Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peselancar Politik yang Piawai
Kecewa terhadap partai politik. Garis perjuangannya berubah-ubah.
Muhammad Yamin boleh jadi dikenal sebagai politikus pragmatis. Dia acap berpindah partai. Yamin juga sering berpindah haluan dari nonkooperatif menjadi kooperatif. Lelaki Minang ini dengan mudah bekerja dalam organisasi bentukan Belanda dan Jepang.
Saat usianya menjelang 30 tahun, pada masa sebelum kemerdekaan, Yamin pernah masuk tiga partai, yakni Partai Indonesia (Partindo), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Partai Indonesia Raya (Parindra). Ketiga partai itu berpandangan nasionalisme sekuler. ”Meski keturunan Minang, dia bukan tipe yang religius,” kata peminat sejarah Rushdy Hoesein dalam diskusi dengan Tempo, Juni lalu.
Yamin pada mulanya bergabung dengan Partindo, yang lahir setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan pada 25 April 1931. Partai ini didirikan oleh Sartono, bekas pemimpin PNI.
Ketika itu, para aktivis PNI tak kuat lagi menghadapi teror pemerintah Hindia Belanda. Sejak akhir 1929, Belanda menangkapi para pemimpin PNI karena dianggap menyebarkan ajaran pergerakan kemerdekaan. Beberapa tokoh yang ditangkap di antaranya Sukarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata, dan Maskun Sumadiredja.
Tak semua eks anggota PNI masuk menjadi anggota Partindo. Sebagian memilih bergabung dengan PNI baru, yang dibentuk Mohammad Hatta dan Sjahrir. Selain itu, ada yang memilih bernaung dalam Partai Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Mohammad Tabrani, seorang wartawan.
Asas perjuangan Partindo sama dengan PNI lama dan PNI baru. Keduanya mengusung perjuangan nonkooperatif dan massa aksi. Yamin mendukung partai ini karena ia memiliki pandangan yang sama dalam taktik nonkooperatif atau tak mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Namun tak mudah bagi Partindo menjalankan aksi politiknya karena mereka terus diawasi pemerintah Belanda. Polisi rahasia gencar mengadakan razia. Hingga akhirnya pada November 1936, Partindo terpaksa dibubarkan.
Pengalaman pahit ini tak menyurutkan langkah Yamin. Dengan garis perjuangan yang sama, ia mendirikan Gerindo pada 24 Mei 1937, bersama Wilopo, Amir Sjarifuddin, Sumanang, Adnan Kapau Gani, dan Adam Malik. Partai ini dipimpin oleh A.K. Gani dan Yamin menjadi salah satu pengurus.
Menurut Restu Gunawan, pengarang buku Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Gerindo berkembang menjadi pergerakan kebangsaan sayap kiri yang kuat. Sejak awal, anggota partai ini cenderung sosialis dan memiliki orientasi internasional. Perjuangan memperoleh kemerdekaan bangsa dipandang sangat bergantung pada hasil pertentangan antara kekuatan fasis dan antifasis.
Lantaran terus diawasi Belanda, Gerindo berbalik arah dengan memilih bekerja sama dengan Belanda. Partai ini membantu pemerintah Hindia Belanda dengan berpartisipasi dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Meskipun mengambil sikap kooperatif, Gerindo tidak mempunyai wakil di Dewan Rakyat. ”Setiap pemilihan selalu dikalahkan oleh Parindra, Pasundan, dan lainnya,” kata Restu.
Menghadapi situasi yang pernah tak berubah, Yamin ingin menjadi anggota Volksraad. ”Tapi tidak melalui partainya karena partainya selalu kalah oleh partai lain,” ujar Restu. Ia ingin masuk melalui perwakilan daerah. Menurut Restu, saat itu yang memilih anggota Volksraad dari daerah hanya empat badan, yaitu Minangkabau Raad, Gemeenteraad Bukittinggi, Onderafdeling Raad Padang Panjang, dan Gemeenteraad Sawahlunto.
Namun Belanda tak ingin Yamin masuk Volksraad. Ia dilarang pulang ke Padang mendekati anggota gemeente yang akan memilih perwakilannya di Volksraad. Yamin dianggap merah oleh Belanda.
Tak hilang akal, menurut pengarang buku biografi Muhammad Yamin, Sutrisno Kutoyo, Yamin memilih cara lain, yakni dengan rajin menulis di beberapa media massa di daerah itu. Lewat cara ini, ia dikenal oleh masyarakat Minang dan akhirnya terpilih sebagai anggota Volksraad.
Perubahan sikapnya menjadi kooperatif dan bersedia masuk Volksraad ini menimbulkan banyak kritik dari koleganya yang masih mengambil sikap nonkooperatif. Yamin menanggapi kritik, kata Restu, dengan berpendapat bahwa pergerakan terbagi atas beberapa taktik dan keyakinan, yaitu atas dasar kooperatif dan nonkooperatif.
Rushdy menyebut langkah politik Yamin sebagai bentuk pragmatisme. Sedangkan Restu menilai aksi Yamin menggambarkan kecerdasan dalam mengambil langkah politik. ”Dia orang yang piawai dan lihai melihat kesempatan,” ucapnya.
Masuknya Yamin ke Volksraad bukan sebagai utusan partai membuat pimpinan Gerindo meradang. Ia diberi opsi: menolak keinginan rakyat Minangkabau dan tetap menjadi pemimpin partai atau bertahan di Volksraad tapi keluar dari Gerindo. Yamin memilih bertahan di Volksraad dan ia pun dipecat dari Gerindo. ”Dia dianggap mengkhianati partainya,” kata Restu.
Pemecatan ini tak membuat Yamin berkecil hati. Bersama anggota Gerindo lain, dia mendirikan partai baru, yakni Partai Persatuan Indonesia (Parpindo). Partai ini menolak bekerja sama dengan Belanda. Menurut Sutrisno, Parpindo bukanlah partai besar. Anggotanya tidak banyak dan jarang disebut dalam buku sejarah Indonesia. Di partai ini, hanya Yamin yang tergolong berpendidikan tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo