Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONGRES Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) lahir dari semangat dan kebersamaan para individu, lembaga, dan komunitas yang yakin atas keislaman yang adil bagi laki-laki dan perempuan. Kongres ulama perempuan ini juga menghendaki keislaman Indonesia yang moderat serta mengusung nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan kerahmatan bagi semesta (rahmatan lil alamin).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Panitia KUPI II Nyai Badriyah Fayumi saat pidato pembukaan KUPI II pada 24 November 2022 di Pesantren Hasyim Asy’ari yang diasuh oleh Nyai Umi A’izzah di Bangsri, Jepara, Jawa Tangah. Tepuk tangan meriah semua hadirin segera membahana menyambut pernyataan itu. Substansi pernyataan tersebut adalah benang merah yang menghubungkan keberlanjutan visi-misi KUPI I dan KUPI II ataupun gerakan ulama perempuan ke depan dalam membangun peradaban yang berkeadilan.
Saya ingat KUPI I diselenggarakan pada 25-27 April 2017 di Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, pimpinan Nyai Masriyah Amva. Pada waktu itu sebagian besar anggota panitia merasa khawatir dan takut ada penolakan dari sejumlah pihak. Bahkan peserta yang hadir pun terseleksi dengan sangat ketat hingga berlapis. Saya ingat satu peserta minimal mendapat rekomendasi dari dua tokoh yang berasal dari Alimat, Fahmina, atau Rahima sebagai lembaga inisiator sekaligus penyelenggara KUPI I. Diskusi dan perumusan hasil musyawarah keagamaan pun dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari kontroversi, baik dari peserta kongres maupun para ulama lain di luar peserta kongres.
Tapi hasilnya di luar dugaan. Musyawarah keagamaan KUPI I diadopsi oleh banyak pihak dan tersosialisasi dalam waktu yang relatif singkat atas inisiatif media massa nasional dan internasional yang cukup masif. Ketakutan dan kekhawatiran yang dirasakan oleh hampir sebagian besar panitia sirna dengan sendirinya. Tidak ada penolakan sama sekali dari publik. Bahkan panitia KUPI kewalahan menerima tawaran kerja sama dari luar KUPI, termasuk dari luar negeri, baik untuk mensosialisasi hasil musyawarah keagamaan KUPI maupun menjalankan program tindak lanjut KUPI I.
Kini dalam penyelenggaraan KUPI II nyaris tidak ada kekhawatiran apa pun. Tampak sekali berkat kerja keras dan cerdas yang inklusif, kini keberadaan ulama perempuan mulai diakui. Disadari ataupun tidak, rasanya seperti ada semacam pengakuan publik. Bahkan KUPI II sangat terbuka menjadi mitra strategis berbagai lembaga, termasuk dari generasi milenial. KUPI II banyak sekali menggelar halaqah dan diskusi paralel. Setidaknya ada tiga halaqah kebangsaan dengan tema “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Merawat dan Mengokohkan Persatuan Bangsa”, “Temu Tokoh Agama dalam Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Memperkuat Kebangsaan”, dan “Merumuskan Strategi Bersama untuk Percepatan Pengesahan RUU PPRT”. Ada pula lima musyawarah keagamaan dan tiga halaqah umum (panel) dengan tujuh-sebelas tema diskusi paralel.
Walhasil, KUPI telah menjadi ruang perjumpaan ulama perempuan dari berbagai latar lembaga pendidikan dan organisasi, sekaligus ruang perjumpaan ulama perempuan dengan para aktivis pemberdayaan perempuan, korban ketidakadilan, pakar, praktisi, representasi lembaga negara, dan pejabat pemerintahan. Ruang perjumpaan itu meliputi fisik, visi, pemikiran, jejak perjuangan, serta pengalaman para peserta yang beragam tapi sangat terlihat jelas benang merahnya. Sifat KUPI yang nonpartisan, inklusif, partisipatoris, serta lintas organisasi, latar belakang, dan generasi telah benar-benar menjadi ruang bersama yang hasilnya kemudian juga menjadi milik bersama.
Rekomendasi KUPI I dalam waktu yang relatif singkat menjadi rujukan bagi banyak pihak. Ini khususnya terjadi saat pembahasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pandangan keagamaan KUPI tentang penghapusan kekerasan seksual menjadi bahan advokasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil musyawarah keagamaan perkawinan anak pun telah dirujuk oleh berbagai pihak dalam advokasi menaikkan usia perkawinan, termasuk oleh kementerian/lembaga saat menyusun Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak pada 2019.
Sekarang KUPI II melahirkan lima hasil musyawarah keagamaan, yaitu: 1) pengelolaan sampah bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan; 2) peran perempuan dalam melindungi negara dari bahaya ekstremisme beragama; 3) pelindungan perempuan dari pemaksaan perkawinan; 4) pelindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan; serta 5) pelindungan perempuan dari bahaya pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan tanpa alasan medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keterhubungan dan keberlanjutan KUPI I dan KUPI II adalah pada perspektif keadilan hakiki dan mubadalah (kesalingan). Perspektif ini digunakan peserta KUPI dalam setiap pembahasan dan perumusan, terutama dalam diskusi paralel dan musyawarah keagamaan, selain menjadi legitimasi ilmiah tersendiri atas keberadaan ulama perempuan. Apa yang dihasilkan KUPI, berupa ikrar keulamaan perempuan, rekomendasi umum, dan hasil musyawarah keagamaan, adalah wujud implementasi perspektif mubadalah dan keadilan hakiki ini.
Mereka bekerja sama untuk menebar keimanan, menciptakan keadilan, dan membumikan kerahmatan, baik di level keluarga, komunitas, maupun kancah nasional dan internasional. Termasuk melalui kerja-kerja penafsiran teks-teks Islam dan keterlibatan dalam segala peran sosial-politik laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara. Ini tentu saja sesuai dengan yang dinyatakan dalam konstitusi Indonesia.
Peran ulama perempuan
Realitas sosial ulama perempuan dipengaruhi oleh konteks geopolitik, budaya, dan proses asimilasi Islam dengan berbagai budaya lokal. Islam hadir di Indonesia diperkirakan pada abad ke-12 sebagai agama baru. Kehidupan keagamaannya terbuka bagi perempuan untuk beraktivitas di mana pun, termasuk di ruang publik.
Meskipun peran perempuan belum tercatat dalam sejarah Islam pada masa awal masuk ke Indonesia, pada abad ke-16 terdapat sejumlah perempuan yang memiliki peran cemerlang. Jika mengacu pada dokumen sejarah perempuan Islam Indonesia dalam “Dokumen Resmi Proses dan Hasil KUPI I” yang dirangkum oleh Faqihuddin Abdul Kodir, tercatat kiprah sejumlah perempuan unggul. Di antaranya Ratu Sinuhun (1642), istri Raja Kesultanan Palembang Darussalam yang memiliki karya monumental Kitab Simbur Cahaya. Kitab ini adalah undang-undang tertulis sebagai paduan hukum adat dengan hukum Islam yang melindungi perempuan.
Pada abad ke-17 dan ke-18, ada Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Kesultanan Aceh Darussalam, pemimpin yang peduli terhadap nasib perempuan dan mengembangkan pasukan Inong Balee. Ada pula Fatimah Al-Banjari, cucu pertama Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, cendekiawan penulis kitab Arab Melayu yang populer di Banjar dan Melayu. Karyanya menjadi rujukan umat dalam beragama dan beribadah sampai sekarang, yakni Perukunan Jamaluddin. Dari Sulawesi terdapat Siti Aisyah We Tenri Olle, Ratu Tanete di Sulawesi Selatan. Dari Kepulauan Riau, ada Raja Aisyah binti Raja Sulaiman (1870-1924), cucu Raja Ali Haji, Riau. Ia menjadi penulis sejak remaja dan menyikapi ketidakadilan terhadap perempuan.
Di abad ke-19 hingga masa pergerakan kemerdekaan Indonesia ada nama Nyai Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, Rohana Koedoes, HR. Rasuna Said, dan Nyai Khoiriyah Hasyim dengan kiprahnya masing-masing. Dalam dinamika sosial dan kultural ini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) diselenggarakan untuk menegaskan eksistensi ulama perempuan dan mengapresiasi peran dan kiprah mereka dalam mewujudkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo