Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dua Belas Menit Sebelum Raib

Pilot AirAsia Surabaya-Singapura yang jatuh di Selat Karimata diduga tak mengambil data cuaca sehingga tak tahu ada awan kumulonimbus. Pesawat berputar-putar dalam badai awan sebelum jatuh.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Perhubungan Ignasius Jonan meluncur dari kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, ke Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jumat pagi pekan lalu. Sebelum masuk ke area bandara, ia meminta sopirnya berbelok ke perkantoran maskapai penerbangan. Jonan meminta diantar ke kantor AirAsia.

Ia masuk ke ruang flight operation officer, tempat sejumlah orang sedang menggelar rapat persiapan terbang. Jonan menyimak rapat ini dan menanyakan cara maskapai asal Malaysia itu mendapat peta cuaca di setiap penerbangan. Kepada Jonan, Direktur Operasional Imron Siregar menjelaskan, biasanya mereka mengunduh informasi cuaca dari web Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Mengambil peta cuaca secara fisik, menurut Imron, adalah cara tradisional.

Jonan manggut-manggut mendengar penjelasan seperti itu. "Kalau Anda anggap tradisional, mengapa laporan fisik cuaca masih Anda ambil pukul 07.00 setelah pesawat hilang kontak?" tanya Jonan, seperti dituturkan Hadi M. Djuraid, anggota staf khusus Menteri Perhubungan yang menemani kunjungan mendadak itu, kepada Tempo.

Pertanyaan Jonan merujuk pada staf AirAsia Bandara Juanda, Surabaya, yang mengambil peta cuaca dari Badan Meteorologi setengah jam setelah pesawat Surabaya-Singapura QZ8501 hilang dari radar pengawas Bandara Soekarno-Hatta, Ahad pagi pekan lalu. Badan Search and Rescue Nasional menyatakan pesawat yang membawa 155 penumpang plus tujuh kru tersebut jatuh ke laut di Selat Karimata, antara Kalimantan dan Pulau Belitung.

Pilot Irianto, yang mengemudikan Airbus A320-200 itu, diduga tak berbekal informasi cuaca sehingga tak tahu ada awan kumulonimbus di atas Laut Cina Selatan di jalur yang hendak dilewatinya pada ketinggian 32 ribu kaki. Ia diduga baru mengetahui awan tersebut ketika pesawatnya berada 65,4 kilometer dari kumulonimbus—rata-rata penciuman radar cuaca pesawat Airbus.

Awan kumulonimbus momok bagi semua pilot. Menurut Jonan, bahkan jet tempur pun tak akan bisa keluar dengan selamat jika terperangkap awan yang berisi angin badai dengan es dan petir itu. "Pilot biasanya memilih menghindarinya dengan berbelok ke kiri atau ke kanan awan ini," kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Djoko Murdjatmodjo.

Jonan tahu AirAsia tak memeriksa data cuaca dalam penerbangan pukul 05.36 WIB itu setelah mendapat surat Kepala BMKG Andi Eka Sakya. Melalui surat pada Rabu pekan lalu sebelum Jonan membahas kecelakaan itu dalam sidang kabinet bersama Presiden Joko Widodo, Andi melaporkan bahwa AirAsia "baru mengambil informasi cuaca pada jam 07.00 WIB, sesudah QZ8501 lost contact, bukan sebelum take off".

Pernyataan Andi Sakya dibenarkan Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi Bandara Juanda, Bambang Setiajid. Kepada Tempo, mengutip data logbook Badan Meteorologi pada Ahad itu, Bambang mengatakan hanya AirAsia yang tak mengambil data cuaca dari tujuh maskapai yang pesawatnya terbang pada jam yang bersamaan. "Mungkin mereka mengambil via online," ujarnya.

Meski cara itu tak melanggar, catatan fisik lebih dianjurkan sesuai dengan aturan umum penerbangan internasional agar mudah termonitor. Sebab, kata Bambang, dokumen fisik biasanya dibahas dalam rapat antara maskapai, Badan Meteorologi, dan petugas menara pengawas untuk menentukan jalur alternatif jika ada cuaca buruk.

Menurut Bambang, awan kumulonimbus di ketinggian 32 ribu kaki di atas Selat Karimata itu sudah terdeteksi sangat kuat sejak pukul 02.00 WIB. Pada rekaman cuaca 28 Desember 2014 di radar Badan Meteorologi yang dicetak periode pukul 00.00-13.00, awan ini sudah terbentuk, yang ditunjukkan radar dengan warna merah.

Seandainya ada rapat pilot, kata Bambang, Badan Meteorologi akan menyarankan AirAsia QZ8501 menunda penerbangan. Atau dicarikan jalur alternatif yang tak bersirobok dengan kumulonimbus: dibelokkan ke kiri dan melewati Bangka Belitung. Dengan kemampuan terbang Airbus A320-200 hingga 40 ribu kaki, jalur alternatif di atasnya pun bisa ditempuh.

Karena AirAsia tak meminta pertimbangan Badan Meteorologi, koridor lain di atas 32 ribu kaki sudah terisi oleh pesawat maskapai lain yang mengambil data cuaca dan mengadakan rapat persiapan terbang. "Tujuh pesawat lain tak apa-apa, mengapa hanya satu ini yang celaka?" ujar Jonan.

Bukan kali itu saja AirAsia tak meminta data cuaca dan tak menggelar rapat persiapan terbang bersama Badan Meteorologi. Menurut Bambang Setiajid, maskapai yang beroperasi sejak 2001 itu tak pernah mengambil data fisik prakiraan cuaca ke kantornya. "Padahal, jika mereka meminta via e-mail sekalipun, akan kami sediakan," ucap Bambang.

Prakiraan cuaca secara tertulis dan yang tersedia di web, kata Bambang, isinya sama. Artinya, jika pilot mengunduh, semestinya ia tahu di jalurnya ada awan ganas yang tak mungkin diterobos. Faktanya, QZ8501 yang dikemudikan Kapten Irianto memakai jalur umum dari Surabaya ke Singapura, bahkan mempercepat jadwalnya dari pukul 08.00.

Menurut Jonan, maskapai yang tak mengambil data prakiraan cuaca bisa digolongkan ke dalam pelanggaran prosedur berat. Pekan ini, ia meminta Direktorat Perhubungan Udara mengaudit secara menyeluruh penerapan prosedur standar penerbangan di AirAsia. "Jika terbukti tak pernah ada briefing dan data cuaca tak diambil, izin terbangnya saya cabut," ujarnya.

Sehari kemudian, Djoko Murdjatmodjo meneken surat pembekuan rute AirAsia Surabaya-Singapura. Rupanya, berdasarkan izin dari Kementerian Perhubungan, rute tersebut hanya boleh diisi AirAsia pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Pesawat QZ8501 terbang dari Juanda pada Ahad. Temuan ini kian menegaskan kecurigaan bahwa AirAsia melanggar sejumlah prosedur penerbangan.

Dugaan bahwa pilot Irianto tak berbekal peta cuaca cocok dengan data percakapan di air traffic control menara area control center Bandara Soekarno-Hatta yang mengawasi lalu lintas pesawat di atas 24.500 kaki.

Kapten Irianto, 57 tahun, yang memiliki 20.537 jam terbang, telat 15 menit mengudarakan Air Wagon QZ8501 dari jadwal pukul 05.20 dari landasan pacu nomor 10 Bandara Juanda. Menurut Nasir Usman, Direktur Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan, QZ8501 mengambil rute M-635, jalur internasional yang melintas di sepanjang Laut Jawa, bersambung ke Laut Cina Selatan, hingga turun di Singapura.

Dari rekaman pengawas dan rencana terbang yang dilaporkan ke menara kontrol, pesawat ini terbang pada ketinggian 34 ribu kaki atau 10,36 kilometer dari permukaan laut. Irianto melapor ke Cengkareng begitu pesawatnya melintas di titik perbatasan wilayah udara Indonesia bagian barat dan timur yang berada di barat Yogyakarta.

Ia mengontak pengawas pada pukul 06.11.40 WIB dan melaporkan ketinggian 32 ribu kaki. Lima belas detik kemudian, Irianto mengontak menara Jakarta lagi dan meminta belok ke kiri dari jalur M-635. "Ia bilang, 'Go to weather turn left,' lalu pemandu menyetujui dan meminta pilot tetap di ketinggian 32 ribu dan melapor lagi jika cuaca sudah clear," kata Nasir.

Setelah permintaan beloknya disetujui, di radar Jakarta terlihat pesawat buatan 2008 itu berbelok ke arah 310 derajat. Menurut radar Badan Meteorologi, perubahan arah ini yang ketiga dalam waktu sepuluh menit sejak pesawat berada di ketinggian 32 ribu kaki pada pukul 05.54. "Beberapa kali perubahan arah ini diduga karena pesawat menghindari cuaca buruk," demikian tertulis dalam dokumen BMKG.

Dalam dunia penerbangan, kata Djoko Murdjatmodjo, dalam satu koridor, pesawat dibolehkan bermanuver 25 ribu mil laut (46,3 kilometer) ke kiri dan kanan jalurnya. Jarak koridor dengan atas dan bawahnya setinggi 2.000 kaki (700 meter) untuk jalur searah dan 1.000 kaki untuk pesawat berlawanan.

Alih-alih melaporkan keadaan cuaca lagi, pada pukul 06.12.05 Kapten Irianto meminta pengawas radar Jakarta menyetujui naik ke ketinggian 38 ribu kaki. Menurut Nasir, pengawas tak langsung menyetujui karena perlu mengecek pesawat lain di sekitarnya. Setidaknya pada waktu bersamaan ada tujuh pesawat yang berkontak ke radar Jakarta. Salah satunya Garuda Indonesia GA-500 dari Jakarta menuju Pontianak di ketinggian 35 ribu kaki. "Jika langsung disetujui, bisa tabrakan dua pesawat ini," ujar Nasir.

Pengawas udara juga perlu melapor ke menara Singapura karena AirAsia akan mendaki ke atas ketinggian yang dilaporkan dalam flight plan, sekaligus mengecek pesawat dari arah berlawanan di ketinggian yang sama. Sejatinya, karena pesawat juga dilengkapi radar pendeteksi, pilot bisa melacak sendiri pesawat-pesawat di sekitarnya. Persetujuan pemandu dibutuhkan untuk memastikan jalur pendakian bersih dari halangan. "Karena itu, pengawas meminta QZ8501 untuk standby," kata Nasir.

Faktanya, Kapten Irianto tak menunggu persetujuan pemandu. Ia menghela pesawatnya mendaki ke ketinggian 36.300 kaki, seperti terekam dalam radar pemandu. Dalam analisis BMKG, pendakian itu malah menurunkan kecepatan pesawat menjadi 353 knot. Analisis BMKG tak menemukan alasan Irianto tak meneruskan belok ke kiri. Sebab, di kiri depan AirAsia, pada ketinggian 36 ribu kaki, pesawat Emirates UAE-409 dari Melbourne menuju Kuala Lumpur melaju mulus dengan kecepatan 530 knot.

Di menara pemandu Cengkareng, butuh dua menit bagi pengawas untuk memastikan koridor 38 ribu kaki di atas Selat Karimata itu bersih dari pesawat lain. Seperti terlihat di catatan percakapan, pengawas memberi tahu dan mengizinkan Irianto naik ke ketinggian yang diminta pada pukul 06.14.34. Irianto tak menyahut.

Pemandu udara memanggil lagi pada pukul 06.16.49 dengan meminta Irianto naik ke 34 ribu kaki. Lagi-lagi tak berjawab. Delapan kali pemandu memanggil QZ8501, Irianto tak jua merespons. Dua menit kemudian, komunikasi terputus sama sekali.

Pesawat Irianto masih terlihat di radar dengan berganti-ganti haluan sampai hilang pukul 06.24. Sesuai dengan prosedur, pengawas meminta pilot GA-500 yang paling dekat mengirim sinyal ke pesawat Irianto. Tak berbalas. Enam pesawat lain yang diminta melakukan hal yang sama juga tak beroleh jawaban. Maka, tepat pukul 07.08, radar Jakarta menyatakan incerfa (fase tidak pasti) dan melapor ke Badan Search and Rescue Nasional.

Menurut analisis Badan Meteorologi, pesawat Irianto hilang kendali begitu memasuki kumulonimbus. Beberapa kali ia terlihat mengubah moncong pesawat untuk mencari celah jalur di awan, tapi gagal menahan laju angin dan temperatur yang mencapai minus 40 derajat Celsius. "Di kumulonimbus, mesin pesawat bisa mati karena kemasukan es," kata Hanna Simatupang, pengajar keselamatan penerbangan Universitas Kristen Indonesia.

Beberapa menit setelah QZ8501 dinyatakan hilang, petugas AirAsia membukukan tanda tangan di catatan pengambilan data cuaca di kantor BMKG Bandara Juanda. Presiden Direktur AirAsia Sunu Widyatmoko mengatakan data cuaca diperoleh dari Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta yang dikirimkan melalui surat elektronik. "Kami cetak, lalu dibawa terbang oleh para pilot," katanya.

Di Selat Karimata, menurut Jonan, yang ikut helikopter tim penolong yang terbang 100 meter di atas permukaan laut pekan lalu, tampak moncong pesawat di kedalaman 25 meter menghadap ke tenggara, 120 kilometer dari Pangkalan Bun atau 10 kilometer ke arah barat daya dari titik terakhir pesawat. Ini sesuai dengan arah posisi pesawat dan arah angin di kumulonimbus dari timur ke tenggara yang tercatat radar Badan Meteorologi. Tim SAR masih kesulitan mengevakuasi bangkai pesawat karena tingginya ombak.

* * * *

JATUHNYA AirAsia—pertama kali sejak maskapai ini dihidupkan lagi oleh pengusaha Malaysia keturunan India, Anthony Francis Fernandes, pada 2001—juga tak lepas dari peran menara pemandu yang tak dilengkapi radar cuaca. Menurut seorang pemandu di Soekarno-Hatta, di negara-negara lain fungsi controller tak hanya mengendalikan pesawat, tapi juga mengarahkan pilot jika mengemudikan pesawat menuju cuaca buruk.

Di sana, radar di menara pengawas terintegrasi dengan radar cuaca. Di menara pengawas Indonesia, radarnya blank hitam memuat hanya kedap-kedip pesawat. Itulah kenapa petugas di menara pemandu pesawat tak memberitahukan sejak awal bahwa AirAsia QZ8501 terbang di ketinggian yang sama dengan awan kumulonimbus. "Jadi, kalau naik pesawat itu, kita seperti diarahkan pemandu buta," kata pemandu udara senior itu.

Direktur Keselamatan PT Air Navigation Wisnu Darjono mengatakan layar hitam itu justru untuk meningkatkan konsentrasi pemandu. Jika layar warna-warni karena menunjukkan perbedaan cuaca di tiap sektor wilayah udara, konsentrasi pemandu akan terpecah. "Tugas dia hanya memisahkan pesawat agar tak tabrakan," ujarnya.

Menurut Wisnu, dengan waktu tersisa enam menit—sejak pilot meminta berbelok dan naik hingga hilang dari radar—pengemudi AirAsia sebetulnya cukup leluasa menghindari tabrakan dengan awan. Berbelok ke kiri sejauh mungkin pun tak akan tumbukan dengan pesawat lain, kata Wisnu, karena tujuh pesawat di sekitarnya berada pada ketinggian berbeda.

Dengan kecepatan 654 kilometer per jam, dan waktu tumbukan dengan kumulonimbus enam menit, jarak pesawat ke awan sekitar 65,4 kilometer. Menurut Wisnu, di Airbus radar pendeteksi awan dan benda di sekelilingnya bisa disetel hingga 150 mil atau 240 kilometer. "Jadi sebetulnya pilot sendiri bisa ancang-ancang sejak jauh," ujarnya.

Menurut Nasir Usman, menara pengawas tak diwajibkan memiliki radar cuaca. Kata Nasir, aturan internasional penerbangan hanya merekomendasikan menara pengawas mengintegrasikan lalu lintas pesawat dengan cuaca di semua wilayah udara Indonesia.

Di menara Soekarno-Hatta hanya ada catatan cuaca di sekitar bandara, yang dikirim Badan Meteorologi setiap 30 menit. "Tapi, setelah ini, saya minta radar pesawat di menara disambungkan dengan radar cuaca BMKG agar tersedia data real time," kata Jonan.

Bagja Hidayat, Muhammad Muhyiddin (Jakarta), Agita Sukma Listyanti (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus