Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A.A.G.N. Ari Dwipayana*
Aburizal Bakrie berada di persimpangan jalan. Pilihannya terbatas, tetap berkukuh melanjutkan perjalanan lurus ke depan atau mengambil pilihan jalan lain " belok kiri". Menghentikan perjalanan bukan lagi pilihan, karena sejak deklarasi pencalonan Ketua Umum Partai Golkar itu setahun lalu, segala daya upaya sudah dikerahkan.
Iklan pencitraan diri sudah ditayangkan tanpa henti, berbagai kantong massa sudah dikunjungi, bahkan terakhir ia terlihat lebih berani bergerak mencari calon wakil presiden. Apa daya, elektabilitasnya masih belum beranjak tinggi. Berbagai data hasil survei memperlihatkan, walaupun tingkat keterkenalannya cukup tinggi, tingkat keterpilihan Aburizal masih berada di bawah elektabilitas partainya. Di mana letak persoalannya?
Popularitas figur merupakan modal awal yang penting untuk meraih dukungan pemilih. Namun keterkenalan yang semakin tinggi tidak akan selalu berbanding lurus dengan tingkat keterpilihan. Di tengah-tengahnya ada faktor penilaian pemilih atas figur tersebut: diterima atau sebaliknya ditolak. Dengan demikian, selain faktor keterkenalan, tingkat penerimaan atas figur menjadi faktor yang sangat menentukan.
Bersandar pada hasil survei Litbang Kompas, Agustus 2013, tergambar secara terang bahwa beban berat dari keterpilihan ARB adalah peningkatan popularitas yang berjalan beriringan dengan peningkatan penolakan responden yang signifikan. Alasan penolakan terbesar, menurut hasil survei, masih terkait dengan ingatan responden pada kasus Lapindo dan persepsi bahwa Aburizal kurang berpihak pada kepentingan rakyat.
Persepsi negatif terhadap Aburizal tentu tidak muncul dengan sendirinya. Hal ini berhubungan dengan tapak-tapak yang ditinggalkannya di dunia bisnis. Pengusaha yang masuk politik selalu memunculkan kecurigaan di mata pemilih. Rasa curiga pada kalangan politico-business muncul karena kuatnya anggapan bahwa pengusaha yang menjadi politikus tidak akan pernah mampu keluar dari konflik kepentingan antara bisnis dan posisi politiknya.
Anggapan itu dikuatkan dengan jejak yang ditinggalkan Aburizal dalam kasus Lapindo atau kasus lain yang berhubungan dengan kepentingan korporasi keluarganya. Terangkatnya jejak konflik kepentingan ini ke publik membuat tingkat penolakan atas figur politico-business semakin meningkat. Inilah sesungguhnya " ransel berat" yang sedang diletakkan di punggung Aburizal.
Aburizal memang bukan satu-satunya kaum politico-business dalam peta politik saat ini. Beberapa nama kandidat yang disebut-sebut dalam top of mind pemilih di berbagai hasil survei memiliki latar belakang pengusaha, seperti Jusuf Kalla, Surya Paloh, dan Hary Tanoesoedibjo. Walhasil, pertaruhan para politico-business adalah kemampuan meyakinkan pemilih bahwa mereka bisa memisahkan kepentingan bisnis dan aktivitas politiknya.
Aburizal bukannya tidak melakukan hal itu. Iklan-iklan yang ditayangkan di stasiun televisi berupaya meyakinkan pemilih bahwa usaha keluarganya dihasilkan dengan kerja keras. Ia juga membangun kesan peduli dengan pendidikan anak-anak muda, berpihak pada kepentingan usaha kecil dan menengah, serta banyak lagi yang lain. Selain itu, sosok Aburizal dicoba ditampilkan bukan sebagai pengusaha melainkan kepala keluarga yang hangat.
Upaya meyakinkan pemilih dengan cara semacam itu tentu harus bersaing dengan tumbuhnya anggapan dan rasa curiga pemilih atas kepentingan bisnis Aburizal. Sampai di sini upaya untuk membangun politik ingatan baru dan melupakan jejak-jejak yang ditinggalkan belum tentu membuahkan hasil.
Ketertinggalan elektabilitas ARB dibanding dengan tingkat keterpilihan Partai Golkar menyiratkan hal yang lain. Secara sederhana hal ini bisa diartikan tidak semua pemilih Partai Golkar akan memilih Aburizal. Besar kemungkinan terjadi split ticket voting antara pilihan pada partai dan kandidat presiden yang diusung oleh partai. Bersandar pada hasil jajak opini CSIS pada April 2013, terlihat hanya 32,1 persen pemilih Partai Golkar yang akan memilih Aburizal. Demikian pula dengan hasil survei IRC pada Mei 2013, yang menunjukkan dia hanya didukung 38,6 persen pemilih Partai Golkar.
Angka-angka di atas sekali lagi menggambarkan tingkat penerimaan Aburizal di internal Partai Golkar. Tingkat penerimaan itu tentu saja berpunggungan dengan tingkat loyalitas pemilih pada Partai Golkar. Dibandingkan dengan partai-partai lain, loyalitas pemilih Partai Golkar terbilang cukup tinggi. Dari hasil survei LIPI pada Mei 2013, terbaca 53,9 persen responden pemilih Partai Golkar pada Pemilu 2009 akan memilih kembali partai itu. Loyalitas pemilih Partai Golkar berada di urutan ketiga setelah PDIP (62,5 persen) dan Partai Gerindra (62,2 persen).
Berjaraknya pemilih Partai Golkar dengan Aburizal mempunyai beberapa penjelasan. Pertama, hal ini terkait dengan tingkat penerimaan internal elite atas keputusan partai mencalonkan dia. Persoalan ini muncul karena Partai Golkar mengalami " surplus elite". Dalam kondisi seperti itu, sudah dipastikan para patron utama merasa berhak maju sebagai kandidat presiden. Sebaliknya, Aburizal sebagai pengendali partai juga merasa memiliki " privilege" untuk mendapatkan tiket pencalonan. Tidak adanya konsensus yang bulat terkait dengan mekanisme kontestasi internal antar-patron inilah yang memunculkan problem soliditas internal antar-elite partai.
Bisa dikatakan keputusan pencalonan Aburizal belum diterima sepenuh hati. Akibatnya, elite patron non-pengendali partai mempunyai ruang manuver yang sangat terbatas. Pilihan rasional bagi mereka adalah membuka ruang " dipinang" oleh partai lain. Kalau hal ini terjadi, akan terulang sejarah " pengembosan" suara kandidat presiden Partai Golkar dalam pemilihan 2004 dan 2009.
Kedua, dukungan pemilih loyal Partai Golkar. Logika pemilih loyalis Beringin ternyata tidak bisa didikte sepenuhnya oleh pengendali partai. Hal ini terbukti dengan kecenderungan preferensi pemilih Golkar yang juga mempertimbangkan nama lain seperti Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Walaupun pilihan atas Aburizal masih lebih tinggi dibandingkan Jokowi dan Prabowo, selisih Aburizal dan Jokowi semakin dekat di mata loyalis Partai Golkar. Hal ini tentu saja sangat rawan bagi posisi keterpilihan Aburizal. Jika Jokowi dicalonkan PDIP, suara pemilih loyalis Golkar bisa jadi beralih ke Gubernur Jakarta ini.
Bagi Partai Golkar, momentum pencalonan masih memunculkan kegelisahan. Bagaimanapun, Golkar adalah salah satu partai yang kemungkinan besar bisa menjadi poros utama pembentukan koalisi. Namun, dengan tingkat keterpilihan Aburizal yang tidak bisa melampaui suara partai, akan muncul pilihan sulit.
Dalam peta persaingan politik saat ini, peluang Aburizal akan ditentukan kalau dia bisa mengkonsolidasi dukungan internal elite serta meyakinkan pemilih loyal partai itu. Kalau hal itu tidak bisa dilakukan, Golkar hanya akan dominan di parlemen.
Pilihan lain adalah memperlebar atau memperluas basis dukungan politik. Upaya ke arah ini sudah dilakukan dengan cara memburu figur calon wapres yang diharapkan bisa menjadi magnet elektoral untuk " mengatrol" elektabilitas Aburizal. Langkah ini bisa tentu saja bisa kontraproduktif karena figur yang dipinang tidak sepenuhnya akan membawa tambahan suara. Apalagi bila muncul penolakan terbuka untuk dipasangkan dengan Aburizal.
Kalau semua hal di atas belum mampu membuahkan hasil, harapan yang tersisa hanya dua: menempuh jalan berbelok. Caranya, mempertimbangkan kembali pencalonan dan mengambil peluang politik yang tersedia. Pilihan lain, tetap sabar menunggu, siapa tahu Jokowi tidak dicalonkan oleh PDI Perjuangan. Dua-duanya membuat Aburizal tertahan di persimpangan jalan.
*Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo