Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ulasan terhadap karya seni rupa Geonawan Mohamad
Dari penulis menjadi pelukis: apa yang membedakannya?
“APA yang paling sering membuat Anda risau di usia seperti sekarang?” Pertanyaan itu saya lontarkan saat kami ngobrol berdua di Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Mas Goen—begitu biasa saya memanggil Goenawan Mohamad—tak segera menjawab. Tatapan matanya melesat menembus dinding kaca serambi hingga sampai ke kolam di depannya.
Lelaki itu lahir di Batang, kota kecil di daerah pesisir utara, Jawa Tengah, 80 tahun silam. Kemudian hari GM—panggilan dia yang lain—dikenal sebagai budayawan, lebih spesifik: sastrawan, penyair, juga seorang jurnalis. Tapi, sejak sekitar lima tahun belakangan, predikat untuknya bertambah karena dia juga menjadi perupa atau pelukis.
Banyak orang kaget saat mengetahui Mas Goen mulai menggambar dan memamerkan sejumlah karya dalam acara ekshibisi di pelbagai galeri. Sebagian orang mengungkapkan kekaguman atas kerja seni rupa yang dihasilkannya. Sebagian yang lain ragu terhadap kualitas kerjanya di bidang seni rupa. Ini khususnya berlaku bagi yang belum pernah melihat karya-karyanya.
“Sebenarnya saya lebih senang melukis ketimbang menulis,” kata Mas Goen pada suatu siang di serambi Salihara, komunitas seni dan budaya yang didirikannya pada 2008. “Kalau menulis, saya cepat ngantuk, sedangkan melukis, tidak! Sebab sangat mengasyikkan” ujarnya.
Tentu ini ucapan yang dilebih-lebihkan. Sebab, nyatanya hingga sekarang Mas Goen tak pernah berhenti menulis, dari menyangkut perkara seni, filsafat, novel, lakon, hingga masalah sosial pada umumnya, seperti esai di rubrik Catatan Pinggir setiap pekan di majalah Tempo.
Kini menulis dan melukis berjalan beriringan, saling mengisi dan menghidupkan hari-hari Goenawan Mohamad yang terus bergerak. Bagi sebagian orang yang cukup dekat dengan pendiri Tempo ini, akan sangat paham bahwa kecintaan dia pada dunia seni rupa tidaklah lebih kecil ketimbang dunia sastra yang menjejerkan namanya dalam deretan tokoh kesusasteraan negeri ini. Begitu banyak ulasan perihal seni rupa yang pernah ditulisnya sejak masa muda, dari soal teori analisis pemikiran seni hingga tinjauan karya (resensi) bagi para perupa lokal ataupun internasional.
Tidak banyak, bahkan di dunia ini, seorang pemikir dan penulis filsafat seni (rupa) yang kuat dan konsisten—Goenawan Mohamad menulis artikel seni rupa sejak 1961—yang juga melakoni praktik-praktik kesenirupaan sebagai seorang perupa/pelukis. Demikian pula sebaliknya, sedikit sekali seorang pelukis atau perupa andal yang sekaligus memiliki kemampuan sebagai seorang pemikir dan penulis seni rupa yang kuat dan konsisten.
Pada usianya yang muda, 22 tahun, Goenawan Mohamad bahkan sudah bergulat dengan begitu banyak bacaan tentang teori seni yang ada di pelbagai belahan bumi. Anak muda dari Batang itu telah menulis kritik atas pemikiran Chernyshevsky (filsuf dan kritikus Rusia), yang mempertentangkan estetika seni dengan realitas, serta telah mengunyah berbagai teori dari pemikir-pemikir seni dan filsafat, termasuk teori estetika Hegel.
Dalam perjalanannya di tahun-tahun berikutnya, agaknya harus diakui Goenawan Mohamad adalah satu dari sangat sedikit orang yang mengikuti dengan intens teori-teori seni dan estetika yang berkembang di dunia. Ia pun sekaligus mempersoalkannya. Ia membahas secara kritis pemikir-pemikir Barat, seperti Duchamp, Heidegger, Jacques Ranciere, Marion, dan Adorno. Sementara itu, perhatiannya pada perkembangan seni rupa di Tanah Air juga tak berkurang.
Goenawan Mohamad menulis banyak pengantar atau meresensi karya para perupa yang sedang dipamerkan. Ia mengulas secara mendalam karya-karya mereka dengan diberi konteks sejarah seni rupa kita, seperti karya pelukis seni rupa modern Nashar, Rusli, dan Djoko Pekik. Pun ia mengulas karya para pelukis dan perupa kontemporer, di antaranya Dede Eri Supria, Ugo Untoro, Masriadi, dan Hanafi.
Bukan itu saja, Goenawan Mohamad merupakan orang yang secara ideologis menyokong banyak pemikiran atau gerakan yang dapat mempengaruhi kebaruan pemikiran dalam khazanah seni rupa. Beberapa tulisannya mengisyaratkan akan dukungan terhadap gerakan-gerakan seperti itu. Mas Goen jelas bukan orang yang “mandek”. Dia selalu memperbarui teori-teori yang pernah dan yang sedang digelutinya dengan mengikuti secara kritis perkembangan serta gejolak di dunia seni rupa.
Begitu besar sumbangan Goenawan Mohamad pada dunia seni rupa modern kita. Tulisannya yang berkaitan dengan pemikiran seni rupa begitu banyak dan tidak ditulis sekadarnya. Tulisan-tulisan seni rupa khasanah begitu rinci atas pengamatannya pada karya serta pemikiran seniman yang menjadi obyek tulisannya. Hal ini dibarengi dengan riset kuat dari bacaan terpilih yang jumlahnya juga tidak sedikit. Tulisan-tulisan seperti ini kemudian banyak dijadikan referensi bagi kalangan intelektual dan seniman kita.
Mas Goen memiliki “rasa seni” yang unik, tidak umum. “Indah” pada GM memiliki definisi dan pemahaman yang tak sama dengan orang ramai. Ini tidak saja berlaku pada cara memandang atau melihat karya-karya orang lain. Pun dalam praktik-praktik kesenirupaan yang dikerjakannya.
Jika menengok karya-karyanya, kita bisa merasakan karya-karyanya yang seperti tak sepenuhnya “selesai” atau tidak “sempurna”, juga terutama dari segi teknis. Tapi tentu saja karya seni rupa tidak melulu soal teknik. Seni rupa bertumpu pada kejujuran dalam pergulatan antara gagasan dan atmosfer saat berlangsungnya proses kreatif. Dan Goenawan Mohamad seperti menikmati proses yang demikian itu.
Dia tahu ketika merasa “cukup” dan segera berhenti dalam proses kreatifnya. Tidak “luweh”. Melalui karyanya, saya seperti bisa meraba Goenawan Mohamad melakoni pekerjaan seni rupa dengan kegembiraan. Agaknya pekerjaan ini yang menghidupkan hari-harinya menjadi lebih menggairahkan.
GM juga tak hendak meletakkan pekerjaan seni rupa pada tempat yang berlebihan. Ia tak menganggap karya seni sebagai hasil kerja yang paling berharga (adiluhung) ketimbang pekerjaan-pekerjaan lain. Sikap ini yang membuat pekerjaan berkesenian menjadi ringan dan mengasyikkan bagi diri Goenawan Mohamad.
Tersebab itu, dalam memperlakukan hasil kerja seni rupanya pun Goenawan Mohamad tampak biasa-biasa saja. Tak jarang ia mengoreksi atau merevisi bagian-bagian karya lama yang dianggapnya kurang pas atau kurang sreg. Bahkan ada satu-dua karya yang dihapus total dan diganti karya baru dengan cara menimpakan cat di atas karya lama.
Mas Goen dan dunia seni rupa seperti ditakdirkan bertemu. Hampir sepanjang hayat, suka dan kecewa pada dunia ini semacam “tulah” yang terus hidup dalam dirinya. Dan kita semua tahu, Goenawan Mohamad merawatnya dengan penuh cinta. “Kutukan” kepadanya ini merupakan berkah bagi dunia seni rupa.
Kami masih di beranda Salihara ketika petang tiba. Pertanyaan saya kepada Goenawan Mohamad tentang apa yang sering membuat risau pada usia 80 tahun seperti sekarang ini dijawab dengan lirih dan suara sedikit bergetar. Ah, barangkali Anda tidak tertarik mengetahui apa jawabannya. Biarlah ini menjadi konsumsi saya saja. Panjang umur, GM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo