Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pondok Pesantren Al-Hidayat yang didirikan Nyai Shinto aktif memperjuangkan kesetaraan perempuan.
Pondok pesantren khusus putri ini juga berpengalaman menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual.
Sosok Nyai Shinto disegani umat.
DADA Ulya Izzati berdebar-debar saat mendengar pengakuan perempuan yang tengah kalut karena foto dan video intimnya disebar di grup WhatsApp dan Facebook. Perempuan itu mendatangi Ulya dan ibunya, Shinto Nabilah—pemimpin Pondok Pesantren Putri Al-Hidayat di Dusun Nusupan, Desa Kedunglumpang, Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah—tahun lalu. “Kami berembuk dan menyepakati untuk mengejar pelaku dan membawa ke jalur hukum,” ujar Ulya saat dihubungi, Selasa, 26 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa itu bermula dari perkenalan korban dengan seorang laki-laki di media sosial Facebook yang berlanjut ke aplikasi pesan online WhatsApp. Pelaku, kata Ulya, dengan segala bujuk rayunya mendekati korban dan meminta foto semi-intim. Pelaku juga bermain peran dengan mengendalikan empat akun media sosial dan empat nomor telepon sekaligus. “Pelaku membujuk dan meyakinkan korban untuk mengirimkan lagi foto dan video agar foto yang dikirim pertama tidak disebar pelaku,” tutur Ulya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ulya lalu meminta bantuan pengacara di Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH-NU) cabang Magelang. Kasus kekerasan seksual digital tersebut ditangani langsung oleh Ketua LPBH-NU Magelang Miftahul Munir. “Setelah ditelusuri, pelakunya tinggal tak jauh dari pondok pesantren,” ucap Miftahul, Rabu, 27 April lalu.
Miftahul mengatakan saat itu Ulya dan pengurus pondok lain sangat aktif melakukan pelacakan dan pengejaran terhadap pelaku. Mereka juga meminta bantuan polisi untuk melacak pelaku dari akun media sosial dan nomor WhatsApp yang digunakan. Pengejaran juga dilakukan dengan menanyai teman-teman pelaku di media sosial.
Ulya mengaku mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Dia pernah harus berpura-pura menjadi pelanggan layanan pijat sehat di rumah tetangga pelaku. Setelah bukti terkumpul, kata Miftahul, perwakilan dari pondok mendatangi rumah pelaku. “Tapi pelaku sama sekali tidak mau mengaku,” ujar Miftahul. Ulya menambahkan, suaminya yang ikut mendatangi rumah pelaku bahkan sempat ragu-ragu melihat reaksi pelaku.
Ulya dan Miftahul merasa yakin mereka tidak salah orang karena petunjuk dan bukti yang ada merujuk pada pelaku. Untuk membuat pelaku mengakui perbuatannya, diaturlah siasat. Pengurus pondok bekerja sama dengan kepala desa memanggil pelaku, yang saat itu berusia 20 tahun, beserta orang tuanya. “Waktu itu kades tidak bilang kalau pelaku akan dipertemukan dengan kami,” tutur Ulya, yang merupakan putri kedua Shinto Nabilah.
Miftahul mengatakan, di balai desa, mereka melakukan gelar perkara kecil-kecilan. Pelaku dicecar dengan berbagai pertanyaan hingga tak bisa lagi mengelak. “Setelah itu, kasus ini saya bawa ke Polres Kabupaten Magelang,” ucapnya. Miftahul berencana membawa kasus ini ke meja hijau hingga tuntas.
Pengurus pondok pesantren, kata Miftahul, kemudian menimbang-nimbang ulang karena kasus kekerasan seksual berbasis digital ini dapat berimbas buruk pada korban. Mereka khawatir aduan tersebut dapat menjadi pukulan balik bagi korban. Dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pelaku memiliki celah untuk ikut menjerat korban yang saat itu sudah berusia 22 tahun.
Meskipun tidak jadi memproses ke jalur hukum, menurut Ulya, pengasuh pondok tidak mau pelaku melenggang begitu saja tanpa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Berbagai sanksi sosial pun diterapkan. Tak sampai di situ, pelaku dikenai wajib lapor ke kantor polisi dan terus diawasi gerak-geriknya. Sebab, ada poin kesepakatan yang menyatakan, apabila mengulangi perbuatannya, pelaku akan dituntut dengan pasal yang hukumannya lebih berat.
Keterlibatan Pondok Pesantren Al-Hidayat dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan bukan kali itu saja. Satu dekade sebelumnya, pesantren yang didirikan oleh Shinto Nabilah pada 1990 ini pernah menangani kasus perundungan seksual yang dilakukan seorang ayah terhadap anak kandungnya. Korban masih remaja, berusia 16-17 tahun, dan duduk di bangku sekolah menengah atas.
Ulya bercerita, remaja putri itu adalah santri pindahan dari pondok pesantren di Yogyakarta. “Kalau dia pulang ke rumah, bapaknya yang pengangguran sering menyentuh dia di bagian intim,” tutur Ulya. Waktu itu Ulya sendiri yang mendengarkan pengakuan santri tersebut.
Para pengurus lantas berembuk dengan Nyai Shinto—sapaan akrab Shinto Nabilah—untuk mengatasi persoalan itu. Mereka memutuskan santri itu akan diasuh dan dibimbing sambil perlahan-lahan dipulihkan dari traumanya di Pondok Pesantren Al-Hidayat. Sementara itu, keluarga meminta ayah korban tidak dimejahijaukan.
Untuk membantu pemulihan, korban diberi tanggung jawab dan dilibatkan dalam pengurusan santri sehari-hari. Dengan diberi tanggung jawab dan kepercayaan, rasa percaya diri korban perlahan muncul. “Semula mereka mengalami depresi, mengurung diri dan merasa tak layak, tak pantas, tak berguna, perlahan-lahan menjadi percaya diri kembali,” ujar Ulya.
•••
KAMAR berukuran 5 x 9 meter itu tak pernah sepi dari tamu. Shinto Nabilah duduk di ranjang. Stroke yang dialaminya selama empat tahun ini membuat pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Hidayat itu lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Pada Senin pagi, 18 April lalu, ada tujuh orang yang antre untuk menemuinya.
Salah satu tamu yang menemui Nyai Shinto hari itu adalah Fiki Nurmaulina asal Cilacap, Jawa Tengah. Perempuan 26 tahun itu sudah dua pekan tinggal di pondok dan belajar mengaji. Pengajar madrasah tsanawiyah dan sekolah menengah kejuruan itu dinasihati agar melanjutkan pendidikan ke strata dua. “Perempuan harus berpendidikan dan berperan lebih,” kata Fiki, menirukan pesan Nyai Shinto.
Perjalanan Nyai Shinto mendirikan pondok pesantren yang ramah terhadap perempuan dimulai dari pengalamannya semasa kecil. Perempuan kelahiran Magelang, 18 Maret 1960, itu menyebutkan keluarga besarnya mulai mengajarkan kesetaraan gender sejak ia belia. “Shinto jangan sampai kalah dengan saudara laki-laki. Harus pintar,” ujar Nyai Shinto, mengenang ucapan ibunya.
Nyi Shinto Nabilah (bawah, kiri) bersama santri sepuh di Pondok Pesantren perempuan Al-Hidayat, Salaman, Magelang, Jawa Tengah, 18 April 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Shinto yang saat itu berusia 15 tahun belum memahami betul istilah kesetaraan gender. Tapi perkataan ibunya tersebut menjadi fondasi untuk memperjuangkan kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan, terutama di lingkungan pesantren.
Ayah Nyai Shinto, Asrori Ahmad, yang dikenal sebagai Kiai Asrori, penulis kitab Pegon (kitab berbahasa Jawa ditulis dengan aksara Arab), juga berperan penting dalam mengajarkan kesetaraan gender. Kiai Asrori kerap mengajak Shinto ke forum-forum majelis yang mayoritas pesertanya adalah laki-laki. “Abah yang mengajarkan keadilan dan pentingnya pendidikan untuk perempuan,” tutur Nyai Shinto.
Dari ayahnya, Nyai Shinto kerap mendengar cerita perihal banyaknya anggota jemaah perempuan yang mendapat diskriminasi karena sulit mengakses pendidikan. Dari situlah Shinto kemudian terjun untuk mengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayat. Berdiri pada 1990, pesantren itu menampung 350 santri perempuan dari berbagai daerah dari semula hanya tiga santri perempuan.
Reputasi Pondok Pesantren Al-Hidayat dalam isu kekerasan seksual diakui oleh Siti Zuhriah, Ketua Muslimat Ranting Sidomulyo, Salaman, Magelang. Di luar kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama, Siti adalah salah satu santri sepuh Pesantren Al-Hidayat yang mendalami Islam melalui bimbingan Nyai Shinto sepekan sekali.
Menurut Siti, cara Nyai Shinto menyampaikan pesan-pesan bermuatan kesetaraan gender sangat membumi dan halus. Dalam berbagai pengajian, Shinto lebih sering menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dakwah agar jemaahnya dapat memahami pesannya dengan baik dan tak berjarak. “Nyai Shinto menyampaikan perempuan harus menolak kekerasan dalam rumah tangga, tapi suaranya pelan dan hati-hati sekali,” katanya.
Menurut Siti, semangat inklusivitas Nyai Shinto terlihat dari caranya memimpin pesantren yang mampu merangkul anggota jemaah dari beragam usia, bahkan berusia di atas 40 tahun. Bagi Muslimat Magelang, Nyai Shinto punya pengaruh besar. Dia pernah menjabat Ketua Pimpinan Anak Cabang Salaman selama dua periode, yakni mulai 2010 hingga 2019. Kini, selain sebagai pemimpin Pondok Pesantren Al-Hidayat, Nyai Shinto menjadi penasihat utama organisasi Nahdlatul Ulama tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo