Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gubernur Jakarta Ali Sadikin membaca belasan koran setiap hari.
Dengan membaca koran, kadang Ali Sadikin mendapat ide tentang pembangunan Jakarta.
Ali terutama tertarik membaca berita politik serta kabar tentang Jakarta, surat pembaca pun ia baca.
SALAH satu kenangan Boy Bernadi Sadikin yang masih ia ingat tentang ayahnya, Gubernur Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin, adalah peristiwa kecil pada 1973. Di rumah mereka di Jalan Borobudur Nomor 2, Menteng, Boy kena damprat ayahnya karena lupa mengembalikan posisi koran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali mendamprat anak sulungnya itu di tengah waktu sarapan keluarga karena kehilangan topik yang sedang ia baca di sebuah surat kabar. “Tadi sampai mana?” tanya Ali seperti ditirukan Boy kepada Tempo, Senin, 1 Agustus lalu. Boy menggeleng karena ia juga lupa berita apa yang sedang dibaca ayahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali Sadikin menanggalkan koran di meja makan karena telepon rumahnya berbunyi. Anak buahnya melapor bahwa Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro melarang perjudian di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ali gusar karena laporan itu lantaran ia melegalkan perjudian di Jakarta sejak 1967. Bagi Ali, pajak judi akan berguna untuk pembangunan Jakarta.
Selesai menerima laporan via telepon itu, Ali kembali ke meja makan. Ia mendapati susunan halaman koran tak seperti ketika ia tanggalkan. Boy membaca koran itu dan lupa mengembalikannya. Sejak itu, Boy tak pernah mengutak-atik koran yang dibaca bapaknya lagi. Kalaupun mau membaca, Boy menandai bagian yang sedang dibaca Ali.
Menurut Boy, Ali Sadikin tak pernah lepas dari koran. Saban pagi dan sore, ayahnya selalu menyempatkan diri membaca berita di koran. Di rumah, di kantor, sampai di mobil, Ali Sadikin membaca koran. “Apalagi berita mengenai politik dan Jakarta, akan ia tandai memakai spidol merah lalu digunting untuk dibuat kliping,” ujar Boy.
Dalam buku Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota Manusiawi karya Ramadhan K.H., Ali Sadikin bercerita bahwa membaca koran adalah kegiatan rutin seperti menyantap sarapan. Ali membaca koran setelah sembahyang subuh, sebelum atau di tengah makan sarapan. Ketika menjabat Gubernur Jakarta, Ali membaca setidaknya 15 surat kabar sehari. “Saya seperti dicambuk oleh tulisan tentang Jakarta di koran,” katanya. “Ada yang menyenangkan, ada yang memerlukan penyelesaian.”
Bukan hanya berita, setiap surat pembaca yang dimuat di koran tentang persoalan Ibu Kota juga ia baca. Begitu pula surat-surat yang dikirim ke rumahnya. Ali menggunakan spidol merah untuk menandai berita dan surat yang ia anggap penting menyangkut Jakarta. “Surat dan berita itu tidak semua menyenangkan. Kadang ada yang mengkritik kebijakan saya, tapi saya tidak ada masalah,” ucapnya.
Gara-gara itu, anak buah Ali turut membiasakan diri membaca koran pagi. Ali akan mendamprat anak buahnya yang belum membaca koran pagi. Menurut Ali, kebiasaan membaca koran pagi itu baik agar setiap pegawai pemerintah Jakarta ikut memiliki kota ini. “Kadang saya menemukan ide ketika membaca koran, lalu menyampaikannya kepada anak buah secara langsung,” tuturnya.
Meski Ali tak lagi menjabat Gubernur Jakarta, kebiasaannya membaca koran berlanjut. Dalam wawancara di majalah Matra edisi Desember 1990, yang dimuat dalam buku Pers Bertanya Bang Ali Menjawab yang disusun Ramadhan K.H., Ali Sadikin mengatakan membaca 12 surat kabar sehari, 8 majalah dalam negeri, dan 6 majalah luar negeri. Namun Ali tak membaca semua artikel. “Yang penting-penting saya dahulukan, soal-soal aktual di masyarakat,” ucapnya.
Bagi Ali Sadikin, membaca koran bukan hanya membaca berita, tapi juga menerima kritik dari masyarakat. Kepada Ramadhan K.H. dia mengatakan, kalau ada berita miring tentang Ibu Kota, ia akan meminta anak buahnya menjelaskan kepada wartawan duduk perkaranya. Dengan cara seperti itu, Ali berharap publik mengetahui pokok persoalan yang sedang dibicarakan tersebut. “Saya juga mengucapkan terima kasih atas koreksi pers yang tepat,” kata Ali.
Begitulah Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1966-1977. Ia tak alergi terhadap kritik. Menurut Ali, jangan menjadi pejabat jika tak mau dikritik. “Kita ini bukan malaikat yang tidak membuat kesalahan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ritual Pagi Bang Ali"