Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rancangan peraturan riset ganja medis sudah diserahkan ke Istana Presiden awal tahun ini.
Pemerintah tak menutup kemungkinan membolehkan legalisasi ganja medis.
Komisi Hukum DPR berencana menurunkan golongan narkotik ganja.
DIGELAR secara daring pada akhir Juni lalu, rapat petinggi Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan membahas soal manfaat ganja untuk kesehatan. Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, yang hadir dalam pertemuan tersebut, mengatakan para peserta berdiskusi soal aturan dan kandungan ganja. “Kami menyamakan informasi soal ganja medis,” Syahril bercerita kepada Tempo di kantornya, Kamis, 14 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Syahril, diskusi soal ganja medis digelar karena menjadi perhatian publik. Beberapa hari sebelumnya, orang tua Pika Sasikirana, Santi Warastuti dan Sunarta, berkampanye soal penggunaan ganja medis di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, saat hari bebas kendaraan, Ahad, 26 Juni lalu. Mereka membawa kanvas bertulisan “Tolong, anakku butuh ganja medis”. Santi meyakini ganja medis dapat membantu pengobatan Pika yang terkena cerebral palsy atau lumpuh otak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat di Kementerian Kesehatan membicarakan juga soal kegunaan ganja untuk cerebral palsy. Dokumen rapat yang didapat Tempo menyebutkan kanabis, meski memiliki dampak negatif, yaitu potensi ketergantungan, juga bisa digunakan untuk mengobati stroke, epilepsi, dan nyeri neuropati. Efek samping ganja, yang disebut mudah tumbuh di Indonesia, juga tergolong ringan.
Syahril bercerita, rapat itu juga membahas rancangan peraturan Menteri Kesehatan tentang penelitian ganja untuk kesehatan. Dua petinggi Kementerian yang mengetahui penyusunan rancangan itu mengatakan, draf tersebut rampung awal tahun ini dan telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Namun, hingga kini, Istana belum menyetujui rancangan tersebut.
Pramono Anung tak merespons pertanyaan yang diajukan Tempo ke nomor telepon pribadinya. Adapun Syahril membenarkan informasi tersebut. “Rancangannya sudah diajukan ke kantor Presiden pada awal tahun,” katanya.
Peraturan Menteri Kesehatan berisi aturan detail soal institusi yang boleh mengajukan rencana riset ganja medis, masalah pembiayaan, keamanan, serta mekanisme pemusnahan ganja. Syahril menjelaskan, institusi riset harus memiliki apoteker bersertifikat dan memenuhi pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Selain itu, lembaga riset diminta menggandeng perusahaan farmasi besar.
Hasil riset nantinya diharapkan bisa digunakan secara praklinis terhadap hewan. Setelah itu, dilakukan uji klinis tahap I sampai III terhadap manusia. “Pengaturannya mirip dengan pengujian vaksin Covid-19,” ucap Syahril, yang juga menjabat Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso.
Dalam bagian latar belakang rancangan tersebut, Kementerian Kesehatan juga merujuk pada penggunaan ganja medis di negara lain. Ada pula, kata Syahril, soal sejarah penggunaan ganja di dalam negeri, yaitu Aceh dan Sumatera Barat.
Kementerian Kesehatan melibatkan lembaga lain, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Markas Besar Kepolisian RI, dalam penyusunan rancangan tersebut. Koordinator Kelompok Ahli BNN Ahwil Loetan belum bisa memastikan pertemuan antara pejabat lembaganya dan Kementerian Kesehatan. “Ketika Kementerian Kesehatan ingin meminta pendapat, kami akan memberikannya,” ujar purnawirawan komisaris jenderal ini, Selasa, 12 Juli lalu.
Setelah draf rampung, Kementerian Kesehatan mulai mendekati Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat. Wakil Ketua Komisi Kesehatan Charles Honoris mengaku diajak berdiskusi secara informal oleh pejabat Kementerian Kesehatan soal rancangan peraturan riset ganja medis pada awal tahun ini.“Hanya disebut untuk penelitian tahap awal,” tuturnya pada Rabu, 13 Juli lalu.
Kepada pejabat itu, Charles menyampaikan dukungannya. Dia menganggap riset ganja medis bisa bermanfaat untuk pengembangan kesehatan. Setelah Santi Warastuti meneriakkan soal ganja medis untuk putrinya, Pika Sasikirana, Charles merilis pernyataan yang mendukung riset ganja medis. “Negara tidak boleh berpangku tangan melihat Pika-Pika lain yang menunggu pemenuhan hak kesehatannya,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga meminta Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa baru mengenai penggunaan ganja untuk medis. “Saya minta dibuat fatwa untuk dipedomani, agar jangan berlebihan dan menimbulkan kemudaratan,” ucapnya, Selasa, 28 Juni lalu. Selama ini MUI melarang penggunaan ganja tanpa pengecualian.
Juru bicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi, enggan menjelaskan permintaan Ma’ruf itu. “Silakan telepon Bapak Asrorun Ni’am, dia sudah bergerak,” katanya, Jumat, 15 Juli lalu. Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Ni’am tak merespons permintaan wawancara Tempo. Tapi, saat memberikan keterangan pers, Asrorun mengatakan akan mengkaji sesuai dengan permintaan Ma’ruf.
Dukungan juga diberikan oleh Yayasan Sativa Nusantara, yang mengkampanyekan pentingnya ganja medis. Pada Februari lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menerima perwakilan lembaga itu di rumah dinasnya di Widya Chandra, Jakarta Selatan. Pertemuan itu difasilitasi oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Agung Laksono.
Kepada Tempo pada Sabtu, 16 Juli lalu, Agung membenarkan adanya pertemuan itu. “Saya sampaikan, ada yang bisa menjelaskan mengenai manfaat ganja untuk kesehatan,” ujar mantan Ketua DPR itu. Dalam pertemuan itu, Budi Gunadi menerima banyak penjelasan dari Yayasan Sativa.
Menteri Budi mengatakan akan mengeluarkan regulasi itu dalam waktu dekat. Kementerian Kesehatan akan mengawasi penelitian secara langsung. Tak tertutup kemungkinan pemerintah akan menjalankan legalisasi ganja medis. “Kalau sudah keluar penelitiannya, nanti bisa diproduksi, tapi khusus untuk produk atau layanan medis,” tutur Budi kepada sejumlah wartawan, Rabu, 29 Juni lalu.
Riset ganja medis dimungkinkan dalam Undang-Undang Narkotika. Pasal 8 aturan tersebut menyebutkan narkotik golongan I—ganja termasuk di dalamnya—bisa digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta reagensia diagnostik dan laboratorium setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan atas rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan lembaganya sudah memiliki cukup banyak kajian soal khasiat kanabis. Namun, sejak Undang-Undang Narkotika disahkan pada 2009, Kementerian Kesehatan belum mengeluarkan aturan pelaksana tentang penggunaan narkotik untuk riset.
Akis Lingkar Ganja Nusantara (LGN) memperingati Global Marijauana March menuntut legalisasi ganja di Surabaya, Mei 2014. Dok, TEMPO/Fully Syafi
Kementerian sempat mengeluarkan izin penelitian penggunaan ganja kepada Lingkar Ganja Nusantara, organisasi yang menaungi Yayasan Sativa Nusantara, pada 2015. Tapi aturan itu tak terlalu kuat karena diteken oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Pada tahun yang sama, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mengeluarkan aturan tentang izin memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan tanaman papaver, ganja, dan koka. Izin itu diberikan kepada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Rencananya Balai Besar Penelitian di Tawangmangu akan memberikan ganja untuk riset Lingkar Ganja Nusantara. Namun riset itu tak berjalan karena Balai Besar tak kunjung memberikan ganja untuk penelitian. “Jadi birokratis dan akhirnya berhenti,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara Dhira Narayana, Selasa, 5 Juli lalu. Melalui pesan WhatsApp pada Sabtu, 16 Juli lalu, Nila Djuwita Moeloek mengaku lupa soal izin tersebut.
Pejabat hubungan masyarakat Balai Besar Penelitian Tawangmangu, Alex Febrian Pulung, meminta keterangan tentang riset ganja medis ditanyakan kepada juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohamad Syahril. Adapun Syahril mengatakan Lingkar Ganja Nusantara dan Yayasan Sativa yang tak melengkapi syarat-syarat untuk penelitian.
Tak hanya melalui peraturan Menteri Kesehatan, legalisasi ganja medis makin terbuka dengan rencana revisi Undang-Undang Narkotika di Komisi Hukum DPR. Anggota Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Narkotika, I Wayan Sudirta, mengatakan dia dan koleganya sudah menerima penjelasan dari Santi Warastuti dan Yayasan Sativa Nusantara soal manfaat ganja medis pada Kamis, 30 Juni lalu.
Menurut Wayan, revisi Undang-Undang Narkotika perlu menyeimbangkan aspek kesehatan dan penegakan hukum. Ia menilai aturan tersebut selama ini lebih mengedepankan penegakan hukum. “Sehingga aturannya tidak efektif,” ujar politikus PDI Perjuangan ini. Wayan berniat mengusulkan ganja turun pangkat dari narkotik golongan I menjadi golongan II atau III.
Anggota Panitia Kerja dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Sariffudin Sudding, mengatakan Komisi Hukum akan meminta masukan dari sejumlah kalangan, termasuk akademikus, soal ganja medis ataupun penurunan golongan narkotik. Ia yakin pemerintah akan mendukung revisi Undang-Undang Narkotika. Salah satu alasannya, kasus penyalahgunaan narkotik telah mengakibatkan penjara penuh sesak, termasuk oleh para pengguna ganja. “Banyak penjara overload,” katanya.
RAYMUNDUS RIKANG, CHRISNA CHANIS CARA (SOLO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo