Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas wayang topeng Malang dengan lakon Raja Klana Rangga Puspita di Padepokan Mangundharma, Malang.
Naskah, koreografi, dan tata panggungnya digarap dengan sentuhan yang lebih modern.
Melibatkan penonton, mendekatkan kembali wayang topeng sebagai seni rakyat.
HARUM dupa menguar, alunan gamelan merdu mengiringi rintik hujan di Padepokan Seni Mangundharma, Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Jumat malam, 8 Maret 2024. Sekitar 200 penonton tak beringsut dari tempat duduknya. Mereka mengenakan jas hujan warna-warni dan meriung di area pelataran padepokan hingga pergelaran wayang topeng Malang berjudul Klana Rangga Puspita tuntas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penonton duduk meriung di tengah serta sisi kanan dan kiri amfiteater. Sedangkan panggung pertunjukan berada di atas amfiteater dengan setting Kerajaan Medang Gora Bipraya, di tengah untuk taman, dan pendapa untuk setting Kerajaan Singasari. Sang dalang menyampaikan cerita dalam tiga bahasa, yakni Bali, Jawa, dan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalang Ki Mohammad Soleh Adi Pramono membuka pertunjukan dengan bahasa Bali, “Hanate sire Klana Rangga Puspite nateng Medang Gora Bipraye. Anangun kunang bageman lawan senopati-senopati Surya Bangsa, Surya Sesa, Candra Geni, Candra Wukuk.... (Adalah seorang Klana Rangga Puspita, raja dari Medang Gora Bipraya, mengumpulkan para senapati Surya Bangsa, Surya Sesa, Candra Geni, Candra Wukuk....).”
Di hadapan para senapati, Raja Klana menyampaikan keinginannya terbang ke angkasa. Ia mengagumi Gatotkaca yang bisa terbang. Dalam pertemuan itu, seorang pendeta Kerajaan Medang Gora Bipraya, Danyang Kapulutan, memberi nasihat agar Raja bersuci di Kintamani dan meminta petunjuk Dewa Syiwa yang memiliki ilmu bayu bajra hingga bisa terbang.
Raja Medang Gora Bipraya Klana Rangga Puspita menunggangi kuda Sembrani dalam pergelaran wayang topeng bertajuk Klana Rangga Puspita di Padepokan Seni Mangundharma, Tulusbesar, Tumpang, Malang, Jawa Timur, 8 Maret 2024. Tempo/Eko Widianto
Syiwa yang memiliki sifat nataraja kerap menari di atas angkasa raya saat menciptakan sesuatu. Dengan tata panggung yang spektakuler, panggung didesain setinggi atap rumah, Syiwa menari di atas. Ia seperti menari di atas awan. Penonton harus mendongak saat menyaksikan Dewa Syiwa menari dan berinteraksi dengan Klana.
“Jangan kamu menyamai para dewa. Cukup saya kirim kuda Sembrani,” tutur Syiwa. Kuda Sembrani merupakan tunggangan Batara Wisnu yang diminta Syiwa mengabdi kepada Raja Klana Rangga Puspita. Klana menaiki kuda Sembrani dan terbang hingga ke atas Kerajaan Singasari. Klana meminta kuda Sembrani turun saat mendengar seorang putri menangis dengan dikelilingi para emban. Dialah Dewi Munti, putri Raja Singasari Lembu Akasa.
Klana Rangga Puspita langsung jatuh hati kepada Dewi Munti. Munti menangis lantaran hidupnya selalu diatur orang tuanya, termasuk ketika hendak dijodohkan dengan Raja Blambangan. Dewi Munti harus berdebat dengan ayahnya.
Lembu Akasa tetap meminta Dewi Munti menuruti kehendaknya, menjodohkannya dengan Raja Blambangan. Namun Klana Rangga Puspita berkukuh melamar Dewi Munti menjadi istrinya. “Cinta kalau tidak diperjuangkan tidak akan menerima kemenangan,” kata Klana.
Lembu Akasa menolak lamaran Klana Rangga dan berniat menangkapnya. Namun Klana Rangga berhasil lolos dan mengadu kepada Syiwa. Dewa Syiwa membantu Klana dengan mengirim gajah siluman. “Jangan lewat angkasa atau darat. Lewat Gua Wukir Polaman, langsung ke Kerajaan Singasari,” ucap Dewa Syiwa.
Terjadilah perang antara para prajurit Kerajaan Singasari dan Kerajaan Medang Gora Bipraya. Prabu Akasa mengamuk, marah kepada Klana Rangga Puspita. Di tengah perang, tiba-tiba muncul ribuan gajah yang mengalahkan pasukan Lembu Akasa. Klana pun berhasil membawa lari Dewi Munti. Lembu Akasa yang marah pun bersumpah. “Sejak saat ini, saya bersumpah tidak lagi menyembah Dewa Syiwa,” katanya. Tiba-tiba petir menyambar Prabu Akasa. Ia dikutuk menjadi Arca Gupala di Gua Wukir Polaman.
Yang menarik dari pertunjukan ini adalah tata panggung yang melibatkan koreografer sekaligus dosen di Institut Seni Indonesia Surakarta, Eko Supriyanto alias Eko Pece. Dialah yang menyarankan penggunaan tiga panggung di padepokan. Tujuannya agar penari bisa mengeksploitasi alam sekitar padepokan dan penonton pun terlibat di dalamnya. “Penonton menjadi subyek. Mereka menggunakan mantel warna-warni, seperti berkostum, jadi pertunjukan tersendiri,” tutur Ki Soleh.
Panggung dieksplorasi sedemikian rupa sehingga penonton dan penari seolah-olah tak berjarak, sangat dekat. Kembali seperti awalnya, wayang ini merupakan seni pertunjukan jalanan yang penari, pengrawit, dan penontonnya sangat dekat. “Wayang topeng itu intimate theatre. Tampil di atas panggung sejak 1980-an,” ujarnya.
Dengan tiga panggung utama, manajer produksi Siti Nurvianti menjelaskan, penonton secara emosional menyatu dengan panggung. Dengan begitu, penonton bisa melihat wayang topeng lebih dekat. Siti membuat konsep pertunjukan dengan panggung luar ruang. Namun, saat hujan datang, Siti khawatir penonton sepi. Adapun panggung Dewa Syiwa menggunakan perancah atau scaffolding bersusun tiga dengan tali pengaman.
Adegan perang antara prajurit Kerajaan Singosari dan Kerajaan Medang Gora di Padepokan Seni Mangundharma, Malang, Jawa Timur, 8 Maret 2024. Tempo/Eko Widianto
Tak sembarangan, Ki Soleh memilih penari dan pengrawit berpengalaman untuk menyuguhkan penampilan yang memikat. Ia memanggil para cantrik yang sudah memiliki jam terbang tinggi sebagai penari, bahkan pernah tampil di panggung internasional. Mereka meliputi Eko Ujang, Winarto Ekram, Tulus, Carena, Ryan, Valen, Dita, Ayu, dan Sutikno. Sedangkan koreografernya dosen pendidikan seni tari dan musik Universitas Negeri Malang, Tri Wahyuningtyas.
Naskah pentas wayang topeng Malang ini ditulis pemimpin Padepokan Mangundharma, Ki Mohammad Soleh Adi Pramono. Ki Soleh menuturkan, ide cerita berasal dari tulisan Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo dan Antologi Malang. Ia menafsirkan Bali pada masa lalu adalah Kerajaan Medang Gora Bipraya. Ide tersebut dipakai sebagai dasar penggarapan naskah. Ki Soleh juga berkonsultasi dengan sesama seniman. Apalagi, dia menambahkan, era Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara mengadakan ekspedisi Pabali yang memiliki misi perdagangan dan pengintegrasian Bali.
Ia memilih menyampaikan cerita dalam tiga bahasa lantaran sebagian anak muda tak lagi memahami bahasa Jawa. Sementara itu, bahasa Bali dipakai sebagai pengantar dan memberi sentuhan etnik Bali. Selain itu, ia mendatangkan kostum Bali dan I Ketut Wardana dari Bali untuk melatih para pengrawit. “Saya pernah belajar pedalangan di Bali,” ucapnya. Ia pernah didebat para dalang ketika menyampaikan pengantar tidak dalam bahasa Jawa. Tapi justru itulah yang mengantarnya ke Los Angeles, Amerika Serikat, pada 2003 dan berpentas dengan pengantar bahasa Inggris. “Jika tidak, anak muda akan meninggalkan topeng Malangan,” kata Ki Soleh.
Biasanya pertunjukan wayang topeng berlangsung sehari-semalam, seperti ketika digelarnya kisah Panji. Wayang topeng biasanya juga dipertontonkan dalam acara ruwatan, haul, atau sedekah bumi. Namun pertunjukan tersebut hanya berdurasi dua jam. Masa keemasan wayang topeng Malang berlangsung pada 1898-1914 di era Bupati Malang RAA Soerioadiningrat. Saat itu terdapat 220 kelompok wayang topeng. Pada masa itu tidak ada tontonan kesenian lain. Kini, selain di Padepokan Mangundharma, wayang topeng Malang tersebar di sejumlah kawasan, meliputi Dusun Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji; Kecamatan Jabung; Desa Jambuwer, Kecamatan Kromengan; serta Desa Kranggan dan Pijiombo, Kecamatan Ngajum.
Sementara dalang wayang topeng Malang lain menghafal cerita dari budaya tutur, Ki Soleh menulis semua naskah yang dipentaskan. Tujuannya, selain untuk dijadikan manuskrip, adalah membuat literasi naskah bagi dalang selanjutnya. Menurut Ki Soleh, kini hanya tersisa dua dalang wayang topeng Malang. “Saya sedang mencetak dua dalang remaja dan lima dalang anak-anak,” ucapnya.
Ia memuji sejumlah sanggar yang melatih anak muda membawakan penggalan tari, seperti tari prajurit sebrang, bapang, dan klana. Tarian tersebut menjadi tarian dasar yang bisa dibuat menjadi pertunjukan cerita Panji. “Jika cerita Panji diajarkan di sekolah, tidak mungkin. Dalang dan karawitan tidak ada,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Raja Klana Rangga Puspita di Tiga Panggung"