Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Sulitnya Mencetak Al-Quran BrailleĀ 

Penerbitan Al-Quran Braille tak semudah pencetakan mushaf biasa. Dinamika antarlembaga berpengaruh terhadap pencetakan dan pengguna.

23 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tak mudah mencetak Al-Quran Braille.

  • Ada banyak kendala, seperti soal mesin pencetak dan kertas serta biaya yang mahal.

  • Diwarnai dinamika lembaga percetakan.

PULUHAN kardus berisi Al-Quran Braille bertumpuk di percetakan Yayasan Penyantun Wyata Guna di Jalan Pajajaran Nomor 52, Kota Bandung. Di ruangan seluas 80 meter persegi itu, Selasa siang, 4 April lalu, empat pegawai sedang berbagi tugas. Berbeda dengan percetakan umumnya, di sana tidak ada bau atau bekas ceceran tinta di berbagai tempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wasca mencetak helai demi helai kertas putih tebal pada mesin Thomson yang sepasang penggeraknya seperti roda delman. Sementara itu, Sofyan Assandi di ruang belakang mengerjakan pelat cetakan baru Al-Quran Braille sambil ikut mencetak dengan mesin Braille embosser. Dua rekan lain menyusun halaman sambil memeriksa cetakan lalu menjilidnya sambil duduk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di ruang depan, kepala percetakan Ayi Ahmad Hidayat tak kalah sibuk melayani panggilan telepon beberapa pemesan. Mereka tak sabar ingin kitab pesanannya segera jadi untuk dibagikan. “Ramadan itu gairahnya tinggi. Yang repot kami yang melayani karena percetakan Al-Quran Braille ini tidak bisa cepat,” katanya. Walau begitu, dia berusaha melayani konsumen dengan baik sambil menjelaskan kondisi yang berulang setahun sekali itu. Mereka hanya mencetak sesuai dengan pesanan sehingga tak ada kitab yang sudah siap. Padahal peminatnya banyak pada saat Ramadan. Kapasitas produksi dengan dua mesin di sana hanya berkisar 50-75 set kitab per bulan, ada yang disertai terjemahan dan ada yang tidak.

Kemampuan mesin press Thomson yang bertenaga listrik maksimal 2.000 watt bisa mencetak 800 lembar per jam. Sedangkan mesin printer khusus Braille hanya mampu menghasilkan 200 halaman per jam. Seusai pencetakan, mesin itu harus dimatikan dulu hingga mendingin sebelum dipakai lagi. Setelah beberapa kali pemakaian, besi pemutarnya harus disiram minyak agar pelumas bergerak mulus.

Pada mesin printer, jarum bergerak sebaris demi sebaris untuk menekan kertas hingga muncul emboss atau relief titik-titik dengan pola tertentu sesuai dengan aksara Braille. Sedangkan dengan mesin press, pencetakan menggunakan master cetakan pada pelat seng. Selembar kertas putih tebal dimasukkan dan segera dikeluarkan setelah tulisan tercetak.

Ayi bercerita, ketika mendapatkan banyak pesanan, setiap bulan selalu ada pencetakan. Pemesannya bermacam-macam. Lembaga wakaf Al-Quran Braille Ummi Maktum Voice, misalnya, memesan 200 set kitab. Adapun yang masih bertumpuk di dalam kardus tersebut adalah pesanan Rumah Wakaf sebanyak 1.200 set. “Setengahnya sudah dikirim, sisanya akan dikirim nanti, tidak harus di bulan puasa,” ujar Ayi.

Petugas mencocokkan isi plat mesin stereotyper dengan kitab Al Quran di percetakan Al Quran Braille Yayasan Penyantun Wyata Guna di Bandung, Jawa Barat, 27 Maret 2023. Tempo/Prima mulia

Pemesan lain adalah Kementerian Agama, Balai Pustaka, perusahaan swasta, juga badan usaha milik negara serta perorangan. Jumlahnya pun beragam, dari satuan, belasan, hingga puluhan set Al-Quran Braille. Ayi pernah mengalami kejadian lucu ketika menerima pesanan lima set Al-Quran dari seorang pemilik toko gorden di Sulawesi. Awalnya si pemesan menilai harga Al-Quran Braille terlalu mahal dibanding Al-Quran cetak biasa, pun biaya kirimnya. Kemudian, setelah barang sampai, pemesan itu memprotes lewat telepon. “Bapak ini apa-apaan, kirim Al-Quran enggak ada hurufnya, isinya hanya kertas putih bintik-bintik,” tutur Ayi, menirukan ucapan si pemesan.

Ayi memperkirakan percetakannya menghasilkan 1.000 set Al-Quran Braille per tahun. Harga per set dengan terjemahan dipatok Rp 1.750.000, sedangkan yang tanpa terjemahan Rp 1.250.000. Yayasan Penyantun Wyata Guna, yang dibentuk pada 23 Maret 1973, mulai mencetak Al-Quran Braille pada 1976. Saat itu, Ayi menjelaskan, master cetakannya dibuat oleh Abdullah Yatim Piatu, juru dikte Lembaga Penerbitan dan Perpustakaan Braille Indonesia di Bandung. Langkanya Al-Quran Braille dan kebutuhan internal menjadi alasan yayasannya mencetak Al-Quran tersebut. “Setelah itu, Kementerian Agama pesan hingga 100 set,” kata Ayi.

Selain berbahan kertas, pada masa itu dikenal Al-Quran Braille yang lembaran halamannya memakai plastik Brailon cetakan mesin thermoform. Cara kerjanya, Ayi menjelaskan, pada plastik itu dicetak huruf Al-Quran Braille dengan cara dipanaskan. Kelebihan bahan plastik adalah tahan lama dan tahan basah. Adapun kekurangannya, selain harganya mahal, ketika dibaca dengan jari selama 30 menit, tangan bisa kesemutan. Untuk mencegahnya, jari tangan mesti dilumuri bedak. Mesin itu pernah digunakan di percetakan yayasannya untuk membuat ilustrasi pelajaran matematika pada 1982-1984. Pernah pula dipakai untuk membakar singkong dan menghangatkan kue, mesin itu lantas rusak.

Pencetakan Al-Quran Braille di percetakan itu mengacu pada mushaf standar Indonesia dari Kementerian Agama. Namun, untuk pencetakan dengan mesin press, percetakan sendiri yang membuat master cetakan pada pelat seng. “Lama pembuatannya bisa sampai dua tahun,” ucap stereotyper Sofyan Assandi. Pembuatan master cetakan itu terkait dengan pembaruan atau perubahan pada tanda baca, juga ukuran cetakan Al-Quran Braille dari naskah sebelumnya.

Stereotyper atau pembuat cetakan berlatih di lembaga pemerintah, yaitu Technical Teacher Upgrading Centre di Cimahi, Jawa Barat, yang kini bernama Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Bidang Mesin dan Teknik Industri. Pelat master cetakan yang telah diketik kemudian diperiksa oleh penyandang tunanetra sebagai pengguna. Koreksi kedua dilakukan lewat proses sortir halaman cetakan oleh karyawan percetakan. “Kalau tertimpa dua kali, bisa tidak terbaca atau melenceng sekian milimeter, dianggap rusak,” tutur Ayi. Mereka sudah beberapa kali membuat master cetakan baru yang cukup mahal. Harga selembar pelat seng dari Amerika Serikat atau Jerman mencapai US$ 10.

Ayi mengatakan tingkat kebutuhan Al-Quran Braille di Indonesia masih tinggi. Kitab baru diperlukan untuk menggantikan yang rusak atau yang huruf timbulnya sulit dibaca karena sudah sedatar permukaan kertas. Masa pakai kertas jenis tertentu pun hanya tiga bulan. Ayi mengungkapkan, percetakannya memakai kertas berkualitas nomor dua yang beratnya 150-160 gram dan berukuran 25 x 30,5 sentimeter agar tahan lama.

•••

Penggunaan Al-Quran Braille di Indonesia berkembang dinamis. Beberapa faktornya, menurut Ahmad Jaeni dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama, terkait dengan pengetahuan pengguna dan keterlibatan para pengkaji Al-Quran Braille sejak 2010. “Jadi kaidah Braille terus dinamis berkembang, dampaknya ke percetakan bisa merepotkan,” katanya, Ahad, 9 April lalu. Percetakan itu terutama yang menggunakan mesin press dan pelat seng untuk membuat Al-Quran Braille.

Pihaknya berupaya agar tidak ada lagi perubahan yang banyak merombak naskah. Menurut Ahmad, perubahan itu membuat produk lama Al-Quran Braille ditinggalkan. Sementara itu, para donatur sudah banyak mengeluarkan dana untuk pembuatannya. “Sebagian pengguna kalangan tunanetra menganggap kalau ada Al Quran Braille baru yang lama itu salah, jadi tidak dipakai lagi,” ujarnya.

Dalam kajiannya yang berjudul "Aplikasi Braille dalam Penulisan Al-Qur’an", upaya menyalin Al-Quran yang berhuruf Arab ke kode Braille bagi kalangan difabel netra mulai dilakukan setelah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menghelat konferensi internasional tentang penggunaan kode Braille yang terdiri atas enam titik timbul dan variasinya dalam berbagai bahasa utama dunia, termasuk Arab. Konferensi itu berlangsung di Prancis pada Maret 1950, yang berlanjut di Beirut pada 1951. Lalu dicetaklah Al-Quran Braille perdana di Yordania dan Mesir di bawah pengawasan ulama Al-Azhar University. Setelah itu, beberapa negara lain mengikuti.

Petugas menyusun lembaran Al Quran sesuai juz di percetakan Al Quran Braille Yayasan Penyantun Wyata Guna di Bandung, Jawa Barat, 27 Maret 2023. Tempo/Prima mulia

Menurut Ahmad, pada 1964-1984, terdapat tiga fase perkembangan Al-Quran Braille di Indonesia, yaitu duplikasi, adaptasi, dan standardisasi. Upaya duplikasi atau penyalinan dilakukan setelah Lembaga Penerbitan dan Perpustakaan Braille Indonesia menerima kiriman Al-Quran Braille cetakan Yordania dari UNESCO pada 1954. Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) di Yogyakarta menerbitkan Al-Quran Braille perdana pada 1964. “Saat itu disebut sebagai fase duplikasi karena mengadopsi total Al-Quran Braille Yordania,” katanya. Yaketunis kemudian menerbitkan Al-Quran Braille lengkap 30 juz setelah mengadaptasi kitab serupa dari Pakistan.

Adapun Wyata Guna di Bandung turut mengembangkan Al-Quran Braille dengan mengadaptasi mushaf terbitan Departemen Agama yang dipakai pada 1960-an. Penyalinan dari Al-Quran cetakan biasa ke Braille yang dilakukan Abdullah Yatim Piatu itu didukung Yayasan Penyantun Wyata Guna. Selama dua setengah tahun dia mengerjakan master cetakan untuk 30 juz Al-Quran Braille. Cetakan Al-Quran Braille perdana terbitan Wyata Guna meluncur pada 1976.

Ahmad mengungkapkan, perbedaan mendasar Al Quran Braille yang dicetak Yaketunis dan Wyata Guna ada pada sistem penulisan atau rasm yang dipakai. Yaketunis berpedoman pada rasm imlai (al-imlā’iy), sedangkan Wyata Guna menggunakan rasm usmani (al-‘usmāniy). “Selain itu, ada perbedaan teknis menyangkut penggunaan tanda baca,” tuturnya.  

Perbedaan itu menimbulkan situasi yang tidak kondusif bagi pembelajaran Al-Quran Braille. Dampak lain adalah muncul komunitas fanatik yang mengancam hubungan di antara penyandang disabilitas netra. Di sisi lain, Lajnah Pentashih Mashaf Al-Qur’an saat itu belum punya rujukan atau pedoman untuk pengesahan. Pemerintah berupaya mengatasi berbagai masalah tersebut lewat jalan menyatukan keduanya.

Departemen Agama sampai harus menggelar sembilan kali musyawarah kerja nasional ulama ahli Al-Quran pada 1974-1983. Salah satu isu pentingnya adalah soal penggunaan rasm. Merujuk beberapa referensi, para ulama Al-Quran bersepakat bahwa menyalin Al-Quran dengan rasm usmani merupakan keharusan. Jalan keluarnya diputuskan penulisan Al-Quran Braille menggunakan rasm usmani dan hal yang menyulitkan dipermudah dengan rasm imlai. “Keputusan itu dapat dinilai cukup maju dan berani dalam konteks saat itu,” kata Ahmad.

Lantas dibuatlah standar melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 25 Tahun 1984 tentang Penetapan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia yang mencakup mushaf standar usmani, mushaf standar bahriyah, dan mushaf standar Braille. Instruksi menteri tentang penggunaan mushaf standar dijadikan pedoman penerbitan Al-Quran di Indonesia. Kementerian Agama mengeluarkan buku Pedoman Membaca dan Menulis Al Quran Braille berdasarkan hasil kesepakatan baru sekaligus bentuk revisi sejumlah kaidah penerapan rasm dan penggunaan tanda baca dalam mushaf standar Braille pada 2012.  

Setelah Yaketunis absen, muncul Yayasan Raudlatul Makfufin dan Balai Penerbitan Braille Indonesia yang mencetak Al-Quran Braille. Kebaruan muncul dari sisi teknologi. Mereka memanfaatkan komputer dalam pembuatan master Al-Quran Braille menggunakan alat embosser. Selama tiga tahun, 1996-1999, Raudlatul Makfufin menyusun master cetakan dalam perangkat lunak yang berpedoman pada mushaf standar Braille. Cetakan perdananya meluncur pada 2000. Pada 2001, Kementerian Agama melakukan evaluasi lagi untuk memperbarui standar berdasar kesepakatan para ulama.

Ade Ismail, pengelola Raudlatul Makfufin, memperkirakan sampai sekarang lebih dari 5.000 set Al-Quran Braille sudah dicetak dan didistribusikan di seluruh Indonesia. Harga per set Al-Quran Braille dalam empat versi yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan sendiri atau keperluan lain sebesar Rp 1-2,5 juta. 

ANWAR SISWADI, DIAN YULIASTUTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus