Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESIBUKAN menyergap kantor SENT Entertainment di Viale Massenzio Masia, Kota Como, Italia, pada Jumat siang, 13 September 2024. Beberapa karyawan mencoba blazer berkelir hitam dan sweter biru dongker yang tersusun di meja mereka. Para pegawai klub sepak bola Como 1907 ini harus tampil rapi dan kompak dalam pertandingan kandang pertama mereka di Seri A esok harinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabtu, 14 September 2024, merupakan hari penting bagi klub yang baru saja meraih promosi ke Seri A tersebut. Itulah pertandingan perdana mereka di Stadio Giuseppe Sinigaglia setelah 21 tahun terdepak dari kasta teratas liga sepak bola Italia tersebut. Mirwan Suwarso, orang kepercayaan Grup Djarum—pemilik Como—terbang langsung dari London untuk memastikan pertandingan perdana di kandang mereka berjalan sukses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mirwan mulanya menerima Tempo di kantor SENT, tempat bernaung Como 1907. SENT—induk Como dan Mola TV—menyewa ruang kantor di kompleks apartemen di tengah kota. Beberapa menit berbincang di balkon, Mirwan mengajak Tempo melanjutkan wawancara di stadion yang jaraknya cuma sekitar 200 meter. “Sekalian saya mau ngecek persiapan buat besok,” kata Mirwan pada Jumat, 13 September 2024.
Beberapa pekerja sibuk merapikan peralatan di gelanggang berusia 97 tahun itu. Satu ruangan besar belum selesai dipoles. Langit-langit ruangan itu berupa lukisan besar. Wadah lilinnya bergaya klasik. “Nanti di sini buat tamu VVIP. Mereka bisa makan di sini di sela-sela menonton pertandingan,” ujar Mirwan.
Di sepanjang perjalanan menuju dan di dalam Sinigaglia, Mirwan menjelaskan alasan Grup Djarum alias keluarga Hartono—keluarga terkaya di Indonesia dengan bisnis meliputi rokok Djarum hingga Bank Central Asia—membeli Como yang sedang bangkrut dan terpuruk di Seri C pada 2019. Harganya cuma 850 ribu euro atau sekitar Rp 14,3 miliar. Dia juga menerangkan ide bisnis Djarum dalam mengelola klub kecil amatir yang bermarkas di kota tepi danau dengan populasi 85 ribu jiwa tersebut.
Puas memeriksa stadion, Mirwan kembali ke kantor. Baru keluar dari stadion, ia dicegat pria paruh baya yang menunggang skuter. Menggunakan bahasa Italia, dia meminta difoto bersama Mirwan. Setelah itu, dia menyemangati Mirwan. “Besok kita akan menang. Due-zero, dua-kosong,” tutur pria itu sambil mengacungkan dua jari.
Djarum membeli Como pada 2019 saat klub itu bangkrut dan terpuruk di Seri C. Kini klub kembali ke Seri A setelah 21 tahun. Apa rahasianya?
Mereka bangkrut tiga kali dalam waktu 10 tahun. Waktu itu kami beli di kebangkrutan terakhir. Pemilik sebelumnya juga fan yang enggak mau klubnya mati. Saat melihat kami datang, mereka dukung. Ini seperti menerima amanah. Kami coba jalani semaksimal mungkin.
Kami menggerakkan Como 1907 sebagai suatu usaha. Yang pertama kami isi sumber daya manusianya. Baru setelah itu memperkuat infrastrukturnya. Dulu, sewaktu kami beli, jumlah karyawannya cuma lima. Klub dan organisasinya amatir. Sekarang karyawannya sudah 200-an. Dari tahun ke tahun kami berupaya memperbaiki kekurangan di tahun sebelumnya. Sumber daya manusianya naik kelas terus setiap tahun.
Apa alasan Djarum membeli Como 1907?
Kebetulan waktu itu kami sedang membesarkan Mola TV. Kami membangun konten televisi berupa program dokumenter seputar pengelolaan klub sepak bola. Kebetulan ada klub yang sedang terpuruk. Lokasinya juga dekat dengan Kota Milan—40 menit mengendarai mobil. Logistiknya mudah untuk bikin dokumenter. Kebetulan talent-nya orang-orang sekitar situ. Michael Gandler yang jadi CEO Como juga tinggal di Milan. Dia manajer pemasaran Inter Milan saat Erick Thohir jadi presiden klub itu. Pilihan praktis saja sebenarnya. Harga belinya juga murah. Jadi kami bisa bikin acara televisi yang dapat dijual ke 75 negara.
Tapi klubnya tumbuh kecepetan. Begitu biaya tahunan klub ini mencapai 11-12 juta euro, enggak mungkin, lah, cuma jadi konten. Maka kami garap sebagai usaha. Kebetulan apa yang kami lakukan hasilnya bagus. Melihat ada hasil dan peluang, kami tambah investasi dan menyeriusinya menjadi usaha.
Pada tahun ke berapa Djarum sadar Como sudah bukan sekadar konten?
Tahun kedua di Seri B, pada 2021, sudah terlalu besar biayanya. Terakhir di Seri B, pada 2023, sudah kelihatan prospeknya gede banget. Kedatangan Cesc Fabregas pada Agustus 2022 itu bagian dari upaya kami mensosialisasi klub ini mau ke mana. Orang seperti dia saja (mantan gelandang Arsenal, Barcelona, dan Chelsea) mau ke sini. Thierry Henry (penyerang legendaris Arsenal) juga mau. Dari situ mulainya.
Sempat melirik klub lain sebelum mengakuisisi Como?
Pernah lihat Pro Vercelli, kini main di Seri C. Pernah lihat Bari juga. Tapi Bari kan jauh—delapan setengah jam perjalanan dari Milan. Pro Vercelli juga tiga jam dari Milan. Kami lihat potensinya juga terbatas. Pro Vercelli kota kecil, enggak ada apa-apa di tengah desa, sementara Como adalah kota turis. Akhirnya kami pilih kota ini, Como.
Bukankah Pro Vercelli lebih potensial karena tujuh kali menjadi juara liga Italia pada 1908-1922?
Sejarah prestasi dan sejarah industri itu berbeda. Kami melihat potensi. Kalau mau mengelola klub sepak bola, jangan sampai industrinya bergantung pada sepak bola saja. Yang kami coba bangun adalah suatu usaha. Performa lapangan tidak menentukan pemasukan usaha. Mesti seimbang antara yang di lapangan dan industri di luar lapangan.
Mengapa tidak mencari klub di Inggris atau Spanyol?
Beda, ya. Mungkin klub yang berpotensi mengelola pemasukan dari luar lapangan masih terbatas. Di sini turismenya kuat banget. Italia fashion-nya kuat sekali. Kami melirik dua hal itu. Kalau bisa menggunakan klub untuk lebih mengangkat nama kotanya, tugas kami mencari pemasukan jadi lebih mudah. Sebab, Kota Como sendiri sudah terkenal sebagai tujuan wisata orang-orang Amerika dan Eropa. Karena itu, kami pilih kota ini.
Pemasukan dari luar lapangan seperti apa?
Retail, misalnya. Ketika gue dateng, Como enggak punya toko. Sekarang ada 375 tempat yang menjual barang-barang Como 1907—secara konsinyasi. Kami akan punya empat toko sendiri. Satu kami bangun bersama Adidas; satu bersama Rhude, merek asal Amerika Serikat; satu dengan Didit Hediprasetyo; dan satu dari kami sendiri, Como 1907. Kami juga membeli pabrik bir lokal, La Comasca. Ini satu-satunya bir yang filtrasinya menggunakan kain sutra. Sutra Como satu yang terbaik di dunia. Ini menjadi sesuatu yang unik yang bisa diekspor ke Eropa dan terutama ke Amerika Serikat.
Begitu kami garap Como dengan pendekatan ini, banyak talenta yang masuk. Pertama, Cesc Fabregas. Dia tertarik bekerja sama dengan kami karena melihat potensi industrinya—mulanya sebagai pemain dan investor. Kini Fabregas menjadi pelatih dan investor Como. Lalu Thierry Henry. Sekarang Raphael Varane—eks palang pintu Real Madrid dan Manchester United—juga hadir. Ke depan ada beberapa orang yang akan jadi mitra di usaha kami yang berbeda-beda itu.
Varane menjadi investor?
Dia ingin terlibat di proyek kami yang lain. Kami punya sembilan-sepuluh jenis usaha. Di fashion ada empat brand. Ada bisnis digital, marketing platform, data analysis platform, sekolah bola internasional, dan pabrik bir. Juga ada bisnis media. Sekarang kami sudah punya Como TV, lalu ada majalah Como, Blue. Kami juga ada travel agency yang menyediakan paket berlibur di Como untuk selebritas. Klub Cagliari sudah menjalin kerja sama dengan kami untuk mempromosikan turismenya bareng-bareng. Mereka juga memakai sistem tiket kami. Ada juga properti, yaitu stadion yang akan kami bangun di sini.
Djarum akan membangun stadion baru di Como?
Kami bekerja sama dengan wali kota (commune). Sudah dapat konsesi 99 tahun (build-operate-transfer), tinggal formalitas dokumen. Stadio Giuseppe Sinigaglia ini bangunan bersejarah. Fasadnya dibuat di era fasisme Italia—selesai dibangun pada 1927 atas perintah Benito Mussolini. Pokoknya enggak boleh disentuh. Sama seperti stadion baru Atalanta—Stadio di Bergamo. Mereka akhirnya bangun di atas dan sekeliling fasad lama.
Sudah ada konsep stadionnya?
Akan ada 14 restoran di dalam stadion, 3 lantai, 2 kolam renang, serta 2 tribun VIP—satu tribun menghadap langsung ke Danau Como. Ada food court dan restoran buat turis. Jadi stadion akan hidup 365 hari dalam setahun. Bahkan Stadion Camp Nou di Barcelona rasanya enggak bisa beroperasi 365 hari. Stadion ini milik bersama nantinya, wali kota menyerahkan kepada kami untuk dikelola. Kepemilikan selalu milik kota, tapi hak pengelolaan di kami 99 tahun. Penghasilannya buat kami semua.
Lo bisa beli klub bola mana pun, tapi lo enggak bisa beli danau, taruh di sebelah stadion, dan menjadikannya obyek penghasilan. Di sini sudah ada itu semua. Ada Danau Como, ada stadion di sebelahnya. Kami jadikan tempat wisata, kami kelola wisatanya. Risiko bisnis sepak bolanya terkelola. Dari ujung ke ujung tribun stadion tidak ada restoran. Tidak ada tempat nongkrong. Cuma orang jalan dan foto-foto di pinggir danau. Kalau kami kasih tempat nongkrong, stadion ini pas di tengah, jadi tempat hangout paling trendi di Como. Pemandangannya langsung ke Danau Como.
Situasi tribun penonton sesaat sebelum kick off laga Como vs Bologna, di Como, Italia, 15 September 2024. Tempo/Khairul Anam
Seberapa besar potensi penonton di stadion?
Sekarang 10 ribu: 7.000 tiket terusan, 3.000 dijual per pertandingan. Kota ini kecil, hanya 85 ribu orang penduduknya. Sebanyak 30 persen pembeli tiket kami adalah turis. Orang asing, luar Italia. Mungkin kami satu-satunya klub bola yang akun media sosialnya tidak mengutamakan sepak bola, tapi turisme. Asosiasi fan klub Derby County di Inggris, Fortuna Düsseldorf di Jerman, dan lain-lain punya tiket terusan kami. Jadi kami unik. Mereka liburan ke sini, nonton sepak bola sambil jalan-jalan. Kami adalah klub kedua semua orang Eropa. Kami juga punya basis pendukung besar di Skotlandia, namanya Como Tartan Army.
Omong-omong, investasi Djarum di Como 1907 sudah mencapai break-even point (BEP)?
Belum. Investasinya bertambah terus. Kalau tidak ada penambahan investasi, tahun ini sudah BEP. Tujuan pertama kami saat ini adalah meningkatkan valuasi. Kami beli Como di harga 850 ribu euro. Terakhir ditawar 35 juta euro pada 2022, ditawar lagi 50 juta euro dan 60 juta euro. Terakhir valuasinya sudah 100 juta euro. Kami tolak juga. Itu sebelum promosi ke Seri A.
Siapa yang menawar 100 juta euro?
Kalau ada yang mau beli Como, pasti dari Amerika Serikat. Target kami membesarkan klub ini sampai valuasinya US$ 1 miliar dari semua industri yang kami miliki, mencakup semua ranah usaha, retail, toko, sampai tas perusahaan sendiri.
Pendapatan terbesar Como dari mana?
Hak siar. Nilai hak siar di Seri A paling rendah itu 30 juta euro, sementara di Seri B kami dapat kemarin cuma 7 juta euro. Target kami tahun ini mendapatkan hak siar 35 juta euro. Pendapatan tiket di Seri B cuma 1,6 juta euro. Sekarang di Seri A bisa 8-9 juta euro per musim. Lalu ada pendapatan retail yang bisa menandingi pendapatan tiket. Pertama kali gue datang, pemasukan retail cuma 35 ribu euro setahun. Tahun lalu sudah 3-4 juta euro. Tahun ini targetnya 7 juta euro. Target penerimaan total tahun ini 55-65 juta euro.
Biaya operasi paling besar untuk belanja dan gaji pemain?
Gaji pemain dan infrastruktur. Gap Seri B dengan Seri A tinggi banget, jadi kami harus overspend di tahun ini. Belanja pemain senior seperti Sergi Roberto (mantan gelandang Barcelona) serta bakat muda seperti Alieu Fadera (dari Gambia), Nicolás Paz (Real Madrid Castilla), Máximo Perrone (pinjaman dari Manchester City), dan Ali Jasim (Irak). Kami pun banyak belanja di U-19, ambil dari Brasil, beli di harga 2-3 juta euro, jadi enggak perlu beli pemain seharga 20-30 juta euro.
Kami beli tempat latihan sendiri di Mozzate. Enggak jauh dari tempat latihan Inter Milan—di Appiano Gentile, Como. Kami mau beli lagi buat tim junior, nanti digabung. Tim wanita kami sekarang di divisi keempat, akan kami naikkan ke divisi utama.
Bagaimana mengelola pembelian pemain?
Kami punya anggaran yang telah disepakati. Di situ ada data dan kebebasan untuk tim pelatih. Kalau sampai perlu duit lagi, “Halo, Pak, jadi begini....” Harus menjelaskan, lah. Ha-ha-ha....
Tapi SENT punya tim data dan head of football strategy. Tugasnya menjaga kesinambungan klub ini di luar individu—siapa pun direktur dan pelatihnya. Ada juga tim data yang menentukan outlook lima tahun ke depan, mengevaluasi pemain junior. Cesc mau ke mana, kami ke sana. Berdasarkan sistem yang ia mau, pemain yang memadai ada berapa, yang enggak berapa. Tim data yang pertama mencarikan sesuai dengan posisi, lalu pilah nama. Mungkin cuma tujuh nama yang cocok, baru scouting karakternya bagaimana, cocok atau enggak dengan tim dan lain-lain. Jadi sudah enggak melihat teknik lagi. Ketika tinggal tiga kandidat, kami kasih ke pelatih. Baru nego dan maju. Itu sudah ketahuan gajinya, masuk range atau enggak.
Fabregas tidak langsung mengajukan nama pemain yang hendak ia datangkan?
Kadang-kadang dia bawa nama, seperti Sergi Roberto. Namanya Sergi Roberto—245 kali membela Barcelona sejak musim 2010-2011 sampai 2022-2023—pasti semua kriteria masuk. Tinggal gajine piro.
Ada rencana merekrut pemain Indonesia atau pemain naturalisasi?
Susah, ya. Karena kami kena slot pemain non-Uni Eropa. Maksimal cuma boleh tiga dan berlaku di semua umur. Untuk memakai slot non-UE ini, pemain harus punya value di atas rata-rata. Saat ini slot non-UE kami dipakai pemain Ghana yang sudah kadung dikontrak klub sebelum gue pegang. Kontraknya habis tahun depan. Dua lagi buat Ali Jasim dan Alieu Fadera. Mereka pegang prospek 30 persen talenta terbaik. Kalau ada pemain Indonesia yang layak dan bagus, dengan senang hati kami ambil.
Sedangkan pemain naturalisasi tim nasional Indonesia, begitu melepaskan paspor Uni Eropa—kebanyakan Belanda—mereka langsung jadi pemain non-UE. Seperti Thom Haye. Kalau dia masih pemain Belanda, pasti kami ambil saat masih di Seri B. Jay Idzes dikontrak Venezia dulu, baru ganti paspor. Enggak jadi masalah buat Venezia. Mekanisme itu serupa dengan Emil Audero Mulyadi, kiper kami. Kalau habis ini dia mau ganti jadi paspor Indonesia, enggak ada masalah, karena tidak mempengaruhi slot pemain non-UE di klub saat ini. Untuk pemain Indonesia, kami alokasikan ke tim wanita. Kami akan merekrut Shalika Aurelia, 21 tahun, jebolan Persija Putri. Ada juga alokasi pelatih buat Indonesia, yaitu Kurniawan Dwi Yulianto dan Dani Suryadi di tim U-17.
Pelatih tidak kena pembatasan kewarganegaraan?
Mau sepuluh pelatih Indonesia pun bisa, asalkan menang terus, ha-ha-ha.... Kurniawan sekarang mengambil kursus kepelatihan UEFA Pro.
Berapa dana yang telah Djarum gelontorkan untuk Como?
Tujuh-delapan juta euro untuk infrastruktur saja. Tapi kami banyak dibantu pemerintah kota. Sewaktu kami mau beli tempat latihan, diminta pakai dulu, sewa. Begitu sudah cocok, biaya sewa jadi bagian harga beli. Banyak juga orang Como yang memberikan fasilitas mereka buat kami. Mereka berterima kasih karena klub lokal mereka bisa masuk ke Seri A lagi. Dulu mereka ke stadion menonton Como di Seri A bersama ayah mereka. Lalu klubnya hilang. Sekarang mereka bisa mengajak ayah mereka menonton klub lokal lagi di Seri A. Bukan ke Inter Milan atau AC Milan.
Saat kami mau membuka bisnis fashion, Mantero—produsen kain sutra ternama di Como—menawarkan pasokan kain sutra dengan harga diskon. Bisa kredit tiga-enam bulan. Mereka biasa menyuplai buat Dolce Gabbana dan lain-lain. Mereka ingin berkontribusi buat kemajuan klub. Sedangkan fan yang enggak mampu, mereka membantu dengan tenaga, mengecat bangku stadion. Kami kasih tiket gratis, enggak mau.
Mengapa Djarum tidak jorjoran membeli pemain seperti pemilik baru klub lain?
Kami membangun klub ini pelan-pelan karena sambil belajar. Kami juga berusaha tidak mengambil keputusan berdasarkan emosi. Semua berdasarkan sains dan sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan. Kami mengelola data dan algoritma, punya sistem data sendiri. Kalau mau melihat perkembangan pemain lima tahun lagi, bisa. Semua keputusan pakai data, enggak ada yang pakai mata.
Siapa yang gila bola di keluarga Hartono?
Enggak ada. Pertimbangan mengambil Como ini hanya bisnis. Yang pertama berkunjung kemari juga Roberto Setiabudi, anak Michael Bambang Hartono. Martin Hartono (CEO GDP Venture, anak Robert Budi Hartono) juga sudah datang. Victor Hartono (bos PT Djarum, anak Budi Hartono) sudah datang. Terakhir yang berkunjung itu Ibu Giok sendiri (Widowati “Giok” Hartono, istri Budi Hartono) pada 20 April 2024. Oktober ini Bu Giok mau bikin konser teater di sini.
Tidak seperti keluarga yang bermimpi punya klub sepak bola, ya....
Enggak ada ego di keluarga Djarum. Mereka pengin punya klub bukan karena gengsi. Kepemilikan klub ini jadi tanggung jawab, enggak lepas-buang. Bisa jadi usaha atau enggak? Dapet duit atau enggak? Kalau hanya mengandalkan pendapatan dari sepak bola, menurut gue terlalu menyeramkan. Sebab, klub bola itu fluktuatif. Mungkin hanya Manchester United yang prestasinya naik-turun tapi pemasukannya jalan terus, dari sponsor dan semuanya. Bisnis nonbola harus bisa lebih kuat dari bisnis bolanya. Itu yang kami lakukan.
Warga Como tahu pemilik Como 1907 keluarga terkaya di Indonesia?
Ya. Tapi mereka enggak nuntut kami jorjoran karena mereka juga ingin klub ini berumur panjang.
Apa rujukan Djarum dalam mengelola klub sepak bola?
Enggak ada. Belum ada klub bola yang bisnisnya based-on tourist atau based-on fashion. Semua bisnis klub itu jual-beli pemain. Kami enggak mau beli klub lagi. Kami akan mematangkan akademi.
Selain menaikkan valuasi, apa target Djarum untuk Como?
Selama ada penghasilan yang menopang, enggak ada masalah. Jangan sampai seperti Leeds United, beli Rio Ferdinand dari utang dengan asumsi akan lolos ke Liga Champions pada 2000. Begitu enggak lolos, bangkrut. Semuanya harus berdasarkan kemampuan finansial kita. Mampu atau enggak mengatasi risiko kalau targetnya enggak tercapai? Kami punya rencana bisnis. Begitu masuk Seri A, bikin rencana baru lagi untuk sepuluh tahun ke depan.
Semua pemegang saham ikut menambah modal?
Harus ikut. Kami straightforward. Enggak ada utang sama sekali. Untuk pemegang saham minoritas—seperti Fabregas, Henry, dan Varane—kami kasih tahu, “Lo masih kuat apa enggak? Rencana sepuluh tahun begini.”
Mereka menyanggupi?
Kuat. Nilai kontrak Fabregas di AS Monaco 30 juta euro per tahun kalau tidak salah. Bagaimana kontraknya di Chelsea dan Barcelona? Enggak berani nanya.
Bagaimana hubungan klub dengan kelompok suporter fanatik ultras?
Banyak yang gue hire jadi karyawan. Mereka bantu jual tiket, bantu promosi, baik-baik, kok. Ultrasnya dewasa. Ada komunitas isinya dokter hewan, ahli bedah, tapi ultras.
Kapan target untung Como?
Di Djarum itu setiap enam bulan ditanya kapan balik modal. “Tiga tahun lagi kita akan begini, Pak. Dua tahun lagi kita akan segini, Pak.” Kalau gagal atau meleset, alasannya apa, dijelaskan. Realistis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo