Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Mengapa Kami Menulis Tokoh Papua untuk Edisi Khusus Kemerdekaan

Kenapa pahlawan dari Papua gagal membuat rakyat Papua mendukung NKRI?

13 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMPERJUANGKAN integrasi Irian Barat, kini Papua, ke dalam Indonesia bertahun-tahun lamanya, Silas Papare tak peduli akan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera yang digelar pada 14 Juli-2 Agustus 1969. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu memilih menjaga sapi peliharaannya di Kampung Sawendui, Distrik Raimbawi, Kepulauan Yapen. Padahal ia ikut dalam delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar, ajang perebutan Irian Barat dengan Belanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Begitu pula Marthen Indey. Pada hari-hari pelaksanaan Pepera, yang menentukan nasib rakyat Papua apakah merdeka atau bergabung dengan Indonesia, ia berkebun di kawasan Palomo, Sentani, Jayapura. Pada Desember 1962, Marthen mengikuti pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, dan mendorong Irian Barat bergabung dengan Indonesia. Pun setelah Indonesia merdeka, Marthen getol memperjuangkan integrasi Irian Barat. Pemerintah Belanda menghukum dia 4 tahun penjara karena upayanya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marthen Indey (depan, kiri) saat menerima medali penghargaan dari pemerintah Belanda di Kotanica (sekarang menjadi Kampung Harapan), Papua, 1945. KITLV

Silas dan Marthen dipertemukan pada Mei 1945 di Kota Harapan alias Kota Nica di Hollandia, kini Jayapura. Di sana, bekas tahanan di Boven Digoel, Soegoro Atmoprasodjo, mendidik mereka mengenai nasionalisme Indonesia di tanah Papua. Bersama mereka, ada pula Frans Kaisiepo yang dalam Konferensi Malino 1946 menyerukan penggantian nama Papua menjadi Irian. Dia juga menentang pendirian Negara Indonesia Timur bentukan Belanda.

Kita tahu, Pepera yang tak transparan dan diwarnai berbagai kejanggalan—seperti perubahan sistem one man, one vote menjadi suara seribuan anggota delegasi—membuat lebih dari 800 ribu rakyat Irian Barat tak bisa bersuara. Mereka, yang sesungguhnya tak paham akan ideologi “nasionalisme” ataupun “keindonesiaan”, akhirnya terikat “sehidup-semati” dengan Indonesia.

Bagi pemerintah Indonesia, Silas Papare, Marthen Indey, dan Frans Kaisiepo adalah tokoh yang berperan besar mengintegrasikan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden Soeharto pada 14 September 1993, bertahun-tahun setelah mereka meninggal, menyematkan gelar pahlawan nasional kepada ketiganya.

Penentuan Pendapat Rakyat di Teluk Cendrawasih, Papua, 31 Juli 1969. Perpustakaan Nasional

Pembaca, pada edisi 17 Agustus kali ini, kami menghadirkan serangkaian tulisan tentang sepak terjang Silas, Marthen, dan Frans. Sejak awal Mei lalu, redaksi Tempo mendiskusikan tokoh yang memiliki peran untuk Indonesia pada masa kemerdekaan. Beberapa nama muncul dan dibahas dalam sejumlah rapat redaksi. Pada akhirnya, kami memutuskan mengangkat tokoh-tokoh yang berasal dari Papua.

Pemilihan Papua sebagai tempat asal para tokoh menjadi relevan dengan situasi yang terjadi bukan hanya belakangan, tapi selama ini. Sejak 1960-an, Papua adalah lokasi paling juara dalam hal konflik berdarah. Tragedi kemanusiaan di Papua bisa jadi merupakan yang terlama dan terparah di negeri ini.

Sepanjang 2018-2021 saja, setidaknya 307 orang meninggal dalam konflik di enam wilayah merah di Papua. Adapun jumlah manusia yang terusir dari tanah dan rumah tempat mereka selama ini hidup diperkirakan 60-100 ribu orang. Menjelang peringatan 78 tahun Indonesia merdeka, belum ada tanda-tanda perbaikan di Papua—yang telah resmi separuh abad berintegrasi dengan Indonesia.

Baca: Enam Dekade Papua Berlumur Konflik

Mencari tokoh dari Papua, kami mulai meriset dan berdiskusi dengan berbagai narasumber yang kami anggap memiliki banyak data dan cerita. Kami, misalnya, berkali-kali berkomunikasi secara online ataupun offline dengan sejarawan dari Universitas Cenderawasih, Bernarda Meteray. Dalam satu pertemuan, ia mengajak koleganya membagikan hasil riset dan perspektif mengenai profil dan rekam jejak para tokoh perjuangan serta kondisi di Papua.

Dari mereka kami mendapatkan tiga nama di atas: Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan Silas Papare. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data dan bahan tulisan. Dari anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Papua, Yorrys Raweyai, kami mendapatkan sejumlah dokumen tentang peran Silas Papare. Ayah Yorrys, Thung Tjing Ek, adalah salah satu rekan seperjuangan Silas.

Kami pun menugasi dua wartawan terjun langsung ke Papua. Francisca Christy Rosana terbang ke Jayapura dan Merauke untuk bertemu dengan sejumlah narasumber yang mengetahui sepak terjang Frans Kaisiepo dan Marthen Indey. Sedangkan Hussein Abri Dongoran pergi ke Biak Numfor dan Serui di Kepulauan Yapen untuk menemui sejumlah kerabat Silas Papare dan Frans Kaisiepo.

Sepanjang proses peliputan bahkan hingga penulisan, redaksi Tempo tak berhenti berdiskusi, dan kadang-kadang berdebat seru, soal tiga tokoh tersebut. Misalnya mengenai pengenalan rakyat Papua terhadap tiga tokoh yang menjadi pahlawan versi NKRI. Juga kesejahteraan penduduk Papua pasca-Pepera yang jauh dari keyakinan atau imajinasi Frans Kaisiepo dan koleganya. Hingga kini, Papua—dengan kekayaan sumber daya alam luar biasa—menjadi pulau dengan kondisi kemiskinan terburuk di Indonesia.

Barangkali itulah yang membuat Frans Kaisiepo menanggung beban hingga akhir hidupnya. Betapapun Frans memiliki andil mengusir Belanda dari Papua, dia bahkan tak bisa dimakamkan di kampung halamannya. Penduduk setempat menyalahkan penanggung jawab Pepera itu atas penderitaan rakyat Papua. Gelar pahlawan seperti menjadi paradoks untuk Frans dan teman-teman seperjuangannya yang ngotot menjadikan Irian bagian dari Indonesia. Pun gelar itu tak serta-merta membuat hati rakyat Papua terikat dengan NKRI.

Dalam kondisi ini, pemerintah tak perlu memaksakan, apalagi dengan cara-cara kekerasan, nasionalisme dan keindonesiaan untuk rakyat Papua. Yang perlu disegerakan saat ini: dialog untuk memadamkan api konflik abadi di Papua yang berdampak krisis kemanusiaan. Selamat membaca.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Paradoks Pahlawan dari Papua". Tim Edisi Khusus Kemerdekaan 2023: Penanggung jawab: Fery Firmansyah, Stefanus Pramono; Kepala proyek: Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Dongoran; Penulis: Aisha Shaidra, Egi Adyatama, Erwan Hermawan, Fajar Pebrianto, Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Dongoran, Shinta Maharani; Penyumbang bahan: Fajar Pebrianto (Jakarta), Francisca Christy Rosana (Jayapura dan Merauke), Hussein Abri Dongoran (Biak Numfor dan Serui), M.A. Murtadho (Bogor), Shinta Maharani (Yogyakarta); Penyunting: Bagja Hidayat, Fery Firmansyah, Mustafa Silalahi, Raymundus Rikang, Stefanus Pramono; Periset foto:
Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama; Fotografer: Hilman Fathurahman; Desainer: Dianka Rinya Fitriansyah, Imam Riyadi, Rio Ari Seno, Riyan R akbar; Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus