Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SYAHDAN, dua windu lalu, seorang korban kekerasan seksual bertemu dengan Hanifah Muyasarah, pemimpin dan pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Ihya Ulumaddin, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dalam kondisi trauma berat, remaja tamatan sekolah menengah pertama itu berharap bisa bersekolah lagi. Muyasarah lalu mengajak anak perempuan itu bersekolah di pesantren yang diasuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bertahun-tahun, hingga sekarang, Muyasarah menyembunyikan identitas anak itu. Guru dan teman-temannya di pesantren tak tahu bahwa remaja itu korban pemerkosaan empat lelaki. Dengan pendampingan terus-menerus, sambil mengikuti kegiatan di pesantren, anak perempuan itu mampu bangkit, meski ia tak pernah melupakan peristiwa biadab yang dialaminya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muyasarah lantas mendirikan rumah aman untuk para korban kekerasan seksual. Tak hanya mendampingi para korban, ia dan timnya juga mengkampanyekan kesetaraan gender serta perlawanan terhadap kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
Sekitar 200 kilometer dari Cilacap, Pesantren Nurulhuda di Kabupaten Garut, Jawa Barat, juga menerima korban kekerasan seksual. Dua tahun lalu, seorang santri anyar di Madrasah Tsanawiyah Nurulhuda terungkap pernah disetubuhi oleh gurunya di sekolah menengah pertama. Laki-laki itu merekam peristiwa kelam tersebut dan mengancam menyebarkannya lewat media sosial.
Bukannya mengeluarkan santri perempuan itu, pengelola Pesantren Nurulhuda pasang badan dan mengancam balik pelaku kekerasan seksual. Mereka tak mengubur dalam-dalam “aib” yang menimpa murid itu, melainkan menggandeng lembaga lain untuk menuntaskan kasus tersebut. Sayangnya, keluarga korban menolak melapor ke polisi.
Sebagian penghuni Pondok Pesantren Ekologi Ath Thaariq di Sukagalih, Garut, Jawa Barat, 24 April 2022. TEMPO/Prima Mulia
Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dilakukan oleh sejumlah pesantren jauh sebelum Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan pada pertengahan April lalu. Mereka tidak menunggu pembahasan aturan yang berjalan lamban di Dewan Perwakilan Rakyat itu rampung. Bagi mereka, korban kekerasan seksual tak bisa menunggu dan harus segera ditolong.
Pembaca, pada masa Ramadan dan menjelang Idul Fitri tahun ini, kami menurunkan edisi khusus tentang pesantren progresif yang melindungi korban dan mencegah terjadinya kekerasan seksual. Pesantren-pesantren itu juga mengajarkan kesetaraan gender, hal yang kadang masih tabu didiskusikan di pesantren yang memiliki budaya patriarki.
Tema perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di pesantren menjadi sangat relevan dalam kondisi belakangan ini. Berbagai kasus kekerasan seksual di balik tembok pondok terus mencuat dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada institusi pesantren.
Akhir tahun lalu, misalnya, muncul kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Herry Wirawan, pemilik Madani Boarding School di Bandung, yang disebut memerkosa belasan santrinya sejak 2016. Beberapa di antaranya hamil dan mengalami depresi. Awal April lalu, Pengadilan Tinggi Bandung memvonis Herry hukuman mati.
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan pesantren menjadi lembaga kedua setelah universitas yang paling banyak dilaporkan soal kekerasan seksual. Dari 51 laporan yang masuk ke Komnas Perempuan, 10 di antaranya terjadi di pesantren. Jumlah riilnya tentu lebih tinggi. Apalagi pesantren kerap menutup rapat kasus kekerasan seksual.
Menjaring nama-nama pesantren progresif, awak redaksi Tempo berdiskusi dengan sejumlah perwakilan lembaga dan komunitas sejak akhir Maret lalu. Bersama mereka, kami menjaring nama-nama pesantren yang mendampingi korban dan mengkampanyekan perlawanan terhadap kekerasan seksual.
Mereka berasal dari berbagai lembaga, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Jaringan Gusdurian, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Rahima, Kongres Ulama Perempuan Indonesia, dan Komnas Perempuan. Ada juga sejumlah individu yang cukup lama meneliti berbagai pondok pesantren.
Di tengah jalan, muncul diskusi dalam rapat internal majalah ini. Sejumlah awak redaksi berpendapat bahwa yang progresif bukan hanya pesantren yang melawan kekerasan seksual, tapi juga mereka yang peduli terhadap lingkungan. Tema ini pun kami adopsi karena sangat relevan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai penjuru.
Kami kembali berdiskusi dengan beberapa narasumber untuk menghimpun nama pesantren yang turut menjaga bumi. Di antaranya Ketua Divisi Lingkungan Hidup Lembaga Lingkungan dan Penanggulangan Bencana Aisyiyah—organisasi perempuan Muhammadiyah—Hening Parlan. Berbagai nama pesantren itu pun kami verifikasi lagi.
Pada tahap verifikasi, kami menggunakan sejumlah kriteria yang ditetapkan oleh tim edisi khusus. Antara lain, pesantren itu harus memiliki konsistensi dalam perlawanan terhadap kekerasan seksual dan ajek menjaga keseimbangan alam. Pun hasil kerja mereka yang telah berjalan bertahun-tahun memiliki dampak riil untuk masyarakat dan alam.
Kami menemui para korban dan saksi mata yang menceritakan langkah konkret berbagai pesantren dalam melawan kekerasan seksual. Jurnalis Tempo juga menemui masyarakat di sekitar pesantren yang mengetahui berbagai kegiatan pesantren yang melestarikan lingkungan.
Tentu kami juga mendatangi pesantren itu dan melihat langsung aktivitas mereka yang berhubungan dengan pencegahan kekerasan seksual dan menjaga alam.
Setelah verifikasi rampung, tim edisi khusus kembali menggelar diskusi internal. Hasilnya, ada tujuh pesantren yang memenuhi berbagai kriteria tersebut. Empat di antaranya gencar mendampingi korban dan dengan berbagai cara melawan kekerasan seksual. Sedangkan sisanya terbukti berhasil merawat mandala. Pesantren itu tersebar di Jawa dan luar Jawa.
Kami meyakini masih ada banyak pesantren yang merawat korban kekerasan seksual dan menjaga alam dalam diam. Aktivitas mereka sangat mungkin lolos dari pantauan kami. Kami pun tak menutup kemungkinan bahwasanya tujuh pesantren itu memiliki cacat yang tersembunyi yang luput dari penelusuran kami.
Bagaimanapun, edisi khusus kali ini menunjukkan bahwa pesantren kini bukan hanya sekolah agama. Pendidikan bercirikan Islam tidak bisa lagi bersifat eksklusif dan “memenjarakan” santrinya. Ia harus keluar dan bergerak untuk manusia dan alam. Dengan begitu, pesantren bisa menunjukkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin dan menjadi wahah di tengah padang gersang.
Selamat membaca.
TIM EDISI KHUSUS
Penanggung jawab:
Stefanus Pramono
Kepala proyek:
Hussein Abri Dongoran
Penulis:
Budiarti Utami Putri, Dini Pramita, Erwan Hermawan, Hussein Abri Dongoran, Khairul Anam, Linda Trianita, Mahardika Satria Hadi, Pito Agustin Rudiana
Penyunting:
Agoeng Wijaya, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Mustafa Silalahi, Stefanus Pramono
Penyumbang bahan:
Ahmad Fikri (Garut), Prima Mulia (Garut), Shinta Maharani (Magelang), Abdul Latif Pariaman (Lombok), Mustofa Bisri (Madura), Pito Agustin Rudiana (Cilacap)
Periset foto:
Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih
Fotografer:
M. Taufan Rengganis, Prima Mulia, Subekti
Penyunting bahasa:
Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Desainer:
Aji Yuliarto, Eko Punto Pambudi, Gatot Pandego
Penata letak:
Djunaedi, Munzir Fadly
Desainer digital:
Imam Riyadi Untung, Rio Ari Seno, Riyan Rahmat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo