Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha mempertanyakan mekanisme pelaksanaan ekspor pasir laut.
Singapura menjadi penyerap terbesar pasir laut dari Indonesia.
Pemerintah diduga menyamarkan istilah pasir laut dengan hasil sedimentasi.
ACARA sosialisasi peraturan mengenai ekspor hasil sedimentasi laut yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan di Bandung, Jawa Barat, Jumat, 20 September 2024, dibanjiri pertanyaan. Sekitar 60 perwakilan perusahaan dan asosiasi pengusaha dalam pertemuan itu merasa masih ada banyak masalah yang belum terjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Indonesia Kepulauan Riau Herry Tousa mengatakan salah satu yang memerlukan penjelasan detail adalah soal kewajiban memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk mekanisme pelaksanaannya. Berdasarkan ketentuan, pemerintah mengizinkan ekspor pasir laut jika kebutuhan domestik telah terpenuhi. Pertanyaannya, kata Herry, “Kebutuhan dalam negeri itu berapa?” Ia mempertanyakan data atau hitungan proyeksi kebutuhan dalam negeri dalam setahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana ekspor hasil sedimentasi laut tengah menjadi topik pembicaraan panas. Reaksi pro dan kontra muncul sejak pemerintah mengganti istilah “pasir laut” dengan “hasil sedimentasi laut” dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023. Sejumlah kalangan menduga tujuan penggantian istilah ini adalah menyamarkan ekspor dan penambangan pasir laut yang pernah dilarang Presiden Megawati Soekarnoputri dua dekade lalu. “Sejak awal kami curiga ini adalah ekspor pasir laut,” ujar Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Parid Ridwanuddin pada Kamis, 26 September 2024.
Menurut Parid, klaim pemerintah mengenai pemanfaatan sedimen atau material hasil pengendapan di laut seperti pasir, lumpur, dan batu untuk kebutuhan dalam negeri terbantahkan dengan terbitnya peraturan Menteri Perdagangan tentang izin ekspor. Namun Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengatakan wewenang pengaturan pemenuhan kebutuhan pasir atau sedimen laut berada di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sampel sedimentasi laut yang berhasil diambil di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. FOTO/Dok.Nelayan Karimun
Kepada Tempo pada Senin, 23 September 2024, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaaf Manoppo mengatakan lembaganya telah menetapkan estimasi kebutuhan domestik pada 2024 sebesar 26,19 juta meter kubik, antara lain untuk reklamasi. Pasokannya berasal dari tujuh lokasi, yakni Kabupaten Demak, Jawa Tengah; Kota Surabaya, Jawa Timur; Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Karawang, Jawa Barat; Selat Makassar; dan Laut Natuna-Natuna Utara. Potensi volumenya diperkirakan 17,66 miliar meter kubik.
Kementerian Kelautan telah memverifikasi dan mengevaluasi 66 perusahaan yang mengajukan permohonan izin pemanfaatan pasir laut. Dalam proposalnya, perusahaan harus menyertakan daftar mitra dredger atau operator kapal penyedot pasir laut serta calon pembeli. Berdasarkan data permohonan izin perusahaan, kebanyakan calon pembeli memang perusahaan lokal, tapi tidak sedikit yang berasal dari Singapura.
Singapura termasuk pasar terbesar pasir laut. Negeri yang biasa disebut kota pulau ini membutuhkan pasir dalam jumlah sangat besar. Selain menjadi material konstruksi bangunan, pasir diperlukan untuk menguruk atau mereklamasi pantai. Negara pulau ini terus berekspansi menambah area daratannya dengan slogan “More Land, More Homes, More Greenery” yang terkenal.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Victor Gustaaf Manoppo saat ditemui di sela acara Pertemuan Kelima Tingkat Menteri AIS Forum yang digelar di Nusa Dua, Bali, Selasa (10/10/2024). ANTARA/Sinta Ambar/pri.
Pada 2030, kebutuhan lahan di Singapura diperkirakan meningkat dari 71.400 hektare menjadi 76 ribu hektare. Saat ini, seperti dikutip dari The Straits Times, 19 Agustus 2024, Singapura bersiap membangun kembali pantai selatannya dengan garis pantai sepanjang 120 kilometer yang membentang dari Terminal Pasir Panjang hingga Terminal Feri Tanah Merah. Perluasan daratan ini akan menawarkan banyak kemungkinan.
Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong mengungkapkan rencana tersebut dalam pidato perdananya dalam Rapat Umum Hari Nasional, 18 Agustus 2024. Ia mengatakan, sebagai bagian dari transformasi ini, rumah-rumah baru akan ditambahkan di kawasan tepi laut dekat kota di Marina East dan Nicoll—area antara Marina Bay dan Singapore Sports Hub di Kallang.
Juga di Long Island, lepas pantai timur, yang studi teknisnya telah dimulai akhir tahun lalu. Proyek ini akan menghasilkan 800 hektare lahan reklamasi atau dua kali lipat area Marina Bay. Investasi besar tersebut diperkirakan memakan waktu puluhan tahun, seperti proyek reklamasi dan pengembangan Marina Bay yang dimulai tepat setelah Singapura memperoleh kemerdekaan pada 1965.
Proyek-proyek jumbo itu membutuhkan pasokan pasir dalam jumlah besar. Perkiraannya, untuk menguruk atau mereklamasi lahan 1 kilometer persegi, diperlukan 37,5 juta meter kubik pasir atau sama dengan mengisi tiga setengah bangunan Istana Negara. Dulu Indonesia adalah pemasok terbesar pasir laut ke Singapura, sebelum kebijakan moratorium ekspor pasir laut dikeluarkan pada 2004. Pasokan utama berasal dari pasir laut di sekitar Kepulauan Riau. Selain jaraknya dekat, pasir laut dari kawasan Kepulauan Riau dikenal berkualitas bagus.
Singapura juga mendapat pasokan pasir antara lain dari Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Menurut Herry Tousa, harga pasir laut dari Indonesia (Kepulauan Riau) berkisar S$ 20-24 per meter kubik, jauh lebih mahal ketimbang pasir asal Johor, Malaysia, yang dihargai S$ 14-16 per meter kubik. "Johor lebih dekat dengan Singapura sehingga lebih murah," tutur Herry. Adapun harga pasir asal Vietnam di atas S$ 30 karena jarak yang jauh. Meski lebih mahal, Herry menambahkan, pasir laut Indonesia diminati karena kualitasnya yang bagus.
Pada 2022, The Observatory of Economic Complexity mencatat Singapura mengimpor pasir senilai US$ 46,6 juta. Angka ini menempatkan Singapura sebagai negara pengimpor pasir terbesar ke-15 di dunia. Pasir pun menjadi produk impor terbanyak ke-472 bagi Singapura. Pasokannya berasal dari Malaysia (77 persen), Filipina (14 persen), Uzbekistan (4 persen), dan India (1 persen).
Permintaan pasir laut juga berkaitan dengan naiknya demand pasir silika global. Berdasarkan data Fortune Business Insight, nilai pasar komoditas ini mencapai US$ 12,16 miliar pada 2023, kemudian meningkat menjadi US$ 13,10 miliar pada 2024. Angka permintaan akan terus meningkat menjadi US$ 23,70 miliar pada 2032. Tren peningkatan angka permintaan pasir laut dipicu aktivitas sektor infrastruktur dan konstruksi yang bertumbuh. Penggerak lain adalah permintaan pasir silika untuk industri kaca dan panel surya.
Di Indonesia, pembukaan kembali izin ekspor pasir hasil sedimentasi laut justru membuat Herry Tousa meradang. Ia kecewa lantaran izin itu hanya diberikan kepada perusahaan pengelola sedimen laut di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sedangkan anggota Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Indonesia yang dipimpin Herry adalah pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Saat ini, Herry mengungkapkan, tersisa enam dari semula puluhan perusahaan anggota asosiasinya yang memegang IUP yang masih berlaku. Namun mereka tak bisa beraktivitas karena pemerintah melarang ekspor pasir laut. Karena itu, dalam forum sosialisasi di Bandung, 20 September 2024, Herry mempertanyakan rencana ekspor hasil sedimentasi laut.
Herry yakin ada yang tak beres dalam kebijakan ini. Sebab, kebanyakan sedimen laut berupa lumpur yang menjadi limbah. Adapun yang dibutuhkan Singapura untuk mereklamasi pantai serta pasar buat proyek-proyek konstruksi dan infrastruktur adalah pasir laut. Di sisi lain, pemerintah menggunakan istilah “hasil sedimentasi laut” hanya di dalam regulasi. Dalam beberapa dokumen surat-menyurat, pemerintah tetap memakai “pasir laut”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Caesar Akbar dan Yogi Eka Sahputra di Batam berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Lego Pasir Berselimut Lumpur"