Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Operasi yang berlarut-larut tersebut berdampak pada penduduk sipil. Terjepit konflik antara tentara dan gerombolan, sebagian penduduk Nduga mengungsi ke kabupaten jiran. Sebagian lain bertahan dengan perasaan waswas. Kepada Tempo di rumah dinasnya di Jayapura pada Selasa, 26 Maret lalu, Komandan Komando Resor Militer 172 yang juga Komandan Komando Pelaksana Operasi di Nduga, Kolonel Jonathan Binsar Parluhutan Sianipar, menjelaskan jalannya operasi tersebut.
Sudah lebih dari tiga bulan TNI dan Polri mengejar kelompok Egianus Kogeya. Bagaimana kemajuannya?
Kami sebenarnya hanya membantu polisi menegakkan hukum karena ada pembantaian di Nduga. Sampai sekarang kami belum menemukan empat pekerja PT Istaka Karya. Mungkin sudah dikubur oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Apa kendala operasi di sana?
Medan dan cuacanya sangat ekstrem karena ini daerah pegunungan. Kami juga berhati-hati karena mereka (kelompok bersenjata) membaur dengan masyarakat dan menjadikannya tameng. Sewaktu menyerang pos TNI di Mbua, mereka menempatkan masyarakat di bagian depan untuk memanah. Di belakang, mereka menembak. Itu sebabnya, tentara berhati-hati menembak.
(Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Sebby Sambom, membantah jika disebut menjadikan masyarakat sebagai tameng. “Justru TNI tembaki orang Papua.”)
TNI dituding melakukan penembakan terhadap warga sipil. Tanggapan Anda?
Prosedur kami jelas. Yang bersenjata itu yang ditembaki. Kami tidak sembarang menembak. Kami tidak tembak orang Papua. Kami menyerang OPM.
Helikopter dikabarkan menembak warga sipil....
Ada taktik universal yang berlaku. Kalau masuk daerah yang dikuasai lawan, kita harus menembak. Heli TNI menembak untuk mengacaukan lawan.
Dari heli bisa membedakan penduduk sipil dan pasukan lawan?
Mereka pegang senjata. Heli kami juga ditembaki. Begitu kami ditembak, sah hukumnya untuk menembak balik.
Ada juga tudingan bahwa TNI menggunakan senjata kimia....
Itu hoaks. Kami tidak punya senjata kimia. Bom fosfor yang disebut-sebut itu sebenarnya hanya granat asap. Digunakan untuk menyembunyikan posisi heli.
Di Mapenduma, TNI dituding membunuh dan membakar seorang pendeta, Geyimin Nirigi namanya....
Tentara tidak punya tradisi membakar. Justru OPM yang punya tradisi itu. Pakai logika saja, kalau kami membunuh, apa akan meninggalkan sisa tulang? Prinsipnya, kami terbuka saja. Silakan melapor ke polisi jika memang ada pembunuhan. Biar kami tidak dituduh macam-macam terus.
Masyarakat sipil di sana mengaku mengalami trauma dan takut kepada tentara, salah satunya akibat peristiwa Mapenduma 1996....
Sejak 1996, tentara tidak pernah masuk lagi ke Nduga, khususnya di Mapenduma. Ini sebabnya OPM menguasai wilayah tersebut. Mereka mendoktrin masyarakat bahwa TNI akan membunuh warga sipil. Ini diakui penduduk yang kami jumpai. Mereka takut dibunuh tentara.
Usia Egianus Kogeya masih sangat muda. Terjadi regenerasi pejuang kemerdekaan Papua?
Mereka didoktrin oleh orang tuanya. Kami tidak bisa mencegah karena memang TNI tidak hadir di wilayah Nduga. TNI kekurangan personel.
Benarkah persenjataan mereka juga makin bagus?
Mereka beli dari luar negeri. Ada juga rampasan dari anggota TNI/Polri. Sudah jadi rahasia umum, mereka meminta dana desa dari pemerintah pusat untuk membeli senjata. Ini yang akan kami cegah.
Sampai kapan operasi di Nduga?
Sampai OPM habis. Operasi ini juga paralel dengan pembentuk kodim dan koramil di Kenyam. Setelah itu ke distrik lain. Ditargetkan dua-tiga tahun selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo