Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Nasib Mangrove dan Pesut Tergilas Proyek Ibu Kota Nusantara

Masifnya pembangunan Ibu Kota Nusantara hingga membabat mangrove. Mengancam habitat pesut dan duyung di Teluk Balikpapan.

9 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM enam bulan belakangan, muncul aktivitas tak biasa di seberang Pelabuhan Cita Sabut milik PT Itci Hutani Manunggal. Lokasinya di Kampung Sabut, Desa Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Sejumlah alat berat tiba-tiba dikerahkan untuk menumbangkan sekurang-kurangnya empat hektare mangrove kuning di hulu Teluk Balikpapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tumpukan kayu bakau kemudian ditimbun dengan tanah membentuk daratan. Pemerintah mencanangkan tempat itu sebagai dermaga wisata bernama Pelabuhan Punggur. Jaraknya hanya 8,2 kilometer dari pusat ibu kota atau acap kali disebut Kawasan Inti Pusat Pemerintahan Ibu Kota Nusantara (IKN). Pelabuhan itu memanfaatkan jalan penebangan (logging) yang sebelumnya dibuat oleh PT Itci Hutani sebagai pemegang konsesi hutan tanaman industri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mendengar rencana tersebut, Jubain yang merupakan kepala adat suku Balik di Pemaluan berupaya mencegah. Sebab, pembangunan dermaga itu dikabarkan hampir membabat habis bako lemit, istilah lokal untuk menyebut mangrove kuning yang endemis di Kalimantan Timur. “Ketika saya pergi ke sana, alat-alat berat sudah tidak ada di lokasi,” kata Jubain kepada Tempo pada Jumat, 7 Juni 2024.

Bako lemit atau mangrove kuning, mangrove yang disakralkan oleh suku Balik dan Paser, dan hanya ada di kampung Sabut, Kalimantan Timur. Tempo/Abdallah Naem

Bako lemit merupakan mangrove yang disakralkan bagi masyarakat suku Balik serta Paser dan hanya ada di Kampung Sabut. Warna daunnya hijau kekuningan, berbeda dengan jenis mangrove biasa. Di sana warga sering kali menjadikannya tempat upacara ritual. Lokasinya hanya berjarak 50 meter dari pelabuhan logistik IKN yang sedang dibangun pemerintah.

Jubain sempat menyampaikan protes kepada pengelola proyek, meminta deforestasi mangrove dihentikan. Lebih khusus ia meminta pengelola mengeluarkan kawasan mangrove kuning dari area pembangunan pelabuhan. Dia menandai tempat itu menggunakan bendera warna kuning dan putih. Hanya, protes Jubain tak mendapat tanggapan.

Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir dan Nelayan Balikpapan, Husen Suwarno, menyebutkan bukan kali ini saja pemerintah bertindak sewenang-wenang. Pada Maret 2024, Otorita Ibu Kota Nusantara berkonflik dengan suku Balik lantaran ada rencana penggusuran permukiman di Kampung Sabut. Pemerintah sempat membantah jika disebut akan melakukan penggusuran dan menjamin keberadaan masyarakat adat.

“Semua jenis pembangunan untuk IKN, dari pelabuhan, jalan tol, jembatan, hingga ekspansi perusahaan, telah menghajar mangrove,” tutur Husen. Pembabatan mangrove secara sporadis itu terjadi di banyak titik di seluruh bentangan hulu-hilir Teluk Balikpapan. Deforestasi hutan alam itu juga terjadi di Kampung Sabut, yang merupakan tempat tinggal suku Balik.

Husen menjelaskan, luas hutan mangrove di Teluk Balikpapan mencapai 17 ribu hektare dengan keberagaman 40 jenis bakau. Bentangannya merupakan rumah bagi banyak jenis satwa, di antaranya beruang madu, macan dahan, pesut, duyung, buaya muara, penyu hijau, dan beragam jenis burung. Pokja Pesisir memperkirakan ada 100 jenis mamalia dan 300 jenis burung di hutan mangrove Teluk Balikpapan.

Satwa yang paling banyak ditemukan di bakau Teluk Balikpapan adalah bekantan. Pada 2019, populasinya diperkirakan 1.449 ekor. Temuan ini merujuk hasil riset peneliti Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan pada Badan Riset dan Inovasi Nasional, Tri Atmoko, dan kawan-kawan. “Namun populasi saat ini berada dalam bahaya akibat konversi habitat dalam skala besar,” tulis Tri Atmoko dalam jurnal Environmental Monitoring and Assessment yang diterbitkan Springer International Publishing pada 3 Januari 2024.

Dalam riset tersebut, bekantan menghadapi tekanan yang luar biasa karena ekspansi pembangunan oleh banyak korporasi di Teluk Balikpapan dalam beberapa dekade. Namun populasinya tetap stabil. Hanya, bekantan menghadapi ancaman baru dari pembangunan IKN. Akibatnya, terjadi penurunan luas habitat dari 201,91 kilometer persegi pada 2017 menjadi 195,10 kilometer persegi pada 2022.

Tri Atmoko juga menyebutkan terjadi kehilangan habitat absolut tahunan sebesar 1,59 kilometer persegi atau melebihi regenerasi habitat yang hanya 0,23 kilometer persegi per tahun. Temuan ini inheren dengan laju deforestasi di wilayah IKN, yang mencapai 41,29 persen dari total habitat bekantan di Teluk Balikpapan. “Karena itu, kawasan habitat yang dilindungi harus diperluas mulai dari wilayah IKN hingga kabupaten tetangga.”

Pembina Pokja Pesisir—organisasi advokasi di kawasan Teluk Balikpapan—Hamsuri menyebutkan temuan Tri Atmoko itu merupakan bukti masifnya pembabatan mangrove. Pembabatan itu biasanya dilakukan secara parsial di wilayah-wilayah yang menjadi rencana pengembangan ibu kota. “Pada satu dermaga saja ditemukan sedikitnya 4 hektare mangrove yang digunduli,” ucap Hamsuri.

Pemerintah tak hanya membangun satu, tapi 15 dermaga di Teluk Balikpapan. Tujuannya adalah menyiasati kondisi perairan yang dangkal sehingga hanya dapat dilewati kapal ponton dengan ukuran 120 kaki (36 meter). Pelabuhan sebanyak itu untuk peti kemas, minyak sawit mentah (CPO), minyak dan gas, kayu, batu bara, wisata, serta beberapa peruntukan lain. Banyak di antaranya sudah lama terbangun.

Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara, Hilman Alif, menyatakan pembangunan belasan pelabuhan itu mengakibatkan deforestasi mangrove secara masif di Teluk Balikpapan. Luasan deforestasi yang mereka temukan mencapai 950 hektare yang berlangsung pada 2001-2023. “Penebangan mangrove memang tidak luas, tapi terjadi terus-menerus tiap tahun tanpa henti,” ujar Hilman.

Penggundulan bakau paling parah terjadi pada 2009 dengan luas 122 hektare. Adapun deforestasi saat pembangunan IKN dimulai cuma berkisar 31-56 hektare per tahun. Hanya, deforestasi itu terfokus di hulu Teluk Balikpapan, khususnya di sekitar pelabuhan IKN di Kecamatan Sepaku, sehingga mengakibatkan kerusakan habitat satwa yang dilindungi.

Pembabatan tak hanya menyasar mangrove, tapi juga hutan alam yang tersisa di IKN. Hilman mendapati total deforestasi 2.000 hektare di atas 252.600 hektare kawasan IKN. Meski tak banyak, pembabatan itu terjadi di luar area konsesi atau disinyalir dilakukan secara ilegal. Penebangan hutan alam ini berpotensi memperparah degradasi tutupan hutan di Kalimantan Timur.

Apalagi sebagian besar deforestasi terjadi di wilayah kawasan hutan. Misalnya di Teluk Balikpapan. Wilayah itu juga merupakan daerah mangrove yang memiliki akuifer atau lapisan bawah tanah yang mengandung air atau mata air. Badan Geologi pernah mengingatkan bahwa kawasan IKN di sekitar Teluk Balikpapan berpotensi diterjang rob. Selain itu, kawasan tersebut berada di zona sesar sehingga pendirian bangunan atau infrastruktur tidak disarankan.

Sebelum memotret deforestasi, Auriga Nusantara memetakan analisis citra satelit atas pembukaan lahan seluas 2.464 hektare di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan IKN. Meski itu adalah area konsesi hutan tanaman industri PT Itci Hutani Manunggal, aktivitas pembangunan mengakibatkan degradasi lahan. Akibatnya, daya dukung empat daerah aliran sungai di ibu kota merosot.

•••

TELUK Balikpapan merupakan rumah bagi banyak satwa endemis dan dilindungi. Sebagian di antaranya berada dalam status konservasi rentan atau terancam punah. Misalnya duyung dan pesut, yang disinyalir sebagai satwa endemis sejak Zaman Es. Tidak mengherankan bila Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) melalui Satuan Tugas Kawasan Konservasi Mamalia Laut (MMPATF) memasukkan Teluk Balikpapan sebagai Kawasan Mamalia Laut Penting (IMMA). 

Cekungan raksasa seluas 16 ribu hektare itu juga menjadi rumah bagi penyu hijau, buaya muara, lumba-lumba hidung botol, lumba-lumba hitam, duyung, dan beragam jenis ikan. Lantaran banyak didapati terumbu karang, padang lamun, dan mangrove kuning di antara 22 pulau kecil yang membentang, wajar bila kawasan itu menjadi daerah migrasi, tempat kawin, atau bertelur bagi pelbagai satwa yang dilindungi.

Adapun persebaran pesut hanya di Sungai Mahakam dan kawasan pesisir, khususnya Teluk Balikpapan. Daerah lintasan mereka di Teluk Balikpapan adalah di antara Muara Riko-Tanjung Batu-Karingau. Juga di Sungai Wain, Jenebora, Pulau Balang, dan Muara Pemaluan. Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) mencatat populasi satwa terancam punah itu tersisa 67 ekor saja pada 2023, menurun dibanding pada 2015 yang mencapai 73 ekor.

Peneliti Yayasan Konservasi RASI, Danielle Kreb, menceritakan, populasi pesut di Teluk Balikpapan sempat meningkat pada 2019-2020. Ketika itu aktivitas industri terhenti lantaran pandemi Covid-19. “Setahun berikutnya, tiba-tiba aktivitas kapal-kapal ponton yang membawa batu bara banyak sekali di dalam teluk. Bahkan sampai di bagian hulu, yang sebelumnya tidak ada aktivitas seperti itu,” kata Kreb kepada Tempo pada Rabu, 5 Juni 2024.

Kreb memulai penelitian pesut di Teluk Balikpapan pada 2000-2008. Kemudian ia lanjutkan pada 2011 dan 2018, saat terjadi petaka tumpahan minyak yang memenuhi teluk. Bencana itu berdampak matinya pesut dan merusak 12.987 hektare kawasan pesisir laut. Penelitian teranyar Kreb pada 2023 ketika ia dilibatkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara mengevaluasi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) di wilayah Teluk Balikpapan.

Dari dokumen amdal yang diperoleh Tempo, terdapat catatan penting ihwal temuan kritisnya kondisi pesut di Teluk Balikpapan pada 2023. Penelitian dilakukan di bagian selatan dan tengah teluk. Di bagian selatan didapati aktivitas pembabatan mangrove kuning. “Daerah yang kini dicanangkan sebagai Pelabuhan IKN itu sering kali ditemukan pesut muncul,” tulis dokumen tersebut.

Mereka turut mencatat adanya pembangunan beberapa dermaga di hulu Teluk Balikpapan, sehingga didapati lalu-lalang kapal-kapal raksasa untuk menyuplai logistik pembangunan pelabuhan. Di Teluk Balikpapan juga tengah dibangun Jembatan Nasional Pulau Balang sepanjang 470 meter yang menghubungkan IKN dengan Kota Balikpapan. Jembatan itu dibangun dengan anggaran negara mencapai Rp 331,8 miliar.

Ramainya aktivitas pembangunan dermaga dan jembatan itu mengakibatkan kebisingan dan getaran bawah air. Hal ini berdampak terhalangnya pesut bermigrasi dari Selat Makassar menuju hulu Teluk Balikpapan di Kecamatan Sepaku. Pada Juli 2023, penelitian hanya mendapati kelompok kecil satwa bernama ilmiah Orcaella brevirostris itu di sekitar hulu teluk. “Kemungkinan besar karena jalur migrasi harian pesut terhalang oleh kebisingan bawah air akibat aktivitas di Pulau Balang.”

Masih merujuk dokumen yang sama, lalu lintas kapal ponton yang mengangkut batu bara menuju hulu teluk mengakibatkan kebisingan bawah air. Dampaknya, pesut mengalami stres atau cedera. Penelitian itu juga mengingatkan bahaya rencana pembangunan terowongan bawah laut sepanjang 1,5 kilometer. Terowongan itu dikhawatirkan bisa mempersulit migrasi pesut dan duyung.

Masalah yang paling krusial adalah pencemaran logam berat di Teluk Balikpapan, yakni adanya konsentrasi amonia pada sampel air di segmen tengah teluk yang diambil pada September 2023. Kandungan rata-rata amonia mencapai 0,086 miligram per liter—tergolong tinggi mengingat ambang toleransi hanya 0,02 miligram per liter untuk kategori ikan sensitif. Hal ini mengakibatkan penipisan oksigen di perairan dan potensi kematian akut pada ikan.

Selain amonia, kandungan fosfat dan nitrat terdeteksi di sungai-sungai wilayah penyokong IKN, yakni di Sungai Wain dan Somber. Unsur kimia ini disinyalir muncul akibat pembukaan hutan mangrove yang masif di kawasan hulu teluk. Temuan ini juga inheren dengan sedimentasi yang kian banyak, mengakibatkan matinya habitat lamun—tumbuhan lingkungan laut dangkal.

Danielle Kreb enggan berkomentar ihwal isi dokumen tersebut. Namun dia tidak menepis adanya amdal yang menyoroti kondisi pesut dan satwa endemis lain di Teluk Balikpapan. Menurut dia, hampir tiap tahun ditemukan kasus kematian pesut di Teluk Balikpapan. “Persentase kematian lebih tinggi dibanding kelahiran lantaran pesut lambat reproduksinya,” ucap Kreb.

Dia mengingatkan bahwa Teluk Balikpapan, khususnya Pulau Balang, merupakan habitat pesut dan pelbagai satwa lain. Tempat yang kini dibangun jembatan tersebut merupakan daerah penting bagi lumba-lumba, duyung, penyu, ikan, dan ekosistem karang serta padang lamun. Mereka menghadapi ancaman ketika aktivitas kapal-kapal besar di sekitar pulau makin meningkat.

•••

DEPUTI Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Myrna Asnawati Safitri menjelaskan, lembaganya sudah menyusun Rencana Induk Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Di dalamnya memuat pembagian tujuh wilayah hotspot di IKN. “Salah satunya Teluk Balikpapan,” ujar Myrna kepada Tempo pada Rabu, 5 Juni 2024.

OIKN bahkan membuat rencana aksi lima tahun untuk pelindungan keanekaragaman hayati. Myrna mengklaim pembuatan rencana itu merupakan bagian dari keseriusan OIKN terhadap pelindungan wilayah mangrove dan satwa di Teluk Balikpapan.

Myrna juga menjelaskan bahwa Teluk Balikpapan secara administratif berada di antara tiga wilayah. Karena beririsan dengan Ibu Kota Nusantara, Kabupaten Penajam Paser Utara, dan Kota Balikpapan, upaya pelindungan ekosistem harus berkolaborasi dengan tiap pemerintah daerah.

“Ihwal penebangan mangrove yang ada di dalam wilayah IKN, kami lakukan pengawasan dan pemberian sanksi administratif berupa teguran dan paksaan menanami kembali,” kata Myrna. Bahkan pihaknya sempat melaporkan satu kasus dugaan pidana kejahatan lingkungan ke Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. “Mengenai lalu lintas kapal, kami sudah koordinasi dengan otorita pelabuhan. Prinsipnya sepanjang diatur dan tidak menimbulkan pencemaran, misalnya dari buangan minyak atau solar.”

Myrna menambahkan, deforestasi mangrove di Teluk Balikpapan berlangsung sejak 1999. Pada 1999-2022 diperkirakan ada pembabatan mangrove seluas 1.300 hektare. Ketika wilayah itu masuk IKN, pemerintah memperbaiki ekosistem dengan menjadikannya kawasan lindung. “Ini untuk mengerem laju deforestasi dan melindungi mangrove tersisa.”

Tempo berupaya meminta penjelasan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Anwar Sanusi ihwal pelbagai temuan terkait dengan deforestasi mangrove dan ancaman kepunahan satwa yang dilindungi, tapi tidak ditanggapi. Pertanyaan juga dikirimkan kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Herban Heryandana. “Silakan disampaikan ke humas KLHK,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Abdallah Naem dari Penajam Paser Utara berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mangrove Kuning Ditebang, Pesut Meriang"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus