Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
M.H. Thamrin meninggal pada 11 Januari 1941 setelah kedatangan seorang dokter dan pasukan Belanda.
Banyak pihak menduga ia sengaja disingkirkan karena aktivitas politik dan suara vokalnya di Volksraad.
MALAM menjelang dinihari, saat itu kondisi tubuh Mohammad Hoesni Thamrin sedang panas dan menggigil. Suasana mencekam ketika beberapa orang dari pasukan Belanda, termasuk seorang dokter, tiba-tiba datang ke rumah gedongan di Sawah Besar, Batavia, itu. Rumah itu hanya dihuni istri M.H. Thamrin, Otoh Arwati, perempuan sederhana dari Sukabumi, Jawa Barat; anaknya, Deetje Zubaidah; dan pembantu rumah bernama Entong. Mereka tak berani bertindak apa pun ketika dokter dan beberapa anggota pasukan memasuki kamar Thamrin. Tapi anak Thamrin, Deetje, masih sempat mengintip dari lubang angin pintu kamar yang berdekatan dengan kamarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dokter itu menyuntikkan sesuatu ke tubuh ayahnya. Setelah itu, mereka pergi begitu saja. Dokternya bilang jangan dibangunkan,” begitu Diennaryati Tjokrosuprihatono dan Akbar Chasany, cucu M.H. Thamrin, menirukan ucapan ibu mereka. Saat itu Otoh, Deetje, dan Entong menunggu cukup lama di dekat Thamrin. Tapi kemudian Otoh curiga karena suaminya tak bergerak. “Coba kamu lihat,” ujar Dieny—sapaan Diennaryati—menirukan ibunya lagi. Setelah dilihat, Thamrin tak lagi bernapas. Pecahlah tangis mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subuh yang pilu, sementara polisi menjaga rumah gedongan tersebut. Saat itu, beberapa hari belakangan, Belanda menjadikan Thamrin tahanan rumah. Ia dan semua orang di rumah tak boleh keluar. Pun kunjungan orang luar dilarang. Entong kemudian berinisiatif menghubungi kolega Thamrin, sesama anggota Volksraad yang berdekatan rumahnya. “Entong mengambil tangga dan melompati tembok belakang rumah untuk memberi tahu Pak Mochtar (Mochtar Prabu Mangkunegara),” tutur Akbar Chasany. Dia juga mendapat cerita itu dari ibunya.
Setelah memastikan Thamrin meninggal, Akbar melanjutkan, Mochtar langsung mengusir beberapa polisi yang masih menjaga rumah itu. “Kamu ngapain masih di sini? Yang kamu jaga sudah meninggal,” ujar Akbar menirukan perkataan ibunya.
Menurut penjelasan dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin: Berjuang untuk Rakyat, ketika Thamrin sakit saat menjadi tahanan rumah, istri Thamrin meminta dokter pribadi atau dokter keluarga memeriksa suaminya. Karena kondisi Thamrin tak kunjung membaik, mereka panik. Berkali-kali mereka meminta dokter pribadi untuk memeriksa, tapi tak dikabulkan. Justru dokter lain yang didatangkan ke rumah itu dan membuat keluarga heran. Senada dengan tuturan Dieny dan Akbar, setelah dokter datang dan memeriksa Thamrin, istri dan anaknya dilarang mendekatinya.
“Kami hanya duduk di sekeliling Ayah dan tidak boleh mendekat lagi. Tapi Ibu punya firasat lain. Karena Ayah sudah tidak terdengar lagi bernapas. Setelah itu, Entong nekat mendekati Ayah, ternyata sudah mengembuskan napas terakhir,” demikian penjelasan Deetje dalam buku itu.
Otoh lantas jatuh dan Deetje hanya bisa menangis sambil menggigit sapu tangan. Melihat keadaan itu, Entong lalu menyelinap lewat tembok belakang, menghubungi Mochtar, dan mengumumkan kematian Thamrin. Mochtar pun menyuruh anggota pasukan Belanda yang berjaga itu pulang. Warga setempat berbondong-bondong mengunjungi rumah itu. Mereka seakan-akan tidak percaya Thamrin meninggal di usia muda. Saat itu suhu politik sedang tinggi-tingginya.
Berita kematian M.H. Thamrin di surat kabar Keng Po yang terbit pada 11 Januari 1941.
Banyak yang merasakan kejanggalan dalam kematian Thamrin yang mendadak tersebut. Apalagi aktivitas pergerakan dan suara lantang Thamrin di Volksraad cukup intens saat itu. Belanda juga mencurigai Thamrin berkomplot dengan Jepang untuk melawan pemerintah Belanda. Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dan wartawan Rosihan Anwar juga menuliskan bahwa kematian “Abang Betawi” ini diliputi kabut kerahasiaan. Mereka curiga Thamrin sengaja dibunuh atau diracun.
Dari surat kabar Keng Po, juru bicara Partai Indonesia Raya (Parindra) di Volksraad, Soekardjo Wirjopranoto, menulis sebuah interpretasi atas kematian Thamrin yang ditujukan kepada Belanda. Tulisan itu kemudian dibalas oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah mengaku menemukan sepucuk surat Thamrin yang mengatakan larinya pemerintah Belanda ke London sebagai hal yang memuakkan dan tindakan penakut. Ditemukan pula laporan ekonomi yang dibuat Douwes Dekker atas permintaan seorang agen perdagangan di Tokyo, Tuan Sato. Laporan itu banyak memberi kesaksian mengenai dendam terhadap pemerintah Belanda dan melukiskan kebijakan Belanda di daerah-daerah kekuasaannya sebagai politik pemerasan dan penindasan.
Soekardjo juga mengatakan jawaban pihak Belanda itu memuat alasan pemerintah mengucilkan Thamrin atas aksi-aksinya. Kematian Thamrin dapat ditafsirkan disebabkan oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang secara tidak langsung berupaya menyingkirkan orang-orang yang dianggap merongrong kewibawaan pemerintah. Dugaan Thamrin sengaja dibunuh secara perlahan-lahan masih merupakan misteri.
Deetje selalu teringat kenangan ayahnya dan para kolega ayahnya yang merasa kehilangan. Mereka menyampaikan belasungkawa dan berdoa untuk ayahnya. Dia juga mengingat beberapa orang saat ayahnya masih hidup meminta keluarganya berhati-hati karena begitu rawannya situasi dan peran ayahnya sebagai anggota Volksraad.
Berita kematian Thamrin mengejutkan banyak orang. Surat kabar Keng Po yang getol menuliskan pergerakan dan nasionalisme memberitakan meninggalnya “Macan Volksraad” ini pada hari yang sama. Surat kabar ini memuat warta itu di halaman kedua dengan judul “M.H. Thamrin Meninggal” yang disertai tanda salib. Foto Thamrin berbaju putih, berdasi, dan berpeci dalam posisi agak menyamping melengkapi artikel berita itu. Keng Po menuliskan, “Tadi pagi djam 4 telah meninggal doenia, kerna malaria tropica toean M.H. Thamrin”.
Berita itu menyebutkan dokter yang merawat adalah dokter Kajadoe. Ia mengatakan Thamrin juga menderita penyakit jantung. Volksraad menerima kabar kematian itu dan menyampaikan ucapan dukacita karena Thamrin adalah orang pertama yang menjadi vice-voorzitter. Duka kehilangan juga dirasakan para anggota Parindra. Kalangan pergerakan nasional menulis Thamrin sebagai “djago-cooperator” yang besar. Sementara itu, di kalangan pers, Thamrin sering dipanggil “Abang Betawi” karena ia adalah pemimpin besar yang berdarah Betawi. Ia juga disebut sebagai seorang orator ulung.
Baik Dieny maupun Akbar menyebutkan kecurigaan Thamrin meninggal karena dibunuh itu ada meski tidak terdapat bukti. Ibu mereka mengaku mengetahui dokter yang datang pada dinihari itu. Tapi ia enggan menyampaikan namanya. “Ibu bilang cukup dia yang tahu. Jika disebutkan, ia khawatir akan terjadi perpecahan bangsa,” ucap Dieny. Keluarga saat itu juga tak bisa berbuat banyak untuk menyelisik kematian Thamrin. “Ibu masih sekecil itu, Nenek pun perempuan sederhana.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Misteri Kematian pada Pagi yang Menggigil"