tentara Nasional Indonesia masuk ke kampungnya pada Selasa pertama Desember 2018. Bekalnya hanya pakaian yang melekat di badan.
Sepekan di hutan, Yakub meneruskan perjalanan ke Wamena di Jayawijaya, kabupaten tetangga Nduga. Keluarga dan tetangganya di Mbua yang ikut menyingkir ke hutan mengikutinya berjalan kaki. Saat di langit terdengar deru helikopter, mereka menghentikan perjalanan, lalu bersembunyi sampai capung besi itu betul-betul jauh.
Di Wamena, mereka tinggal di honai-honai milik kerabat. Satu rumah adat Papua itu bisa dihuni belasan hingga dua puluhan orang. Berbagi ruang sempit, mereka tidur beralaskan rumput kering. Untuk makan, para pengungsi mengandalkan uluran kerabat. “Apa yang saya alami akan disampaikan suatu saat kepada anak-cucu,” kata Yakub, menceritakan lagi pengalamannya, Rabu, 20 Maret lalu.
Wamena salah satu tujuan utama pengungsi dari Nduga. Di Kampung Walesi, Wamena, ada 20 keluarga asal Distrik Mugi dan Mam dari Nduga yang tinggal di honai-honai di dekat Gereja Kemah Injil. Pendeta Kones Kogoya, yang ikut mengungsi, mengatakan hampir setiap hari ada keluarga dari dua distrik tadi tiba di Walesi. Menurut Kones, masih banyak penduduk yang tinggal di hutan. “Kebanyakan mama dan bapa tua yang sudah sulit berjalan,” ujarnya.
Ada juga yang pindah ke distrik lain, seperti ibu kota Nduga, Kenyam, serta kabupaten lain, seperti Lanny Jaya dan Asmat. Wakil Bupati Nduga, Wentius Tabuni, yang tinggal di Kenyam, mengatakan jumlah pengungsi sulit diketahui karena tiada lokasi khusus pengungsi.
Sekretaris Eksekutif Yayasan Teratai Hati Papua, Ence Geong, yang mendampingi para pengungsi di Wamena, mengatakan di wilayah tersebut diperkirakan ada 2.200 pengungsi yang tersebar di 26 tempat. “Data sementara, mereka berasal dari 16 distrik,” ucap Ence. Nduga memiliki 32 distrik. Menurut Ence, ada lebih dari 600 anak usia sekolah yang hijrah ke Wamena.
Pada Februari lalu, sejumlah sukarelawan mendirikan sekolah darurat di area Gereja Kemah Injil Indonesia di Papua di Distrik Wamena. Jadilah sembilan kelas seluas 4 x 4 meter yang beratap seng, berdinding terpal, minus pintu. Mejanya hanya berupa kayu kasar yang lebarnya tak sampai sejengkal. Satu kelas bisa dijejali 30 orang.
Anak pengungsi asal Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, di kawasan Walesi, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Kamis, 21 Maret 2019 (kanan)./Tempo/Pramono
Relawan membagikan dua buku tulis untuk semua murid. Sejumlah anak pengungsi bahkan rela berjalan lebih dari satu jam, naik-turun bukit, dengan kaki telanjang menapaki jalan berbatu kasar untuk mencapai sekolah gubuk tersebut. Selepas belajar, mereka mendapat makan siang. Kadang nasi bercampur mi instan, kadang ubi dan sayur. Dengan jumlah piring terbatas, juga tanpa sendok, yang sudah makan membilasnya dengan air, lalu mengembalikan ke dapur darurat untuk digunakan murid lain.
Keberadaan sekolah darurat itu menjadi berkah untuk para murid Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Mbua di pengungsian. Sejak April 2018, sebelum konflik pecah, mereka hampir tak pernah masuk sekolah di distrik asalnya. “Tak ada guru yang datang,” ujar Sefrili, murid perempuan. Menurut dia, para guru yang kebanyakan tinggal di Wamena hanya dua kali datang, yakni untuk menyelenggarakan ujian serta memberitahukan kenaikan kelas dan kelulusan.
Guru matematika SMAN 2, Demianus Hiloka, membenarkan cerita Sefrili. “Kami tidak lagi mendapat insentif tambahan. Jadi tidak ada guru datang ke sana,” ucapnya.
Pada Senin, 18 Maret lalu, Sefrili dan 12 murid kelas III mengikuti ujian sekolah berstandar nasional. Ia mengaku belajar cukup keras sehari sebelumnya. Meminjam seragam sekolah milik saudaranya, Sefrili bersemangat mengerjakan soal ujian. Ia ingin melanjutkan kuliah di Jayapura. “Saya ingin jadi dokter atau perawat,” katanya.
Sefrili bukan nama aslinya. Ia meminta namanya dirahasiakan karena masih menyimpan rasa takut seusai pertempuran di Mbua pada awal Desember 2018. Saat itu, sahabatnya, Mianus Elokbere, tewas tertembak. Senin itu, jika masih hidup, Mianus juga mengikuti ujian.
MENGUNGSI ke hutan, bagi Seriana, 39 tahun, adalah penderitaan yang luar biasa. Usia kandungannya sudah lebih dari delapan bulan. Pada 18 Desember 2018, dia mendengar kabar bahwa tentara bergerak menuju Desa Mapenduma, tempat tinggalnya. Mendengar letusan senapan berkali-kali, Seriana memaksa suaminya membawa anak-anak mereka ke hutan. Saat itu, rasa sakit yang mendera kedua kakinya membuat Seriana sulit berjalan. “Saya sudah pasrah,” ujar Seriana.
Esok paginya, suara tembakan kembali terdengar. Seriana terbangun. Dibekap kepanikan, Seriana memaksa berjalan. Darah mengalir di kakinya, tapi dia terus melangkah. Sempat bersembunyi berkali-kali, ia akhirnya tiba di hutan. Suaminya kemudian memapahnya lebih jauh ke dalam hutan.
Esok paginya, suara tembakan kembali terdengar. Seriana terbangun. Dibekap kepanikan, Seriana memaksa berjalan. Darah mengalir di kakinya, tapi dia terus melangkah. Sempat bersembunyi berkali-kali, ia akhirnya tiba di hutan. Suaminya kemudian memapahnya lebih jauh ke dalam hutan.
Seriana hanya bisa berbaring di selter darurat yang dibikin suaminya dari ranting dan dedaunan. Dia menahan dinginnya hutan Mapenduma yang membuat tubuh terus menggigil. Makanannya pun hanya sayur pakis.
Sehari sesudah Natal, tanpa kehadiran dokter atau perawat, Seriana melahirkan sendiri anak perempuan. Setiap saat, istri seorang petani ini harus menenangkan anaknya yang menangis supaya posisinya tidak diketahui.
Kondisi Seriana justru memburuk. Dia tak bisa lagi berjalan. Suami dan sejumlah penduduk kampung menandunya ke Distrik Paro. Bupati Nduga, Yarius Gwijangge, yang mendengar kabar soal Seriana, kemudian mengirimkan helikopter yang membawa Seriana ke Kenyam. Setelah membaik, dia dan keluarganya pindah ke Wamena.
Seriana bukan satu-satunya mama yang melahirkan di hutan. Di salah satu honai yang menampung pengungsi asal Mbua, ada seorang perempuan muda yang melahirkan anak keduanya di tengah rimba. Dua perempuan yang melahirkan bayi itu memberi nama yang menggambarkan penderitaan yang mereka alami.
Seriana memberi nama anaknya “Mugrukwe”, yang dalam bahasa Nduga berarti “lari dikejar”. Sedangkan perempuan muda asal Mbua menamai anaknya “Pengungsi”.
Daur Kekerasan di Wilayah Merah
STEFANUS PRAMONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo