Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Literasi Lewat Samudra

Perahu Pustaka ikut dalam ekspedisi padewakang dari Makassar, Sulawesi Selatan, ke Darwin, Australia.

22 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMI mengurangi kecepatan perahu. Samar terlihat terumbu karang di bawah permukaan air, disusul padang lamun. Satu awak kami segera menyiapkan jangkar di haluan, lainnya mengontrol mesin. Tiba di dermaga Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, kami membopong tikar dan segepok buku dari kapal. Lapak pun digelar. Begitu kebiasaan Perahu Pustaka tiap kali merapat di suatu pulau, termasuk dalam ekspedisi "Before 1770" dengan perahu padewakang selama 50 hari sejak 8 Desember 2019. “Ayo ke sini, ada banyak buku untuk kalian,” kata Magdalena Eda Tukan, pegiat Simpasio Institute—komunitas literasi setempat—kepada anak-anak di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Magdalena dan kawan-kawan lalu ikut menggelar tikar, menata buku-buku bacaan, juga menyiapkan kudapan untuk para bocah. Setelah anak-anak itu selesai membaca, kawan lain dari Simpasio, Anton Samalona, mengisahkan perjalanan kami, kru padewakang, dari Makassar, Sulawesi Selatan, hingga tiba di  Darwin, Australia. Terlihat anak-anak itu menyimak dengan antusias. Agar mereka senang, tak lupa Anton menyisipkan kuis. “Ceritakan lagi apa yang kalian baca dari buku. Yang mau, dapat hadiah buku ini,” ujar Anton, disambut sukacita para bocah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam ekspedisi ini, saya menyusupkan agenda tidak resmi: membawa buku bacaan bagi anak-anak di pulau yang kami singgahi. Metodenya sama dengan kegiatan Perahu Pustaka sebelum ini. Bedanya hanya pada kepemilikan perahu. Kali ini Perahu Pustaka nebeng di padewakang, sementara biasanya punya perahu sendiri untuk menggotong buku ke mana-mana. Sebagai Perahu Pustaka dadakan, pada tali padewakang tak lupa saya dan sukarelawan sekaligus jurnalis foto, Yusuf Wahil, mengibarkan bendera Pustaka Bergerak Indonesia dan logo armada Pustaka Mandar. 

Sejak awal merencanakan perjalanan ini, kami sudah membayangkan akan singgah di pulau-pulau kecil. Waktu luang pasti ada untuk menebarkan semangat literasi, terlebih kami membutuhkan rehat di daratan untuk beristirahat. Tercatat sepanjang pelayaran ini kami enam kali menggelar lapak baca, yakni di Larantuka, Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pulau Pantar, Pulau Alor, dan Pulau Wetar. Untungnya, buku-buku yang kami bawa tidak rusak karena disimpan dalam tas antiair. 

Lapak baca Pustaka Bergerak di Wailolong, Nusa Tenggara Timur./Yusuf Wahil

Buku-buku kami siapkan beberapa hari menjelang berlayar. Kami menggalang donasi buku dan dana, yang kemudian terkumpul lebih dari Rp 2 juta. Uang itu kami belanjakan dalam pameran Big Bad Wolf Makassar demi mendapatkan buku dengan cerita dan visual berkualitas baik. Walau teksnya menggunakan bahasa Inggris, anak-anak akan tetap suka. Adapun buku berbahasa Indonesia sebagian kami jadikan hadiah saat berlabuh. Sebagian lain kami sumbangkan untuk komunitas buku bila kebetulan ada yang aktif di pulau persinggahan. Misalnya di Larantuka, juga di Saumlaki. 

Bila dihitung secara materi, menyusupkan program Perahu Pustaka ke ekspedisi padewakang lebih hemat biaya. Selama ini, dalam sepekan Perahu Pustaka bisa menelan biaya Rp 2-3 juta. Itu ongkos untuk membayar tiga nelayan sebagai pelayar, bahan bakar, dan logistik. Perahu kami pun pernah terbalik sehingga ratusan buku basah. Bahkan perah u kedua kami, Colliq Pujie, yang disimpan di Desa Pambusuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, hancur disabet ombak. Sedangkan perahu kami yang lain, Pattingalloang, terpenjara di balik tanggul sehingga belum bisa digunakan. Saat ini kami beroperasi dengan satu perahu saja, yang dinamai Membacaku. 

Perahu Pustaka adalah pengusung gerakan literasi berupa moda pembawa buku ke pulau-pulau kecil di pesisir Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Inisiatornya Nirwan Arsuka, yang lalu mewujudkannya pada 2015. Ia menggandeng sastrawan Aan Mansyur, juga dua penulis, Anwar Jimpe dan Kamaruddin Azis, yang semuanya tinggal di Makassar. Saya bergabung belakangan, ketika masuk tahap pembuatan perahu. Pada Juni 2015, perahu kami yang sepanjang 10 meter dan selebar 3 meter mulai menyusuri pesisir Selat Makassar.

Dalam prosesnya, makin banyak gerakan serupa yang lahir. Akhirnya, lahir komunitas Pustaka Bergerak Indonesia dan program pengiriman buku gratis atau Free Cargo Literacy yang didukung PT Pos Indonesia. Namun, sayangnya, program ini hanya bertahan setahun, hingga November 2018. Padahal sebelumnya program bertanda pagar #BERGERAK itu berhasil menyebarluaskan berton-ton buku ke pelosok Nusantara. 

Sejatinya, keikutsertaan Perahu Pustaka dalam pelayaran padewakang bertujuan mengingatkan kita agar terus bergerak menggiatkan literasi. Pun tak melupakan fakta bahwa sejak dulu nilai-nilai literasi dilayarkan oleh perahu. Pelayaran ini membaca masa lampau, sejarah, kebudayaan bahari, dan memori yang tersisa, serta menyampaikannya kepada adik-adik di pulau kecil yang dilewati pelayaran kami.

MUHAMMAD RIDWAN ALIMUDDIN 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus