Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Terapi Seni untuk Pasien Rumah Sakit Jiwa

Terapi seni menjadi salah satu terapi rehabilitasi kesehatan jiwa di beberapa rumah sakit jiwa. Pendamping terapi utama pasien.

17 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Terapi seni, khususnya melukis, untuk pasien rumah sakit jiwa menjadi salah satu terapi rehabilitasi.

  • Syaratnya, kondisi pasien sudah cukup stabil.

  • Menjadi cara yang cukup efektif untuk melepaskan dan mengekspresikan emosi.

PRIA itu duduk bersimpuh di lantai ruangan. Tangannya memegang pensil yang menari di atas kanvas putih. Dengan tekun ia membuat sketsa karakter pahlawan super. Wahyudi—bukan nama sebenarnya—adalah salah seorang penyintas yang tengah mengikuti rehabilitasi melukis di Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di ruang rehabilitasi, puluhan pasien lain tengah sibuk dengan beragam aktivitas, dari membuat kriya tenun dan batik ciprat, bertani, beternak, hingga melukis dengan diiringi musik cadas yang memenuhi ruangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama Wahyudi, sejumlah pasien duduk berjajar menghadap meja panjang. Mereka memoles krayon aneka warna di atas selembar kertas. Sayup-sayup musik mengiringi aktivitas mereka mengenal seni lukis. Wahyudi mudah beradaptasi dengan kegiatan melukis. Sebab, sebelumnya ia bekerja di studio komik. Ia mendesain beragam karakter tokoh komik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sudah kerjaan saya sejak kuliah, jurusan desain grafis,” kata Wahyudi setelah beristirahat siang. Setahun lebih ia menjalani program Daycare, program bagi mantan pasien yang tetap ingin berkarya dan beraktivitas di ruang rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat alias RSJ Lawang. Karakter kartun Thundercats yang ia tonton di TVRI dulu menginspirasinya dalam melukis. Kini ia tengah ditampung di sebuah yayasan. Saban hari, ia bolak-balik dari yayasan itu ke RSJ Lawang.

Pasien membuat sketsa lukisan saat masa rehabilitasi, di Rumah Sakir Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat, di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tempo/Eko Widianto

Instruktur dan penanggung jawab ruang latihan kerja pria RSJ Lawang, Lulut Joko Mulyono, telaten membimbing para pasien RSJ berkegiatan di ruang rehabilitasi. Dengan dua pendamping, Lulut mendatangi satu per satu pasien yang tengah melukis. Di ruangan seukuran lapangan bola voli, dipajang beragam lukisan kanvas pada dinding dan stand holder. Ada beragam aliran dan kisah yang pasien RSJ torehkan di atas kanvas. Ruangan itu mirip ruang pamer galeri seni.

“Beberapa lukisan telah dipamerkan dalam pameran seni,” ucap Lulut. Melukis, dia menambahkan, adalah kegiatan rehabilitasi khusus bagi pasien yang kondisinya stabil, tidak gelisah, dan tak ada indikasi bisa melukai orang lain atau diri sendiri. Tim rehabilitasi terdiri atas psikolog, perawat, pekerja sosial, dan terapis okupasi yang akan menilai kondisi para pasien. Mereka juga memetakan minat dan bakat yang bisa dilakoni.

“Pengobatan secara medis umum jalan. Rehabilitasi di bagian belakang,” ujar Lulut. Dia menjelaskan, terdapat tiga langkah penanganan pasien gangguan jiwa, yakni preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada tahap awal rehabilitasi, pasien akan menjalani terapi religi, seperti mengikuti pengajian atau kegiatan puji-pujian, lalu terapi kelompok dengan menyanyi. Setelah itu, diadakan latihan vokasional sesuai dengan minat, seperti berkebun, membuat telur asin, beternak, atau melukis.

Kegiatan rehabilitasi dilangsungkan mulai pagi sampai pukul 11.00 WIB. Setelah menjalani program rehabilitasi, mereka kembali ke ruangan masing-masing. Rehabilitasi, Lulut menambahkan, adalah aktivitas terapi yang terstruktur untuk menunjang pemulihan. Khusus dalam program rehabilitasi melukis, mereka dibebaskan membuat coretan di atas kertas. Pasien diajak mengenal warna dan media melukis. Lantas mereka diarahkan ke berbagai bentuk dan beragam media sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kegiatan melukis juga bertujuan mendorong kemampuan pasien.

“Menumbuhkan kepercayaan diri. Menentukan warna juga membutuhkan kepercayaan diri, mengambil keputusan sendiri,” katanya. Pendamping bertugas membantu dan memberi persetujuan untuk pemilihan warna. Pasien diberi kebebasan dalam melukis, termasuk memutar lagu pengiring aktivitas, asalkan tidak mengganggu yang lain.

Rumah sakit menyediakan semua peralatan melukis. Karena itu, Lulut rutin mengajukan permintaan pengadaan kanvas, krayon, pensil, dan cat minyak sesuai dengan kebutuhan. Untuk menghasilkan karya lukis yang bagus, dibutuhkan waktu berbulan-bulan. Namun kini hal itu sulit dilakukan. Sebab, seusai masa pandemi Covid-19, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan membatasi masa perawatan kejiwaan maksimal tiga pekan. “Sulit sampai bisa menghasilkan lukisan bagus,” tuturnya.

Deretan lukisan karya pasien saat masa rehabilitasi, di Rumah Sakir Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat, di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tempo/Eko Widianto

Untuk menyiasatinya, pasien baru bisa membuat latar belakang lukisan di atas kertas untuk kaligrafi dengan tulisan motivasi. Lulut bercerita, sementara dulu dibutuhkan waktu sebulan, kini pasien yang sudah membuat sketsa bisa pulang dan lukisannya ditinggalkan. Dulu sebagian lukisan diperjualbelikan dan hasilnya diberikan untuk pelukisnya.

Salah seorang pelukis asal Malang rutin menjalani kontrol dan terapi. Saat menjalani kontrol, ia tak lupa membawa peralatan melukis. Ia pun mampir ke ruang rehabilitasi dan menyelesaikan lukisan di atas kanvas yang menempel pada dinding. Sampai sekarang ia rutin menyambangi ruang rehabilitasi untuk menyelesaikan lukisan.

Lulut memiliki latar belakang seni dari sekolah. Ia sempat mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia Surakarta, Jawa Tengah, tapi tidak tamat. Ia memilih menyelesaikan pendidikan di Politeknik Kesehatan Surakarta pada jurusan terapi okupasi. “Melukis menjadi media untuk membantu proses pemulihan,” ucapnya. Ilmunya membantu mereka yang membutuhkan pemulihan mental.

Suka-duka ia alami ketika mendampingi para pasien. Lulut mengaku sedih sekaligus tertantang ketika mendengar ada pasien yang telah pulih kembali menjalani perawatan. Menjaga kesehatan mental, dia mengungkapkan, bukan hanya tanggung jawab rumah sakit. Setelah pasien keluar dari rumah sakit, keluarga, teman, dan lingkungannya berpengaruh besar. “Eh, ketemu lagi. Apa yang kurang? Sebulan kembali dengan kondisi memburuk. Secara fungsi menurun,” ujar Lulut.

Lukisan karya pasien di Rumah Sakir Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat, di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tempo/Eko Widianto

Lulut menghadapi beragam pasien sehingga harus mengenal berbagai karakter mereka. Dia antara lain pernah menghadapi pasien yang tiba-tiba mogok melakukan aktivitas melukis atau melawan secara verbal. Menghadapi kondisi demikian, Lulut memilih menghentikan aktivitas pasien tersebut. “Sudah tidak bisa dilanjutkan. Jika dipaksakan, bisa agresif,” ucapnya.

Lulut pernah merawat pasien yang tidak mau diarahkan, hanya ingin berjalan-jalan di ruangan. Suatu ketika, ia diketahui suka menyanyi dan mendengarkan lagu grup musik Dewa. Setelah mendengarkan lagu band tersebut, pasien itu tenang dan bisa diajak melukis. Ia lantas menuangkan ekspresinya di atas kanvas, bergambar hati berwarna merah (khas grup musik Dewa) disertai titikan air mata. “Katanya hatinya menangis. Saya ingat itu,” kata Lulut.

Seorang pasien lain pernah menggambar pot berukuran kecil, sedang, sampai besar. Saat Lulut menanyakan hal tersebut, ia menjawab bahwa sesuatu dimulai dari kecil hingga kemudian menjadi sedang dan besar. “Melukis bukan hanya imajinasi, ada makna dan arti sendiri,” ujarnya.

Psikolog RSJ Lawang, Daisy Prawitasari, mengatakan lukisan menjadi medium untuk mengekspresikan perasaan pasien secara artistik. Melukis merangsang pancaindra dengan aktivitas kompleks, dari memilih warna, mengimajinasikan obyek, hingga melukiskannya. “Memperbaiki kerja otak. Orang yang depresi bisa mengeluarkan dukanya melalui lukisan. Menjadi salah satu terapi ekspresif untuk mengeluarkan apa yang dialami,” tuturnya.

Paling tidak, Daisy menambahkan, dengan terapi melukis, pasien bisa diajak berkomunikasi. Biasanya, dengan beban yang berat, pasien hanya berdiam diri dan tidak mau beraktivitas. Namun, setelah selesai menggambar, pasien bisa bersikap kooperatif dan diajak berinteraksi. Sejumlah karya lukis pasien pernah dipamerkan dalam beragam pameran seni rupa. Salah satunya pameran yang digelar saban tahun oleh Kementerian Kesehatan.

Salah satu lukisan pasien mencuri perhatian kurator dari Museum Basoeki Abdullah, Jakarta. Lukisan itu mirip dengan karya lukis Basoeki Abdullah berjudul Gatotkaca dengan Pergiwa dan Pergiwati. Lukisan tersebut pernah dipamerkan di Museum Basoeki Abdullah. “Dipinjam untuk pameran,” kata Daisy.

Lulut Joko Mulyono (kanan), instruktur dan penanggungjawab ruang latihan kerja pria Rumah Sakir Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat, menunjukkan karya lukisan pasien yang menjalani rehabilitasi di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tempo/Eko Widianto

Galeri Nasional Indonesia di Jakarta pernah mengadakan pameran lukisan para pasien dari lima rumah sakit jiwa pada 2019. Kurator seni dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta mendatangi lima rumah sakit. Para pasien diminta melukis bebas. Lantas kurator memilih lukisan yang layak dipamerkan. Salah satunya lukisan perempuan berambut pendek. Saat pelukis ditanyai soal obyek lukisannya, ia menunjuk Daisy.

Sebuah lukisan dua sandal, semuanya sebelah kiri, mencuri perhatian Daisy. Lukisan tersebut merupakan ekspresi pelukis, seorang perempuan yang sedang patah hati. Ia dilanda depresi setelah putus hubungan dengan kekasihnya. Lukisan tersebut kini tersimpan di museum RSJ Lawang. “Personifikasi lukisannya sangat kuat,” tuturnya.

Juru bicara RSJ Lawang, Ribut Supriyatin, menjelaskan bahwa RSJ Lawang telah lama menerapkan terapi melukis. Ribut, yang telah bekerja selama 41 tahun, mengatakan awalnya lukisan dibuat di atas papan dan kain dilapisi tepung. Karena itu, banyak lukisan yang tak awet dan rusak. Kemudian mereka beralih ke media kanvas yang efektif untuk menuangkan ide lukisan pasien. “RSJ dulu dianggap momok, seolah-olah tempat pembuangan,” ujar Ribut.

Lagu cadas menggelegar sepanjang hari itu di ruangan rehabilitasi. Wahyudi bersama teman-temannya tetap tekun menorehkan pensil di atas kertas dan kanvas. Tangan mereka menari di atas kertas putih.

•••

TERAPI yang sama diadakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Dr Arif Zainudin, Surakarta. Jumat pagi, 23 Februari 2024, di salah satu ruang rehabilitasi di rumah sakit jiwa itu terbentang selembar kain mori putih berukuran 1 x 2 meter. Pada kain itu tergambar sketsa bulan sabit dan sosok biri-biri yang merupakan karakter dalam film kartun Shaun the Sheep.

Di ruangan itu terlihat beberapa orang tengah beraktivitas. Tampak seorang laki-laki dan perempuan asyik mewarnai sketsa gambar itu dengan kuas. Di sisi lain ruangan, beberapa orang tengah membubuhkan cairan malam pada pola batik di lembaran mori lain menggunakan canting. Sembari duduk di kursi kecil yang disebut dingklik, mereka melakukan aktivitas itu dengan sangat tekun dan berhati-hati.

Mereka adalah para pasien RSJD Surakarta yang sedang mengikuti terapi psikososial dengan pendampingan sejumlah instruktur. Kepala Bidang Pelayanan RSJD Surakarta Aliyah Himawati mengungkapkan, membatik adalah salah satu kegiatan dalam program terapi psikososial. Terapi ini merupakan bagian dari pengobatan pasien di rumah sakit jiwa tersebut.

Salah seorang pasien membatik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Arif Zainuddin, Surakarta, 23 Februari 2024. Tempo/Septhia Ryanthie

"Untuk menyalurkan perasaan, emosi nonverbal mereka,” ucap Aliyah kepada Tempo. Ada berbagai macam kegiatan dalam program terapi psikososial ini, di antaranya melukis, membatik, membuat keramik, bermusik, bermain gamelan, bertani, beternak, menjahit, dan memasak.

Peserta program ini adalah para pasien yang lolos seleksi dari dokter spesialis kesehatan jiwa dan psikolog. Mereka harus memenuhi syarat tertentu lantaran tingkat gangguan jiwa pasien berbeda-beda. "Harus yang dalam level sudah tenang, bisa diajak berkomunikasi, sudah baik gejalanya. Minimal bisa diajak berkomunikasi,” kata Aliyah. Pasien yang cenderung diam bisa diikutkan dalam kegiatan religi dan terapi musik. Dalam terapi rehabilitasi itu, mungkin mereka bisa bernyanyi. Tentu saja para dokter juga melihat kondisi setiap pasien.

Ketika sudah lolos seleksi, pasien dikirim untuk mengikuti program. Di sana mereka diseleksi lagi berdasarkan minat masing-masing. Mungkin mereka suka melukis, bermusik, bertani, atau beternak. "Pertama ya melihat minat pasien itu dulu. Sebab, kalau enggak minat, pasien disuruh menggambar juga tidak bisa. Jadi dia minat, baru kami dampingi," tutur Aliyah.

Aliyah mengatakan berbagai kegiatan dalam program terapi psikososial itu telah lama diadakan di RSJD Surakarta bagi para pasien. Terapi melukis bahkan sudah diselenggarakan saat rumah sakit itu masih bernama Rumah Sakit Jiwa Daerah Mangunjayan dan berlokasi di gedung lama yang berada di kompleks Taman Sriwedari, Surakarta.

Hal senada disampaikan instruktur atau terapis okupasi RSJD Surakarta, Sutarno. "Terapi ini sudah sangat lama diterapkan di rumah sakit ini. Mungkin dulu memang berawal dari psikolog yang menggali cara-cara atau terapi yang bisa mendukung pengobatan pasien," ujarnya.

Staf Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Arif Zainuddin, Surakarta, merapikan karya-karya seni pasien. Tempo/Septhia Ryanthie

Dia mencontohkan, ada sebuah lukisan legendaris karya salah seorang pasien yang menjalani perawatan di RSJD itu pada sekitar 1990. Lukisan itu masih terpajang di salah satu bidang dinding dan menjadi sangat ikonik. Sutarno mengaku tidak mengetahui identitas pasien yang membuat lukisan tersebut. Tapi, dilihat dari lukisan itu, si pelukis mampu mengekspresikan dengan baik dan detail pengalaman dirawat di RSJD. "Dari masuk rumah sakit, bagaimana dia dirawat, menjalani hari-hari di rumah sakit, sampai keluar dari rumah sakit," kata Sutarno.

Aliyah menjelaskan, terapi itu awalnya diberikan kepada pasien rawat inap. Namun lambat-laun program ini juga diberikan kepada pasien rawat jalan. Dalam kegiatan terapi yang sudah terjadwal tersebut, pasien mendapat pendampingan dan arahan dari instruktur rumah sakit. Rumah sakit juga melibatkan para pemerhati dan sukarelawan sesuai dengan bidang masing-masing. Ia mencontohkan, sukarelawan yang punya kemampuan seni mengajari pasien membuat keramik. "Tapi, karena volunteer, kegiatan tersebut tidak terjadwal, tergantung ketersediaan waktu mereka," ujarnya.

Karena terapi bisa diikuti pasien rawat inap ataupun rawat jalan, Aliyah memastikan tempat dan pendamping pasien rawat inap dibedakan dengan pasien rawat jalan. Ditanyai apakah terapi ini juga diberikan kepada mereka yang telah pulih atau sembuh, Aliyah menjelaskan, dalam hal penyakit kejiwaan, sembuh atau pulihnya pasien tidak seperti sembuhnya pasien penyakit non-kejiwaan. "Sebab, pasien disebut sembuh pun tetap harus ada obat yang diminum dengan dosis terjaga supaya tidak kambuh. Mereka bisa mengikuti terapi day care, tapi itu juga bergantung pada kondisi pasien tersebut," tuturnya.

Salah seorang pasien RSJD Surakarta, sebut saja namanya Cantika, mengaku sering mengikuti kegiatan terapi seni di rumah sakit itu. "Saya suka mewarnai, menggambar, melukis, membatik. Senang dan jadi tenang," tutur Cantika saat ditemui Tempo. Cantika mengungkapkan, saat dia mengikuti terapi, ada ketenangan dan kebahagiaan tersendiri. Dia dapat mengekspresikan perasaannya dalam karya yang ia buat.

Untuk mengapresiasi para pasien, pihak RSJD Surakarta kerap membawa karya mereka ke pameran. Ada pula yang dipamerkan di ruang pajang rumah sakit jiwa tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Eko Widianto dari Malang dan Septhia Ryanthie dari Surakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Goresan Warna dari Jiwa-jiwa yang Gelisah"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus