Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMPU ruangan bulat planetarium di area Taman Pintar Yogyakarta mendadak padam. Suasana menjadi temaram dan langit terlihat dipenuhi ribuan titik yang mengeluarkan cahaya berpendar. Mereka seolah-olah menikmati suasana di dua waktu, yaitu malam di dalam planetarium dan pukul 09.30 pagi di luar. “Wah!” demikian teriakan anak-anak kelas V-VI Sekolah Dasar Negeri Jonggrangan 2, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu, 12 Oktober lalu.
Kursi-kursi empuk warna cokelat yang mereka duduki setengah direbahkan dengan memencet tombol oranye di sisi kiri-kanan kursi. Dengan duduk agak rebahan, semua mata memandang ke langit bangunan yang penuh bintang itu. “Saat ini kita sedang menikmati suasana langit Kota Yogyakarta, Rabu, 12 Oktober 2022, sekitar pukul 19.00 malam nanti,” operator menjelaskan.
Tak hanya melihat bintang, mereka menyaksikan planet-planet yang bertebaran di angkasa. “Planet yang paling tampak nanti malam adalah Jupiter,” kata operator lagi. Semacam cursor mengeklik planet kelima yang terdekat dengan matahari itu. Jupiter yang semula tampak kecil menjadi besar. Anak-anak bisa melihat lekukan-lekukan juga warna planet itu dengan jelas.
Pengunjung juga dikenalkan kepada penampakan beberapa planet lain, lalu menyaksikan tayangan simulasi hujan meteor. Mereka juga dijelaskan mengenai perbedaan meteor, meteorit, dan meteoroid. Dalam pertunjukan 30 menit itu, anak-anak mendapat penjelasan tentang benda angkasa di tata surya. “Aku mau ke sini lagi,” ujar seorang bocah kelas VI SD.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Budaya Kota Yogyakarta, pengelola Taman Pintar, Retno Yuliani mengatakan wahana planetarium menjadi salah satu tujuan favorit di tempat tersebut. Bangunan dome yang berdiameter 11 meter itu diharapkan menjadi pelepas dahaga pengunjung, baik anak-anak maupun orang dewasa, yang ingin melihat benda-benda langit pada malam hari.
“Terus terang ini terinspirasi Planetarium Taman Ismail Marzuki. Jadi kami anggap itu guru kami,” ucap Retno saat ditemui Tempo, Rabu, 12 Oktober lalu. Planetarium menjadi wahana mengajak anak-anak mencintai sains dengan cara yang menyenangkan. Planetarium di Taman Pintar diresmikan Menteri Pendidikan Mohammad Nuh pada 2012. Tempat ini juga pernah dikunjungi Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie bersama cucunya. “Kami pakai proyektor digital dan itu yang pertama digunakan untuk planetarium di Indonesia,” ucap Retno.
Retno menjelaskan, tak ada program edukasi khusus di wahana ini. Mereka hanya menginformasikan agenda astronomi terdekat. Pertunjukan biasanya menampilkan suasana langit real time pada malam hari, berbagai bintang, rasi, planet, dan hujan meteor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum pandemi merebak, jumlah pengunjung planetarium diperkirakan 10 persen dari total kunjungan ke Taman Pintar yang mencapai satu juta pengunjung. Sejak Taman Pintar dioperasikan kembali pada Oktober 2021, hingga September 2022, jumlah pengunjung baru berkisar 500 ribu. Bangunan planetarium paling mencolok di antara wahana edukasi lain di Taman Pintar.
Sebelum masuk ke planetarium, pengunjung diperkenalkan suasana stasiun ruang angkasa seperti di film Star Trek. Di samping planetarium, terdapat observatorium mini di seberang pintu wahana. Bangunan tinggi dengan atap setengah terbuka ini dilengkapi teleskop untuk melihat benda langit di siang hari. “Ya, memang cuma lihat matahari. Tapi bisa lihat jerawat matahari juga,” ujar Retno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kunjungan siswa ke Planetarium di Museum Loka Jala Crana kompleks Akademi Angkatan Laut di Bumimoro, Surabaya. TEMPO/Kukuh S Wibowo
Sejumlah teleskop masih disimpan. Rencananya teleskop akan digunakan untuk melihat gerhana bulan pada 8 November nanti. Lokasinya di Embung Giwangan yang merupakan Taman Pintar II, yang akan menjadi taman wisata budaya berbasis teknologi informasi dan akan diresmikan pada 2024.
Di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebuah planetarium berdiri di tanah seluas setengah hektare. Bangunan dua lantai itu mempunyai dua pintu masuk. Di lantai dasar terdapat galeri foto benda-benda angkasa di tata surya. Planetarium sendiri berada di lantai dua. Terdapat juga teropong bintang untuk memantau peristiwa gerhana.
Di dalam planetarium terdapat 91 kursi yang ditata melingkar dalam tiga baris. Di tengahnya terdapat dua mesin proyektor, yaitu peranti manual berjenis SkyMaster XKP3 dan proyektor otomatis Carl Zeiss yang didatangkan pada 2017 dengan harga per set mencapai Rp 22 miliar. Sekarang server proyektor otomatis ini rusak sehingga tak berfungsi. Kesulitan mendapatkan server serta kerusakan VGA dan harddisk membuat planetarium ini belum bisa dibuka untuk pengunjung. Padahal jumlah pengunjung tahun ini mencapai 1.000 orang, kebanyakan pelajar di Kalimantan Timur.
Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara Muhammad Ridha mengungkapkan server proyektor rusak lantaran faktor usia dan sudah saatnya diganti. “Saat ini kami masih mencari persamaan server itu karena alat-alat itu memang ada lisensi dari Jerman,” ujar Ridha.
Selama berdiri sejak 2003, planetarium ini baru satu kali mengalami pergantian proyektor. “Ini difungsikan untuk edukasi wisata pendidikan. Ada edukasi yang temanya tata surya,” katanya. Ridha menjelaskan, tak difungsikannya proyektor selama masa pandemi menyebabkan sejumlah komponen rusak. Sebelum pandemi menerjang, beberapa komponen, seperti lensa, lampu, dan server, juga harus diganti karena sudah uzur. Pihaknya telah menyiapkan anggaran pembelian server seharga Rp 50 juta, tapi tipe mesinnya tak lagi diproduksi.
Saat masih beroperasi, planetarium ini memutar film tiga dimensi berdurasi 40 menit mengenai edukasi tata surya dan bintang. Film yang diputar sendiri di antaranya mengenai Galileo Galilei. Tiket masuk yang dikenakan Rp 15 ribu untuk orang dewasa dan Rp 10 ribu untuk anak-anak. Dinas setempat berencana menjadikan planetarium sebagai teater mini bekerja sama dengan perusahaan bioskop selama server belum diperbaiki.
Di Surabaya, planetarium di Museum Loka Jala Crana, kompleks Akademi Angkatan Laut Bumimoro, selalu ramai dikunjungi oleh para siswa sekolah. Mereka belajar tentang keantariksaan dengan proyektor tua buatan Carl Zeiss pada 1968. Di dalam bola bintang ini tertanam memori 88 rasi bintang. Planetarium ini sejatinya ditujukan sebagai sarana belajar para taruna Akademi Angkatan Laut untuk mempelajari astronomi.
“Meskipun proyektor planetarium saat ini sudah serba digital, taruna tetap diwajibkan mempelajari yang manual ini untuk ngeplot (mempelajari arah tujuan kapal dengan astronomi),” ucap Kepala Bagian Museum Loka Jala Crana Letnan Kolonel (Khusus) Suhendra, Selasa, 18 Oktober lalu.
Suasana di dalam Planetarium Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. TEMPO/Apriyanto
Mengingat usia proyektor yang sudah uzur, perawatan setiap hari dilakukan dengan hati-hati oleh instruktur ahli. Termasuk mengganti optik yang kurang berfungsi, meski hasilnya tidak sebagus optik aslinya. Tapi hal itu tak mengurangi antusiasme pengunjung yang rata-rata pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Rabu pagi, 19 Oktober lalu, terlihat dua rombongan siswa SMP dari Surabaya dan Sidoarjo. Setiap rombongan datang mengunjungi museum dan planetarium menggunakan tiga bus dan enam angkutan kota.
“Keunikan proyektor planetarium ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung,” ujarnya.
Selain pelajar SMP dan SMA, ada pula kalangan mahasiswa dari Institut Sepuluh Nopember dan Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya. Mereka meneliti planetarium, teknologi proyektor, dan peralatan lain atau mendalami ilmu falak.
Tingkat kunjungan ke tempat ini, Suhendra menjelaskan, cukup tinggi setiap hari. Bahkan saat sebelum wabah corona datang jumlah pengunjung pernah mencapai seribu orang. Padahal kapasitas Planetarium hanya 50 orang. “Akhirnya yang masuk bergiliran 50 orang. Instrukturnya harus berulang-ulang menjelaskan,” tutur Suhendra. Begitu pandemi mereda, angka kunjungan mulai meningkat meski belum seramai sebelumnya.
PITO AGUSTIN RUDIANA, APRIYANTO, KUKUH S. WIBOWO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo