Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingkat keterisian Bandara Kertajati hanya 30 persen.
LRT Jabodebek bermasalah dalam beberapa aspek.
Dampak infrastruktur era Jokowi tak optimal mendorong pertumbuhan ekonomi.
KEPULANGAN 753 anggota jemaah haji pada Senin, 22 Juli 2024, menjadi penutup layanan penerbangan haji Bandar Udara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati. Infrastruktur yang terletak di Majalengka ini sebulan penuh melayani 30 kelompok terbang atau kloter penerbangan haji untuk 13.040 orang. “Kami telah selesai melayani kedatangan jemaah haji dari beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat,” kata Executive General Manager BIJB Kertajati Indra Crisna seperti dilansir Antara pada Selasa, 23 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musim haji tahun ini menjadi sasaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat selaku pemegang saham mayoritas BIJB untuk mendongkrak tingkat keterisian bandara seluas 1.800 hektare itu. Musababnya, bandara terbesar kedua di Indonesia itu hanya didatangi 1.600 penumpang per hari. Angka ini jauh dari kapasitasnya yang mencapai 7.500 penumpang per hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepinya Kertajati masih menjadi pekerjaan rumah bagi pengelolanya. Padahal bandara yang menelan dana Rp 2,6 triliun itu sudah beroperasi enam tahun lalu. Pada awal operasinya, Bandara Kertajati sepi penumpang lantaran Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan yang menghubungkan wilayah itu dengan kota lain belum selesai. Setelah jalan tol itu beroperasi pada Oktober 2023, pemerintah memindahkan penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara di Bandung ke Kertajati.
Kendati demikian, tingkat keterisian Bandara Kertajati pada akhir kuartal pertama 2024 masih 30 persen dari angka ideal mobilisasi penumpang per hari. Penjabat Gubernur Jawa Barat, Bey Triadi Machmudin, pada 13 Maret 2024 mengatakan upaya menambah tingkat keterisian bandara itu tidak mudah. Contohnya, ketika pemerintah mendorong penambahan rute baru, maskapai penerbangan mempertanyakan kelayakannya.
Karena itu, Bey mengibaratkan masalah di Bandara Kertajati seperti perdebatan “telur dan ayam”. “Maskapai menunggu ramai, tapi kami sulit menawarkan Kertajati kalau rutenya terbatas,” katanya. Upaya BIJB menggaet investor baru pun belum membuahkan hasil.
Bandara Kertajati, menurut Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbah Hasan, hanya satu dari beberapa proyek infrastruktur di era Presiden Joko Widodo yang bermasalah sejak perencanaan. Ia mengatakan salah satu persoalan pembangunan infrastruktur di era Jokowi adalah banyaknya proyek yang tidak dimulai dengan perencanaan matang. Perencanaan proyek semacam ini pun acap tidak melibatkan masyarakat.
Dua pejabat pemerintah mengatakan perencanaan yang kurang baik menjadi batu sandungan dalam pembangunan beberapa proyek infrastruktur prioritas Jokowi. Ini tampak pula dalam pembangunan kereta ringan atau Lintas Rel Terpadu Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (LRT Jabodebek) dan kereta cepat Whoosh Jakarta-Bandung. Jadwal pengoperasian dua proyek ini molor dan biayanya membengkak.
Dalam kasus LRT, Tempo mencatat adanya sejumlah persoalan, dari kesalahan desain rel, keterlambatan pengiriman kereta, masalah sistem pada kereta, gangguan operasi, keausan roda, hingga kerusakan di rel. Persoalan ini pernah dibahas dalam rapat evaluasi kinerja pengoperasian moda angkutan yang pembangunannya menyedot anggaran Rp 32,6 triliun itu.
Sementara itu, dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, pemerintah akhirnya ikut mengucurkan anggaran untuk pembangunan, meski awalnya Jokowi sesumbar tak akan memakai duit negara. Pemerintah mengucurkan penyertaan modal negara hingga Rp 7,5 triliun kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemegang saham mayoritas konsorsium Indonesia di PT Kereta Cepat Indonesia China. Dana itu digunakan untuk mengatasi pembengkakan biaya proyek.
Lantaran perencanaan yang kurang matang, Misbah mengungkapkan, belanja infrastruktur Jokowi yang bila dirata-rata mencapai Rp 359 triliun dengan tingkat pertumbuhan 12,7 persen per tahun pada akhirnya tidak cukup signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sepanjang sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi masih berkisar di angka 5 persen, jauh dari target 7 persen yang ia pasang ketika berkampanye.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dilema Infrastruktur ‘Telur dan Ayam'".