Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“KEBUTUHAN publik terhadap ruang kebudayaan sangat tinggi,” kata Handoko Hendroyono, praktisi periklanan salah satu pendiri M Bloc Space, kawasan pusat kreatif atau creative hub anak-anak muda di Jakarta Selatan. Lokasi M Bloc yang memanfaatkan bekas perumahan karyawan dan gudang Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia di bilangan Blok M ini kini menjadi kawasan ekonomi-kebudayaan dengan kompleks kafe plus ruang kreatif milenial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama penyelenggaraan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023, M Bloc Space menjadi salah satu lokasi pameran dan pertunjukan. Handoko melihat potensi pemanfaatan gedung-gedung tua milik pemerintah, dari bekas kompleks gudang sampai eks pabrik, sebagai lokasi ruang alternatif kebudayaan demikian besar. “Di daerah-daerah banyak lokasi yang bisa diberdayakan. Dari gedung perusahaan piringan hitam Lokananta di Solo sampai bekas bioskop Dian di Bandung bisa menjadi destinasi cagar budaya sekaligus ruang kreatif publik. Bekas bioskop Dian, misalnya, bisa diaktifkan kembali menjadi semacam situs heritage cinema paradiso,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerilya merebut ruang-ruang perkotaan menjadi ruang budaya inklusif beserta cara pendanaannya dan impak ekonominya di kabupaten, kota, dan provinsi menjadi salah satu topik yang menarik dalam Kongres Kebudayaan Indonesia. “Saya pernah ke Toledo, Spanyol, semua unsur kebudayaan kota bisa ditawarkan menjadi bagian ekonomi kebudayaan,” ucap Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik, dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan. Adapun Handoko melihat, untuk menciptakan citra baru, dibutuhkan narasi yang juga baru bagi ruang-ruang strategis yang terbengkalai.
“Selama PKN ini di Padang, kami, misalnya, menjadikan bekas pabrik lokasi festival bernama Festival Pusako. Festival ini meliputi seni pertunjukan, pameran, kuliner, sampai pemutaran film. Antusiasme anak muda Padang luar biasa, ribuan datang tiap hari," ujar Handoko (lihat tulisan bagian ketiga). Menurut Handoko, pemerintah harus memiliki strategi besar seperti Korea, Jepang, dan Thailand. “Harus ada regulasi agar institusi pemerintah tidak terkotak-kotak dalam mendanai kebudayaan,” katanya.
Rancangan induk atau grand design demikian juga harus menyentuh penanganan taman budaya, dewan kesenian, museum, sampai situs cagar budaya. Kedatangan para pengurus dewan kesenian daerah ke Kongres Kebudayaan menguak satu hal: mereka bekerja tanpa anggaran yang cukup, bahkan nol. Dewan Kesenian Samosir di Sumatera Utara dan Dewan Kesenian Palu, misalnya, selama ini bekerja hanya dengan militansi pengurusnya. “Memang betul banyak taman budaya yang membayar biaya listrik saja tak mampu,” tutur Mahendra.
Mungkin hanya Dewan Kesenian Jakarta yang saat ini mendapat pendanaan secara teratur dan cukup besar dari pemerintah Jakarta. “Dulu sewaktu Ali Sadikin memang sama sekali belum terpikirkan adanya dewan-dewan kesenian daerah,” ujar Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2015-2018, Irawan Karseno.
Pengunjung menuliskan kata-kata tentang Jakarta saat pembukaan pameran Kata Kota Kita di M-Bloc Space, Jakarta, 18 Oktober 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
Terungkap pula di mana-mana ada kekurangharmonisan antara dewan kesenian dan pemerintah sehingga pendanaan dewan kesenian minim, bahkan macet. Imam Maarif, peserta Kongres yang juga anggota Komite Sastra DKJ, melihat dana kebudayaan di tiap kota sebenarnya tersedia bukan hanya dari dinas kebudayaan. “Selain dinas kebudayaan, misalnya dinas pariwisata, dinas perpustakaan dan kearsipan, dinas pemuda dan olahraga, dinas pendidikan memiliki dana, tapi belum terkoneksi satu sama lain,” katanya. Ketua baru DKJ, Bambang Prihadi, mengatakan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta memiliki program-program kebudayaan yang selama ini tidak diketahui DKJ. “Kini, karena ada kemitraan yang baik dengan kami, festival teater anak, remaja, sampai kampus akhirnya dikelola bersama,” ucapnya.
“Saat ada otonomi daerah, pemerintah daerah banyak tidak siap dalam konsep besarnya,” tutur Mahendra. Halim HD, pekerja kebudayaan asal Solo, Jawa Tengah, ingat, sebelum ada otonomi daerah, Taman Budaya Jawa Tengah di Solo di bawah pimpinan (almarhum) Murtidjono malah sangat hidup. Dalam setahun, ratusan seni pertunjukan digelar. Kelompok seni dan seniman kritis seperti Teater Dinasti, Wiji Thukul, dan Emha Ainun Nadjib kerap tampil. “Saat ada kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, Taman Budaya Jawa Tengah malah sepi. Pejabatnya tak mengerti seni,” ujarnya.
Mahendra, yang kini juga menjabat pelaksana tugas Kepala Museum dan Cagar Budaya, unit baru di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang mengelola 18 museum dan 34 situs cagar budaya di Indonesia, melihat banyak museum dan cagar budaya menjadi aset tidur. “Kami menata aset-aset itu tanpa menyalahi aturan-aturan cagar budaya,” katanya. Pemerintah akan menjadikan museum dan galeri yang dimilikinya berstatus badan layanan umum atau setengah swasta sehingga bisa mencari pemasukan sendiri demi meningkatkan pelayanan. “Itu seperti rumah-rumah sakit negeri yang dimiliki Kementerian Kesehatan yang punya kemandirian anggaran. Betapapun demikian, prinsip pelindungan dan pelestarian tetap yang utama,” tuturnya.
Untuk pengembangan karya kreatif di seluruh negeri, Direktorat Jenderal Kebudayaan selama ini memiliki dua jalur pendanaan bagi para seniman, yakni Fasilitasi Bidang Kebudayaan yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta jalur alternatif hasil pengelolaan dana abadi kebudayaan yang tidak bergantung pada siklus APBN. Lima tahun lalu, Kongres Kebudayaan mengamanatkan penyediaan dana abadi kebudayaan yang disalurkan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan.
Pada 2020, dana abadi bertajuk Dana Indonesiana ini diberikan kepada 196 perseorangan/kelompok/komunitas/lembaga, lalu 131 penerima pada 2021 dan 311 penerima pada 2022. Dana disalurkan merata ke seluruh Indonesia, tapi belum sempurna. Dari para peserta Kongres, terutama dari daerah, terhimpun informasi adanya sejumlah kendala, dari masalah Internet sampai sulitnya pelaporan. Mereka berharap ada pelatihan tentang seluk-beluk pendaftaran dan pelaporan Dana Indonesiana. “Soal pajak, misalnya, masih banyak yang belum mengerti,” kata Alex Sihar, pengelola Dana Indonesiana.
Dana abadi kebudayaan yang dimiliki Direktorat Jenderal Kebudayaan sekarang sebesar Rp 5 triliun. Bunga dana itu sekitar Rp 200 miliar yang digunakan. “Itu pun masih sisa,” ujar Wisnu Sardjono Soenarso, Direktur Fasilitasi Riset LPDP. Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, pada 2024 dana perwalian akan ditambah menjadi Rp 7 triliun. Karena itu, bagi banyak peserta Kongres, diperlukan grand design jangka panjang agar dana tersebut dapat dimanfaatkan secara lintas generasi dan berkelanjutan. Pemerintah daerah pun diharapkan memiliki skema dana abadi kebudayaan sendiri. Dana abadi kebudayaan yang sudah ada di pusat perlu diperkuat dengan dana di daerah.
“Dana abadi daerah untuk kebudayaan sangat krusial. Pasal 1 angka 83 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah mendefinisikan dana abadi daerah sebagai dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersifat abadi. Dana abadi dapat diperoleh antara lain dari hasil investasi pendapatan daerah yang tidak terserap. Dana juga dapat dihimpun dari pendapatan pajak hiburan, hibah pihak swasta, atau hasil kerja sama dengan pihak ketiga lain. Semua itu bisa menjadi modal awal dana abadi kebudayaan daerah,” tulis Ratri Ninditya, koordinator peneliti Koalisi Seni dalam siaran pers yang disebar dalam Kongres.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Harapan Grand Design"