Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH lebih dari dua dekade terkubur sejak 2003, Dewan Pertimbangan Agung bakal hidup kembali. Namun kebangkitan DPA yang menggantikan Dewan Pertimbangan Presiden berpotensi menimbulkan berbagai persoalan. Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pun akan mengalami hambatan dengan terbentuknya Dewan Pertimbangan Agung.
Tak mengherankan jika banyak ahli hukum tata negara menolak kehadiran DPA. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menilai DPA sudah lenyap sejak amendemen keempat konstitusi menghapus keberadaannya pada 2002 dan dibubarkan secara resmi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003.
Artinya, menurut Feri, DPA tak dapat dibentuk lagi lewat undang-undang meski tugasnya mirip dengan Dewan Pertimbangan Presiden. “Kalau DPA dipaksakan ada lagi, berarti bertentangan dengan konstitusi,” kata Feri saat dihubungi Tempo pada Rabu, 17 Juli 2024.
Bukan hanya itu, keberadaan DPA pun dianggap sebagai upaya Presiden Joko Widodo dan presiden terpilih Prabowo Subianto menghidupkan lagi peninggalan Orde Baru. Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, mengingatkan bahwa pembubaran DPA merupakan bagian dari hasil Reformasi 1998 yang mengubur remah-remah Orde Baru.
Menurut dia, saat amendemen konstitusi keempat dilakukan pun fungsi DPA dianggap tidak jelas. “Alasan pemerintah membubarkan DPA saat itu sudah benar,” ujar Herdiansyah.
Memang, dewan pertimbangan tak sepenuhnya hilang. Pasal 16 konstitusi mengamanatkan pembentukan dewan pertimbangan di bawah kekuasaan presiden dengan tugas memberikan nasihat dan pertimbangan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membentuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada 2007.
Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Supratman Andi Agtas menyangkal jika DPA bakal mengembalikan warisan Orde Baru. Ia mengklaim tugas DPA sama seperti Wantimpres. Perubahannya hanya menyangkut nomenklatur. “Kenapa nama diubah? Kami ingin menjadikannya lembaga negara,” ucap politikus Partai Gerindra itu pada Selasa, 16 Juli 2024.
Masalahnya, perubahan dari lembaga pemerintah menjadi lembaga negara memiliki berbagai konsekuensi. Herdiansyah mengatakan, apabila DPA menjadi lembaga negara, kedudukannya setara dengan presiden dan lembaga negara lain, seperti Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Apa pun rekomendasi dari Ombudsman atau Komnas HAM, presiden wajib tunduk dan patuh. Begitu pula nantinya dengan DPA. “Presiden harus patuh terhadap nasihat DPA. Jadi DPA akan memiliki posisi tawar yang kuat,” tutur Herdiansyah.
Di kalangan Koalisi Indonesia Maju, gabungan partai politik pendukung Prabowo-Gibran, beredar informasi bahwa Jokowi nantinya bakal memimpin DPA setelah lengser sebagai presiden pada Oktober mendatang. Perubahan nama dan kedudukan dewan pertimbangan pun ditengarai bertujuan memperpanjang kekuasaan Jokowi.
Politikus Partai Gerindra, Maruarar Sirait, tak menampik informasi bahwa Jokowi akan menjadi anggota DPA. Ia punya kepercayaan serupa. “Beliau punya pengalaman sebagai wali kota, gubernur, dan presiden,” kata Maruarar pada Rabu, 10 Juli 2024.
Skenario itu bisa menjadi bumerang untuk pemerintahan Prabowo. Feri Amsari menyatakan bahwa Jokowi bakal memiliki kekuatan untuk masuk ke ruang-ruang presiden, seperti pengaturan kabinet atau ekonomi. “Bayangkan kalau dia bilang sudah memberi masukan tapi presiden tidak mendengar. Akan ada perseteruan kekuasaan,” ucap Feri.
Kepada wartawan di Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024, Jokowi tak menjawab gamblang soal kemungkinan dia masuk ke DPA. Ia mengatakan tetap dengan rencananya pulang kampung ke Solo, Jawa Tengah, setelah purnatugas. Jokowi menyatakan rencana itu belum berubah.
Mantan anggota Wantimpres dan bekas Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, punya pandangan berbeda. Ia tak mempersoalkan perubahan nomenklatur dari Wantimpres menjadi DPA. Toh, DPA memiliki landasan Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. “Tak salah menggunakan nama Dewan Pertimbangan Agung lagi karena ada aturannya,” kata Jimly kepada Tempo, Kamis, 18 Juli 2024.
Jimly menyatakan revisi seharusnya bisa memperkuat tugas dewan pertimbangan. Tak sebatas memberi nasihat atau masukan kepada presiden, dewan pertimbangan bisa mengkoordinasi lembaga penasihat lain. Pemerintah Indonesia memiliki banyak lembaga penasihat, seperti Dewan Energi Nasional dan Lembaga Ketahanan Nasional alias Lemhannas.
Namun ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan presiden tak perlu lagi punya dewan pertimbangan dengan tugas tak jelas. Sebab, presiden punya menteri-menteri yang bisa memberikan nasihat. “Presiden punya skuad lengkap dengan adanya para menteri,” ujar Bivitri.
Dengan status lembaga negara, DPA juga menambah pengeluaran negara. Anggarannya akan dikelola sendiri, tidak lagi nyantol di Sekretariat Negara seperti Dewan Pertimbangan Presiden. Apalagi jumlah anggota DPA nantinya tidak dibatasi seperti anggota Wantimpres, yang hanya sembilan orang. Pemerintah harus membayar gaji dan menyediakan fasilitas bagi para anggota DPA.
Bagi Jimly Asshiddiqie, rencana tersebut ngawur. Menurut dia, jumlah anggota DPA wajib dibatasi sembilan orang. Kurang boleh, lebih jangan. Contohnya Komisi Yudisial atau Komisi Pemilihan Umum yang punya tujuh komisioner. Ia khawatir, kalau jumlah anggotanya tidak dibatasi, DPA hanya menjadi tempat bagi-bagi kue kekuasaan.
Skenario pemerintahan Prabowo-Gibran bakal bagi-bagi kekuasaan juga tercium dari revisi Undang-Undang Kementerian Negara. Jumlah kementerian yang semula paling banyak 34 menjadi disesuaikan dengan kebutuhan presiden. Jumlah anggota Dewan Pertimbangan Agung pun sama, mengikuti kebutuhan kepala pemerintahan.
DPA pun ditengarai akan menjadi tempat menampung orang-orang yang parno kehilangan jabatan. Juga untuk menampung bagian tim sukses Prabowo Subianto. “Karena sudah tidak ada batasan,” tutur pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yance Arizona, Jumat, 19 Juli 2024.
Rencana itu bukan tak mungkin terwujud. Berbeda dengan anggota Wantimpres, anggota DPA boleh merangkap jabatan, seperti menjadi pengurus partai politik atau organisasi kemasyarakatan alias ormas. Jika betul hal itu terjadi, kata Yance, sulit diharapkan munculnya checks and balances dalam pemerintahan.
Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislasi DPR, beralasan jumlah anggota DPA yang tak dibatasi bertujuan memberi ruang kepada presiden terpilih. Ia meyakini Prabowo akan memilih anggota DPA seefektif mungkin. “Akan kami awasi di DPR,” ujar Supratman.
Herdiansyah Hamzah menilai logika hukum keanggotaan Dewan Pertimbangan Agung kacau balau. Bagaimana mungkin anggota DPA dipilih oleh presiden tapi didesain sebagai lembaga negara. Biasanya pimpinan lembaga negara dipilih oleh DPR lewat uji kelayakan dan kepatutan, baru kemudian dilantik presiden. “Kalau diangkat presiden, otomatis di bawah pemerintah,” tutur Herdiansyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Egi Adyatama, Francisca Christy Rosana, dan Hussein Abdri Dongoran berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bagi-bagi Remah Jabatan"