Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOELDOKO mengajak tim yang nyaris lengkap ketika melayani wawancara khusus Tempo soal sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di ruang kerjanya di Bina Graha, kompleks Istana Negara, yang dulu menjadi kantor Soeharto, Kepala Staf Kepresidenan itu mengajak tujuh anggota staf. Tiga dari lima deputi hadir, yakni Febry Calvin Tetelepta yang menangani infrastruktur, Edy Priyono yang mengurus sektor ekonomi, serta Rumadi Ahmad yang mengawal isu politik dan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Biar mereka juga ikut bekerja dan menjelaskan,” kata Moeldoko, lantas terbahak. Hampir semua anggota tim Moeldoko membawa segepok dokumen yang berisi catatan kinerja pemerintahan Jokowi yang dirujuk saat tanya-jawab. Moeldoko sesekali meminta deputinya merespons ketika dia membutuhkan tambahan statistik, terutama ketika menjawab ketergantungan investasi dari Cina dan independensi lembaga keuangan. “Pemerintah punya kesempatan untuk menyampaikan capaian kinerja ke publik,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo berupaya meminta wawancara khusus dengan Jokowi melalui orang-orang dekatnya untuk liputan ini. Namun Jokowi tak merespons permohonan wawancara. Ditanyai soal perintah Jokowi untuk menjawab wawancara, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia ini berkata, “Tanpa diperintah pun kami sudah otomatis.”
Selama satu setengah jam Moeldoko menjelaskan kemunduran demokrasi, penegakan hukum yang bengkok, kebebasan berekspresi yang suram, konflik di Papua, serta gagasan tiga periode yang muncul pada masa pemerintahan Jokowi kepada Raymundus Rikang, Daniel A. Fajri, dan Yosea Arga Pramudita dari Tempo. Namun dia menolak dipotret.
Pembalikan demokrasi terjadi selama pemerintahan Joko Widodo: penegakan hukum lemah, kebebasan berekspresi dibatasi, dan nyaris tak ada oposisi. Apa tanggapan Anda?
Pertanyaannya adalah apakah ada peran negara di situ? Misalnya dalam kasus pembakaran rumah wartawan di Sumatera Utara. Kalau benar itu dilakukan oknum, ini menjadi persinggungan. Padahal tak ada peran negara di situ, tapi orang mengecap ada peran negara di situ. Aktor yang terlibat harus dikenal. Jangan dikit-dikit ada peran negara.
Banyak data membuktikan aktor utamanya adalah negara, dan negara pula yang punya sumber daya untuk mengerjakan operasi yang sistematis.
Kadang-kadang ada gap antara kebijakan dan operasional. Contohnya, Presiden Jokowi ingin diselesaikan dengan baik. Namun terjadi deviasi di bawah karena ada gap kebijakan itu. Mungkin ada beberapa oknum yang tak memahami keinginan Presiden sehingga terjadi penanganan yang berbeda. Jadi, sekali lagi, tak ada peran negara di situ.
Bukankah membaca Jokowi harus dengan logika terbalik? Yang dikehendaki Presiden adalah kebalikan dari yang dikatakan ke publik.
Ha-ha-ha.... Anda zigzagnya cepat sekali. Itu analisis pribadi Anda dan belum tentu sama dengan yang kami analisis. Saya ini mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia sehingga bisa memahami situasi seperti ini.
Bicara soal TNI, reformasi tentara pun terancam di akhir pemerintahan Jokowi dengan revisi Undang-Undang TNI yang memberi privilese, terutama soal bisnis. Bagaimana respons Anda?
Apa definisi bisnis TNI? Ini harus clear. Salah satu tuntutan reformasi di institusi TNI adalah tak boleh berbisnis dan berpolitik praktis. Seluruh aktivitas TNI yang berkaitan dengan bisnis dihilangkan, kecuali koperasi. Harus jelas dulu definisi TNI boleh berbisnis.
Anda setuju TNI boleh berbisnis lagi?
Saya tak mengerti apakah pasti ada kata-kata itu. Secara pragmatis, TNI melihat sebagai konsep kesejahteraan prajurit. Saat ini masih compang-camping. Lengkapi kami dengan alat pertahanan yang modern. Penuhi kesejahteraan kami, sehingga ketika berangkat ke daerah operasi tak memikirkan lagi atap bocor atau anak sakit. Yang mungkin dimaksudkan dengan bisnis adalah jika istri membuka warung, apakah tak boleh? Sesederhana itu definisi tentara berbisnis.
Bagaimana dengan dwifungsi tentara yang dikhawatirkan akan kembali seiring dengan revisi Undang-Undang TNI?
Saya meyakinkan Anda bahwa itu tak akan kembali.
Apa garansinya?
Strata doktrin itu dari konstitusi, lalu undang-undang, baru turun sampai doktrin paling bawah. Jika tak ada kata-kata tentara mengambil peran sosial-politik, saya pastikan tak kembali lagi namanya dwifungsi itu.
Bagaimana jika rumusan pasal itu masuk?
Itu adalah bagian dari operasi militer selain perang. Semua negara ada ketentuan itu. TNI membantu pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kebutuhan.
Jokowi juga memakai aparat hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan, sebagai alat politik untuk memukul pihak yang berseberangan. Apa penjelasan Anda?
Itu masuk kategori persepsi. Bicara kebijakan itu pasti ada action. Setahu saya, tak ada tuh kebijakan dalam bentuk surat yang memerintahkan polisi, jaksa, atau TNI membantu pemerintahan. Saya pastikan tak ada.
Investigasi kami menemukan pengerahan aparat dan kebijakan pemerintah, seperti bantuan sosial untuk kepentingan politik Presiden.
Presiden punya pilihan begini, rakyat sedang sulit dan putranya sedang mencalonkan diri. Ini pilihan, mana yang lebih prioritas. Presiden pasti memikirkan rakyat sebagai prioritas sehingga paket bantuan sosial itu tak bisa ditunda.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko (tengah) mengikuti rapat kerja membahas RAPBN 2025, dan Rencana Kerja Pemerintah tahun anggaran 2025 bersama Komisi II DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, 11 Juni 2024. Antara/Galih Pradipta
Pencalonan anak dan menantu Presiden menunjukkan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Anda sepakat?
Saya tak merespons pertanyaan itu. Karena itu berjalan sesuai dengan konstitusi, ya piye?
Tapi konstitusi itu diubah untuk memberi jalan kepada keluarga Presiden.
Kami bicara ranah eksekutif dan tidak bicara area yudikatif.
Kami mendapat cerita, ada intervensi eksekutif ke Mahkamah Konstitusi dalam konteks pencalonan anak Jokowi.
Saya jujur bahwa itu tak masuk ranah tugas Kantor Staf Presiden. Itu bukan bagian dari tugas kami.
Jika begitu, bagaimana Anda dan pemerintahan Jokowi mendefinisikan konflik kepentingan? Isu yang juga menjadi peluru kepada Anda dalam soal bisnis.
Ukurannya sulit di Indonesia. Saya pernah ngobrol di Filipina, ketika seseorang menjadi gubernur atau pejabat politik, dia akan dicari latar belakang keluarganya. Jadi, kalau tidak ada garis keturunannya, akan sulit. Sukar mendefinisikan hal itu di sini.
Sektor infrastruktur dan proyek strategis nasional menjadi prioritas selama sepuluh tahun. Apa evaluasinya?
Presiden itu man of idea dan man of action. Beliau tak berhenti pada ide, tapi mengeksekusinya. Pembangunan infrastruktur itu bukan sekadar pembangunan fisik, tapi juga peradaban manusia dan perekonomian.
Masalahnya program ini sering tak melibatkan masyarakat dan merusak lingkungan. Risiko itu sudah dihitung?
Sewaktu terjadi gejolak di proyek Wadas, Jawa Tengah, kami mencoba menyelesaikan itu. Kami mengirim tim untuk memahami kemauan masyarakat di sana. Kami undang rapat semua pihak dan bilang ini maunya masyarakat. Kami paksa para pihak mengikuti permintaan masyarakat dan selesai.
Bagaimana dengan Ibu Kota Nusantara? Jokowi terlalu ambisius dalam proyek ini?
Melihat IKN itu jangan sekarang, tapi lihatlah dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang. Indonesia akan seperti apa, Jakarta seperti apa, Kalimantan Timur seperti apa.
Moeldoko
Tempat dan tanggal lahir:
Kediri, Jawa Timur, 8 Juli 1957
Pendidikan:
- Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1981)
- Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Indonesia (2005)
- Doktor Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (2014)
Karier:
- Kepala Staf Kepresidenan (2018-sekarang)
- Panglima Tentara Nasional Indonesia (2013-2015)
- Kepala Staf TNI Angkatan Darat (2013)
- Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (2011)
Laporan harta kekayaan:
Rp 53 miliar (2023)
Kalau memang menjanjikan, mengapa belum ada investor asing yang masuk?
Kami juga tak bisa memaksa. Presiden Jokowi hanya bisa memastikan tiga syarat investasi itu masuk, yaitu stabilitas, kepastian pelayanan, serta pembenahan regulasi dan birokrasi. Presiden menyiapkan landasan itu.
Proyek strategis nasional menyisakan persoalan lain: privilese untuk oligark. Bagaimana penjelasan Anda?
Saya tak melihat itu. Siapa yang mendapat keistimewaan itu?
Pengusaha yang menyokong pemerintahan Jokowi.
Saya kira proses tender berjalan dengan transparan, sehingga saya tak menemukan ada privilese semacam itu. Melihat prosesnya, itu memang membutuhkan kapital yang gede banget. Jadi peran masyarakat belum ada di situ. Ada proyek jagung di Papua, saya memberi masukan kepada Presiden kalau melibatkan masyarakat saja akan kesulitan. Mesti ada peran swasta di situ. Pengusaha ini yang menyiapkan benih, pupuk, dan alat pertanian. Kalau cuma masyarakat, pasti tak akan jalan.
Mengenai Papua, mengapa konflik masih terus terjadi meski Jokowi paling sering berkunjung ke sana?
Peran kesejahteraan berjalan dengan pembangunan yang masif. Tapi pendekatan itu tak linier dengan kondisi keamanan di sana. Maka ada pendekatan lain, yakni keamanan.
Jokowi berjanji memprioritaskan pendekatan kesejahteraan alih-alih keamanan?
Setelah dilakukan pendekatan ekonomi yang masif, ternyata itu bukan satu-satunya solusi. Karena itu, masih dilakukan pendekatan keamanan. Ketika menjadi Panglima TNI, saya minta prajurit yang ke Papua untuk menggendong senapan di punggung dan memegang cangkul di depan. Maksudnya, mendekati masyarakat pertama dengan pertanian.
Sampai kapan pendekatan keamanan itu diterapkan di Papua?
Ada terlalu banyak kelompok di sana. Mereka membutuhkan identitas dan hegemoni. Mereka tak mau senjatanya dilucuti karena kekuasaan dan pengaruhnya akan ikut tereliminasi. Kondisi riil seperti itu memang tetap memerlukan pendekatan keamanan.
Pada era Jokowi pula ada upaya menggunduli wewenang dan independensi bank sentral. Bukankah ini berbahaya?
Edy Priyono: Perdebatan soal independensi Bank Indonesia ini terus menjadi topik. Saya pernah berdiskusi dengan Pak Mahendra Siregar, Ketua Otoritas Jasa Keuangan, yang mengatakan OJK memang harus independen. Tapi independensi OJK itu bukan dari sisi tujuan karena semua institusi di Indonesia ini punya tujuan yang sama, yakni demi Indonesia. Contohnya, ketika pandemi Covid-19, Presiden mengajak OJK dan bank sentral untuk burden sharing. Ini bentuk gotong-royong dan dibatasi juga.
Membahas kebijakan ekonomi Jokowi tak bisa dilepaskan dari pengaruh investasi Cina. Kenapa pemerintah condong ke sana?
Kita tak pernah membatasi ke negara mana karena kita menganut prinsip bebas-aktif. Data investasi Cina yang masuk ke Indonesia itu hanya 2,8 persen dari total investasi pada 2013. Posisi terakhir nilainya 14,8 persen.
Itu membuktikan Jokowi terlalu berkiblat ke Cina?
Kita melihat pertumbuhan ekonomi Cina dalam beberapa tahun terakhir memang signifikan.
Bagaimana memitigasi jebakan utang Cina seperti yang sudah dialami negara lain? Potensi itu tampaknya ada pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung....
Edy Priyono: Saya kira kita masih jauh dari sana. Bukan berarti kami mengabaikan potensi itu. Bukan. Jadi rasanya tak relevan bicara jebakan utang Cina dalam kasus Indonesia ini.
Dengan beragam problem yang kita bahas, apakah Anda masih meyakini pemerintahan Jokowi ini sukses?
Jangan saya dong yang ngomong karena menjadi tidak fair. Kita bicara hasil survei, bukan dari perasaan. Kepuasan publik itu menjadi indikator, bukan perasaan yang berbeda-beda. Ada memang sektor yang tak memuaskan, seperti demokrasi, hukum, dan hak asasi. Padahal pemerintah punya cara pendekatan non-yudisial. Banyak masyarakat yang tidak tahu tentang itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo