Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OBSERVATORIUM Bosscha sibuk bersolek untuk peringatan seabad berdirinya. Kubah putih yang menjadi ikon tempat itu telah dicat ulang. Cat krem melapisi sekujur dindingnya, sementara interior kubah dipulas warna merah hati. Hari itu, tampak sekelompok pekerja tengah mendandani taman terbuka di sisi Wisma Kerkhoven. Sementara itu, di dalam bangunan lawas tersebut terlihat sekelompok mahasiswa tengah berkumpul mengerjakan tugas di meja panjang, sebagian berada di ruang baca dan bilik lain. Bangunan ini menjadi kampus kedua bagi para mahasiswa jurusan astronomi, khususnya dari Institut Teknologi Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain belajar di kelas laboratorium, kuliah praktik, dan bermagang di sana, mahasiswa terlibat dalam penelitian bersama dosen. “Mahasiswa juga ikut sebagai edukator sains untuk kegiatan yang melibatkan publik,” kata Yatny Yulianti, peneliti sekaligus juru bicara Observatorium Bosscha, Kamis, 19 Januari lalu. Mereka terbiasa menerima kunjungan pelajar dari berbagai sekolah dan kalangan umum yang ingin mengenal astronomi serta berbagai fenomenanya. Pandemi Covid-19 membuat pengelola menutup jadwal kunjungan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegiatan dipindahkan ke dunia maya lewat Kelas Daring Astronomi yang bisa diikuti 90 siswa. Materi edukasinya antara lain obyek angkasa, tata surya, galaksi, dan alam semesta. Mereka juga menyiarkan langsung pengamatan virtual langit malam. Misalnya pada saat gerhana bulan total November tahun lalu.
Di lingkungan observatorium yang asri, tenang, dan bersuhu adem itu, para astronom meneliti dalam senyap. “Di luar jam pengamatan, peneliti bekerja mengolah dan menganalisis data serta banyak melakukan diskusi ilmiah,” ujar Yatny. Ketika kebanyakan orang sudah pulas, mereka harus melek sampai pagi. Mochamad Irfan, misalnya, yang mengamati sekitar 100 obyek bintang ganda dengan teleskop refraktor ganda Zeiss di gedung kubah. “Belakangan ini konsentrasinya ke bintang ganda yang anggota bintangnya punya perbedaan terang yang besar,” ucapnya, Senin, 23 Januari lalu.
Pembangunan Observatorium Bosscha di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, sekitar 1920-an/Repro/Tempo/Prima Mulia
Irfan mulai mengintip langit jika cuaca cerah dan tak terganggu cahaya bulan, biasanya pada pukul 20.00-04.00 WIB. Rutinitas ini ia jalani sejak menjadi mahasiswa pada 1994. Jika langit mendung atau turun hujan, ia akan mengerjakan hal lain yang berkaitan dengan pengamatan atau analisis citraan, atau mendidik kader pengamat bintang. “Belakangan saya berfokus pada inovasi dan pengembangan instrumen agar pengamatan bisa lebih baik,” tuturnya.
Observatorium mempunyai lima peneliti berstatus pegawai tetap, empat periset berstatus tenaga kontrak, dan sejumlah pekerja paruh waktu. Mereka memfokuskan penelitian pada bintang ganda, bintang gugus terbuka, eksoplanet, okultasi, dan hilal. Kepala Observatorium Bosscha Premana Wardayanti Premadi mengatakan riset langit umumnya menindaklanjuti temuan sebelumnya oleh peneliti lain. Arah dan topik riset biasanya ditentukan oleh Observatorium dan Kelompok Keahlian Astronomi ITB. “Perkembangan sains di Bosscha utamanya mengamati bintang untuk membuat teori bagaimana suatu bintang bisa berubah dan fenomena lainnya,” kata guru besar astronomi ITB itu di Lembang, Bandung Barat, Senin, 16 Januari lalu.
Riset bintang ganda tergolong klasik sejak observatorium itu didirikan. Pengamatan obyek lain yang mengikuti bintang itu antara lain bertujuan menghitung umur dan massa suatu bintang, “Itu diamati terus bertahun-tahun, bahkan hingga puluhan tahun, oleh astronom,” ujar Premana, yang baru saja mendapat penghargaan Honorary Fellowship dari Royal Astronomical Society.
Observatorium Bosscha juga menorehkan prestasi lewat para astronomnya. International Astronomical Union menyematkan nama di belakang kode angka suatu asteroid temuan peneliti. Misalnya asteroid 5408 Thé untuk Thé Pik Sin yang memimpin Observatorium Bosscha pada 1959-1968. Ia doktor astronomi pertama Indonesia dari Case Institute of Technology (Case Western Reserve University), Ohio, Amerika Serikat. Ia lalu pindah ke Belanda dan mengajar di Universiteit van Amsterdam. Ia pun mendapat penghargaan dari pemerintah Belanda pada 1993, yakni Officier dalam Orde van Oranje-Nassau.
Nama pemimpin Observatorium Bosscha lain yang disematkan pada asteroid di antaranya Bambang Hidayat (1968-1999; 12176 Hidayat) pada 2011, Moedji Raharto (2000-2003; 12177 Raharto), Dhani Herdiwijaya (2004-2005; 12178 Dhani), dan Taufiq Hidayat (2006-2009; 12179 Taufiq). Pada 2017, nama Premana disematkan pada asteroid 12937.
Teleskop Tertua
STASIUN peneropongan bintang tertua di Indonesia itu kini memiliki instrumen pengamatan yang didominasi teleskop optik. Teropong utamanya yang permanen berjumlah delapan unit, ditambah belasan teleskop portabel serta tiga teleskop radio. Perangkat-perangkat itu datang secara bertahap, dimulai dari teleskop refraktor yang menggunakan lensa ganda Zeiss. Alat peneropongan itu memiliki dua teleskop utama berdiameter 0,6 meter dengan panjang fokus hampir 11 meter dan sebuah teleskop pencari berdiameter 0,4 meter. Sejak awal 1990-an, perangkat ini dipasangi teknologi detektor digital dengan sensor charge-coupled device (CCD) astronomi. Tujuannya adalah meningkatkan sensitivitas pengamatan.
Medan pandang langit yang luas pada teleskop itu memudahkan peneliti mengidentifikasi bintang yang hendak diamati. Teleskop ini sanggup menjangkau bintang-bintang yang cahayanya sekitar 100 ribu kali lebih lemah daripada bintang yang bisa dilihat langsung oleh mata. Penggunaan instrumen ini untuk pengamatan astrometri bertujuan memperoleh informasi posisi benda langit secara akurat, khususnya guna mendapatkan orbit bintang ganda visual. Pengamatan tersebut sejauh ini telah mengumpulkan sekitar 10 ribu data. Teleskop itu juga bisa dipakai buat mengobservasi gerak bintang dalam gugusnya, mengukur paralaks bintang guna menentukan jarak, serta mengamati komet dan planet seperti Mars, Jupiter, dan Saturnus.
Instrumen lawas lain adalah teleskop Bamberg yang dipasang pada 1929. Teropong berdiameter lensa 0,37 meter dengan panjang fokus 7 meter itu berada di dalam gedung beratap setengah silinder yang bisa bergerak maju dan mundur. Dilengkapi kamera CCD dan filter, teropong itu digunakan untuk mengamati grafik intensitas cahaya bintang, matahari, dan bulan.
Beberapa teleskop lain yang berumur lebih muda dan berukuran lebih kecil dilengkapi teknologi canggih. Misalnya teleskop robotik yang tergolong pendatang baru. Seorang peneliti Bosscha ikut mengembangkan sistem yang memungkinkan teleskop dan atapnya bergerak secara otomatis sesuai dengan data yang dimasukkan ke program. “Kalau cuacanya mendung, apalagi gerimis, atap rumah teleskopnya enggak akan terbuka,” kata Premana Wardayanti Premadi.
Teleskop robot berdiameter 36 sentimeter dengan panjang fokus sekitar 2,5 meter itu umumnya digunakan dalam penelitian, survei, deteksi planet, dan peneropongan asteroid yang berjarak dekat dengan bumi. Pengguna bisa mengendalikan instrumen di Gedung Surya itu dari jarak jauh via koneksi Internet. Begitu pula alat bernama Survey Telescope for Exoplanet and Variable Star yang dipasang pada 2013. Berjenis teleskop reflektor Schmidt-Cassegrain yang cermin utamanya berdiameter hampir 28 sentimeter dengan panjang fokus 1,76 meter, teropong itu digunakan dalam pengamatan survei pada gugus bintang terbuka. Tujuannya adalah mencari eksoplanet dan bintang variabel baru, juga mengamati obyek dan peristiwa langit yang berlangsung singkat seperti supernova dan okultasi bintang.
Adapun kerja sama ITB dengan Gunma Astronomical Observatory di Jepang menghadirkan teleskop generasi baru yang dipasang pada 2005. Teleskop yang sepenuhnya digerakkan oleh komputer itu bisa dikendalikan dari Jepang ataupun Lembang lewat telekonferensi. Hasil kerja sama berbagai pihak lain berupa teleskop surya untuk mengamati matahari.
Dua teleskop lain masih dalam perbaikan, yakni GOTO untuk mengamati bintang-bintang variabel, kurva cahaya planet luar tata surya, asteroid, dan pencitraan planet serta teleskop Schmidt yang biasanya dipakai dalam survei bintang di galaksi Bima Sakti. Bosscha juga mempunyai dua teleskop radio yang tidak aktif dan dalam perbaikan. Aneka teropong tersebut, menurut Premana, masih layak digunakan dan bisa dioptimalkan untuk riset antariksa. Saat banyak negara membuat observatorium dengan teropong berukuran besar, “Kita tidak bersaing dengan mereka,” ujarnya.
Menurut Premana, banyak peneliti yang berebut ingin menggunakan teropong survei dengan lensa berukuran besar. Akibatnya, kesempatan dan waktu pengamatan dibatasi 30-60 menit. Teleskop di luar angkasa pun hanya sebentar mengamati obyek. Pada obyek langit yang menarik, langkah penting berikutnya adalah observasi lanjutan. “Kegiatan itu sering dilakukan dengan teleskop yang lebih kecil dan punya waktu pengamatan yang lebih lama,” tuturnya. Bosscha menangkap peluang riset semacam ini. Dengan kondisi geografis Indonesia yang dilewati garis khatulistiwa, terbuka pula pintu riset untuk memantau matahari secara rutin. “Tidak seperti di belahan bumi utara dan selatan yang kadang terbatas,” ucapnya.
Bangunan di kompleks Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pada 16 Januari 2022/Tempo/Prima Mulia
Pengamatan lain yang tidak kalah menarik bagi para astronom di Lembang adalah terhadap penampakan hilal atau awal bulan baru dalam kalender Islam. Tidak seperti di kebanyakan observatorium lain, Premana menjelaskan, aktivitas itu menjadi rutinitas setiap bulan di Bosscha. “Karena metodenya tidak gampang dan ada teknik yang harus dikembangkan,” ujarnya.
Pengamatan hilal menjadi krusial dalam penentuan awal puasa 1 Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Taufiq Hidayat, Kepala Observatorium Bosscha 2006-2009, mengatakan pengamatan hilal secara ilmiah dilakukan setiap bulan sejak 2007, ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika melibatkan mereka dalam pengamatan hilal nasional. Banyak kalangan yang ikut berlatih di Lembang bersama Jaringan Planetarium dan Observatorium Indonesia. Mereka menggunakan perangkat teleskop portabel dan kamera digital serta aplikasi di komputer untuk menyimpan data amatan. “Sebelumnya sebagian besar pengamatan hilal didasari kesaksian-kesaksian dari orang yang disumpah,” kata Taufiq, Jumat, 20 Januari lalu.
Pengamatan hilal saat itu menggunakan teleskop berdiameter kecil, yakni 7 sentimeter, dengan panjang sekitar 30 sentimeter. Mereka lalu mencari metode yang tepat untuk disebarkan kepada masyarakat. Metode ilmiah mereka bagikan ke pondok pesantren dan universitas Islam. Yang menggembirakan, masyarakat tertarik pada dunia astronomi. Buktinya, grup pengamat hilal makin ramai oleh foto obyek luar angkasa hasil perburuan.
Mantan pemimpin Bosscha yang lain, Mahasena Putra, juga menjelaskan kemajuan peneliti astronomi yang meneropong hilal di luar waktu umumnya pada sore, yakni pada siang. Ide ini muncul setelah mereka melihat di Internet bahwa pengamat di Jerman mampu menangkap gambar hilal dengan filter khusus. Para ilmuwan yang sulit melihat hilal pada sore tertantang mengamatinya pada siang hari. “Jika melihat hilal sore susah, kenapa enggak dari siang kalau bisa,” ujarnya, Sabtu, 21 Januari lalu.
Pengamatan yang dilakukan pada 2012-2013 menghasilkan citra hilal saat posisi matahari masih tinggi. Pada 2016, peneliti menemukan citra bulan muda tertipis pada siang. Sejumlah pihak belum mengakuinya. “Yang saya dengar dari ahli hukum hilal, harus setelah magrib. Sebelum waktunya, tidak diakui,” tuturnya.
Sejarah Observatorium Bosscha
PENDIRIAN Observatorium Bosscha tidak lepas dari kebutuhan dunia astronomi pada abad ke-20, yakni mendapatkan gambaran peta langit secara utuh. Saat itu, menurut Taufiq Hidayat, tempat peneropongan bintang di belahan bumi selatan dari garis ekuator baru ada di Australia dan Afrika Selatan. “Lembang menjadi tempat ketiga dengan peralatan yang termasuk canggih di zamannya,” katanya.
Dari catatan sejarah observatorium itu, Karel Albert Rudolf Bosscha dan keponakannya, Rudolf A. Kerkhoven, pada awal 1920-an mengundang astronom Joan George Erardus Gijsbertus Voûte ke Malabar, Bandung. Mereka membahas ide dan kemungkinan pendirian tempat peneropongan bintang di Hindia Belanda. Selanjutnya, mereka mengundang para peminat astronomi berkumpul di Hotel Savoy Homann, Bandung, pada 12 September 1920. Lalu terbentuklah perhimpunan Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereniging (NISV).
Karel Bosscha memimpin NISV yang ingin memajukan ilmu astronomi dan mendirikan serta memelihara sebuah observatorium astronomi di Hindia Belanda. Bosscha, yang lahir di Den Haag, Belanda, pada 15 Mei 1865, menjadi penyandang dana utama dan berjanji memberikan bantuan pembelian teropong bintang. Adapun pengusaha lain memberikan lahan seluas 6 hektare di Lembang, wilayah dataran tinggi di utara Bandung. Lokasinya yang berketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut dinilai cocok untuk stasiun pengamatan antariksa.
Pada 1921, Bosscha dan Voûte pergi ke Jerman. Mereka memesan reaktor astrofotografi dan teleskop meridian kepada De Askania Werke Carl Bamberg di Berlin. Bosscha juga memesan refraktor ganda berukuran 60 sentimeter kepada Carl Zeiss Werke di Jena. Gedung diresmikan pada 1923, tapi teleskop baru terpasang lima tahun kemudian. Sebanyak 27 kotak komponen teleskop tiba di Batavia dan dibawa ke Lembang untuk dipasang di kubah pada 10 Januari 1928. Refraktor ganda Zeiss dan Bamberg-Schmidt diserahkan Bosscha kepada NISV pada 7 Juni 1928 di hadapan Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff. Sayangnya, lima bulan kemudian, pada 26 November 1928, pengusaha teh di Priangan itu wafat. Voûte menggantikan Bosscha menjadi direktur pertama yang dengan sokongan dana dari pemerintah Hindia Belanda. Saat itu target pengamatannya adalah bintang ganda.
Teleskop refraktor ganda Zeiss di Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 16 Januari 2022/Tempo/Prima Mulia
Pada saat pendudukan Jepang, Observatorium Bosscha dikuasai negara itu dan Masashi Miyaji menjadi direkturnya, tapi Voûte masih dilibatkan dan pengamatan pun masih berjalan. Selepas kemerdekaan, gedung observatorium pernah terancam perang melawan sekutu. Kawasan di sekitar Lembang dibombardir pesawat. “Gedung kubah untungnya aman, di samping-sampingnya kejatuhan bom,” ucap Taufiq mengisahkan sekelumit sejarah Observatorium Bosscha. Setelah itu, Gale van Albada menjadi direktur dan melakukan restorasi besar-besaran. Pada 17 Oktober 1951, NISV secara resmi menyerahkan observatorium tersebut kepada pemerintah Indonesia dan menjadi bagian dari lembaga riset Institut Teknologi Bandung.
Perawatan observatorium itu boleh dikatakan tidak mewah, bermodal bengkel. Kubah teleskop dan komponen motornya dilumasi setiap bulan. Mereka pun masih merawat lantai gedung yang bisa naik-turun. Jika ada komponen yang rusak, mereka berusaha memperbaiki dengan mesin bubut di ruang bengkel. Jika mentok, mereka meminta bantuan kolega dari teknik mesin, teknik fisika, atau teknik elektro ITB. “Teman-teman merawat dengan baik sekali, militan, konsisten. Memang bekerja di tempat seperti itu harus ada passion,” tutur Taufiq.
Seabad usia Observatorium Bosscha yang ditetapkan sebagai benda cagar budaya pada 2004 dan obyek vital nasional pada 2008 tidak hanya diwarnai nostalgia. Isu polusi cahaya menjadi hal penting hingga muncul kampanye “Save Bosscha” pada 2014-2015. Pengelola berusaha semaksimal mungkin membuat tudung lampu di bengkel teknik Observatorium. Setelah itu, pengelola berkeliling kampung di sekitar observatorium itu untuk memasang tudung lampu di teras rumah penduduk. Tujuannya adalah membuat cahaya lampu hanya jatuh mengarah ke bawah. Hingga sekarang pembagian tudung ini masih berjalan. Warga memasangnya sendiri-sendiri. “Total sudah ada 2.000 tudung lampu,” ujar peneliti Bosscha, Mochamad Irfan. Polusi cahaya ini yang kemudian mendorong pembangunan Observatorium Nasional di Gunung Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo