Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangeran Diponegoro kecil berjalan keluar dari tembok Keraton Yogyakarta. Bersama nenek buyutnya, Ratu Ageng, Diponegoro yang masih berusia tujuh tahun itu keluar untuk membaur dan merasakan penderitaan rakyat jelata. Diponegoro bocah melihat perempuan-perempuan berjalan membungkuk karena lecutan cambuk tentara Belanda. Lantunan musik keraton ala langendrian atau kesenian Jawa berbentuk dramatari mengiringi langkah Diponegoro (Emmanuel Cahyo Timur Mahija) dan Ratu Ageng (Fitria Trisna Murti).
Selanjutnya adegan beralih ke Ratu Ageng dan Sultan Hamengku Buwono I menuju Diponegoro kecil. Diponegoro diramalkan menjadi seorang tokoh yang menggetarkan tanah Jawa melebihi Hamengku Buwono I. Adegan itu bagian dari pergelaran teater tari berjudul Aku Diponegoro yang dipersembahkan Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis, 28 Maret lalu. Koreografer Djarot B. Dharsono dan komposer Danis Sugiyanto menggarapnya berdasarkan naskah karya Landung Simatupang, yang meramu kisah hidup Diponegoro hingga ditangkap Jenderal Hendrik Merkus de Kock di rumah keresidenan yang kini menjadi Museum Pengabdian Pangeran Diponegoro di Magelang, Jawa Tengah, lokasi pementasan Aku Diponegoro.
Bangunan berarsitektur Belanda lewat kosen-kosen jendelanya yang menjadi latar pentas mengingatkan orang pada kelicikan dan kekejaman Belanda kepada Diponegoro. Pengaruh Ratu Ageng dalam pembentukan karakter Diponegoro yang muncul pada awal pementasan mendapat porsi besar. Ratu Ageng membawa Diponegoro menjauh dari kehidupan Keraton Yogyakarta yang penuh intrik politik di bawah kekuasaan kolonial.
Berkat Ratu Ageng, Diponegoro mengenal kemalangan rakyat karena penindasan kolonial. Ratu Ageng jugalah yang mengajarkan seni, budi pekerti, dan mengaji Al-Quran. “Ratu Ageng punya peran besar menempa Diponegoro lewat pendidikan yang sangat kuat,” kata Djarot B. Dharsono seusai pertunjukan.
Pentas ini merupakan rangkaian acara “Gerakan Melek Sejarah Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan”. Selain pentas teater tari, ada pameran sastra rupa Babad Diponegoro “Magelang, 28 Maret 1830” di Museum BPK Magelang pada 29-31 Maret 2019, bedah buku sisi lain Diponegoro, dan pemutaran film.
Djarot memadukan tari sufi, tari Jawa, dan gerakan bela diri. Dia melibatkan 55 penari yang kebanyakan berlatar pendidikan di Institut Seni Indonesia Surakarta. Pemusik berjumlah 16 orang. Musik gamelan dan tembang Jawa mengiringi pertunjukan selama 90 menit. Tak ada teks terjemahan untuk membantu pengunjung yang tidak memahami bahasa Jawa. Djarot menyebutkan teks terjemahan tidak disertakan karena dia berfokus pada penggambaran fakta sejarah dalam pertunjukan.
Gamelan dalam pertunjukan dimainkan langsung dan ditambah dengan perkusi terbang atau santriwan ala Islam Jawa. Tembang Jawa yang dilantunkan mengambil Babad Diponegoro. Komposer Danis Sugiyanto menyuguhkan pangkur sura greget, durma rangsang, sinom, dandanggula, dan mijil. Yang khas dari pertunjukan itu adalah lagu rakyat pesisiran untuk adegan rakyat menunggang kuda. Para penari juga mempertunjukkan gerakan silat pada bagian ini.
Danis menciptakan musik rakyat yang terinspirasi gamelan Monggang keraton yang ia modifikasi sesuai dengan fungsi awalnya sebagai pengiring pasukan berkuda. “Saya mentransfer musik secara kerakyatan menjadi tari jaranan atau kuda lumping,” tutur Danis.
Selain menyajikan musik rakyat yang mengentak, Danis menampilkan musik yang menyayat dalam adegan para wali dan santri hidup bersama Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, Yogyakarta, yang kini menjadi Monumen Pangeran Diponegoro. Di Tegalrejo inilah Ratu Ageng tinggal dan membawa pengaruh pada kepemimpinan Diponegoro. Sang pangeran kecil bernama Raden Antawirya menghabiskan masa kanak-kanaknya. Dia menyaksikan kehidupan rakyat jelata, persawahan, dan pasar. Kehidupan Tegalrejo itu tergambar dalam visualisasi layar besar bergambar aktivitas kerumunan orang di pasar. Ada juga kusir bersama andong dan rumah-rumah rakyat jelata.
Puji-pujian terdengar mirip dalam agama Buddha, yakni om, om, om. Tapi Danis menyebutkan ide lantunan dari para pemusik itu berasal dari meditasi Islam. “Saya membayangkan Islam pada waktu itu ada yang berdoa atau berzikir menggunakan lafal la ilaha illallah,” ucapnya.
Landung Simatupang sang penulis naskah tentu saja berperan penting menghidupkan pertunjukan. Landung menjadi narator, mementaskan pembacaan dramatis kisah Diponegoro sepanjang pentas. Naskah itu bersumber dari buku Kuasa Ramalan karya Sejarawan Peter Carey serta Babad Diponegoro yang ditulis Diponegoro ketika berada di pengasingan Manado dan Makasar.
Landung pernah mementaskan kisah Diponegoro di tempat-tempat bersejarah sang pangeran, seperti di Tegalrejo, Magelang, Jakarta, dan Makassar. Pertunjukan tari yang mengisahkan sejarah membutuhkan narasi agar orang lebih mudah memahaminya. “Saya merespons koreografi yang sudah jadi,” kata Landung.
Adegan tragis perang Jawa yang sangat mengerikan menjadi klimaks pertunjukan itu. Rakyat jelata dan santri tertembak satu per satu, menggelepar mengiringi penangkapan Diponegoro (Dipoyono). Para pemain beradegan diam di halaman keresidenan, mirip visualisasi lukisan Raden Saleh. Musik gamelan dan lantunan ayat Al-Quran menggambarkan Idul Fitri saat Diponegoro ditangkap.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo