Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada yang lebih penting akhir-akhir ini bagi tujuh raksasa perusahaan batu bara daripada kepastian perpanjangan operasi. Perpanjangan kontrak itu semestinya menjadi kado istimewa yang mereka tunggu sejak awal tahun ini. Namun, sejak 1 Maret lalu, revisi peraturan pemerintah yang mengatur kegiatan usaha pertambangan mandek di Istana Negara.
Gara-garanya: Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno mengirim surat kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Surat itu berisi masukan Rini terhadap rancangan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. Dalam suratnya, Rini meminta BUMN, selaku kepanjangan tangan negara, menerima peran lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam.
Rini menyoroti pasal 112 ayat 1a rancangan peraturan pemerintah itu. Dalam draf tersebut tertulis pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara dapat memiliki luas wilayah sesuai dengan rencana kegiatan yang telah disetujui Menteri Energi, seperti tertera dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Menurut Rini, pasal tersebut membuat luas wilayah perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang nantinya beralih menjadi izin usaha pertambangan khusus operasi produksi (IUPK-OP) bisa lebih dari 15 ribu hektare. Luas itu melebihi batas yang diatur dalam Pasal 83 poin d Undang-Undang Minerba.
Selain menyoal pasal tersebut, Rini meminta ada aturan tambahan dalam peraturan pemerintah yang memberikan hak prioritas kepada perusahaan pelat merah untuk mendapat bekas wilayah tambang kontrak karya atau kontrak batu bara generasi pertama yang telah berakhir. Rini juga meminta perusahaan negara tidak perlu mendapat rekomendasi pemerintah daerah untuk mendapat izin usaha pertambangan khusus dan dibentuk aturan tambahan tentang akuisisi saham oleh perusahaan negara dalam rangka divestasi.
Tak sampai dua pekan, surat tersebut bocor. Surat beredar dalam bentuk berkas digital di antara para pemegang PKP2B, -yaitu PT Tanito Harum (Harum Energy), PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal (Bumi Resources), PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung (Indika Energy), dan PT Berau Coal (Sinar Mas Group). Mereka perusahaan-perusahaan yang paling awal menambang batu bara, sejak era Presiden Soeharto, yang kini menguasai hampir separuh produksi batu bara nasional.
Garibaldi “Boy” Thohir (kanan)/ Dokumentasi TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Dua sumber yang mengetahui soal beredarnya surat Rini mengungkapkan, surat itu membuat pemegang PKP2B gerah. Sebab, bila usul Rini diterima, baron-baron batu bara tersebut harus melepas sebagian wilayahnya, yang saat ini mencapai 30 ribu-100 ribu hektare, melebihi luas Provinsi DKI Jakarta. Langkah Rini dianggap sebagai upaya menasionalisasi perusahaan batu bara yang notabene milik pengusaha nasional.
Padahal perusahaan batu bara berharap izin perpanjangan operasi keluar awal tahun ini. Rencana pemberian perpanjangan operasi itu terekam dalam sebuah rapat yang digelar di Hotel Santika Premiere, Gubeng, Surabaya, 6-7 Desember 2018. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono mengundang petinggi tujuh perusahaan.
Agenda rapat membahas surat keputusan izin usaha pertambangan khusus operasi produksi perpanjangan kontrak batu bara generasi pertama. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia membenarkan ada pertemuan tersebut. “Tapi itu khusus PKP2B generasi pertama,” katanya pada akhir Desember 2018.
Pembahasan surat keputusan izin usaha pertambangan khusus paralel dengan proses perubahan keenam peraturan pemerintah tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. Revisi ini sekaligus menjadi dasar untuk memperpanjang operasi pemegang kontrak generasi pertama, yang beralih menjadi izin khusus.
GELOMBANG kritik terhadap isi rancangan perubahan keenam peraturan pemerintah tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara sebetulnya sudah kencang sejak November 2018. Gelombang itu muncul setelah beredar dokumen rancangan. Kritik terutama terkait dengan luas wilayah kontrak generasi pertama yang tetap setelah berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus.
Memang, dalam Pasal 171 Undang-Undang Mineral dan Batu Bara disebutkan pemegang kontrak generasi pertama yang sudah beroperasi satu tahun sejak undang-undang itu berlaku harus menyampaikan rencana kegiatan seluruh wilayah kontrak untuk mendapatkan persetujuan pemerintah. Bila rencana tidak disampaikan, luas wilayah awal mereka disesuaikan dengan Undang-Undang Minerba, yakni maksimal 15 ribu hektare. Dengan kata lain, asalkan rencana kerja disampaikan dan mendapat persetujuan, wilayah kerja mereka tidak berubah.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara periode 2013-2015, Sukhyar, menyebutkan, segera setelah kontrak generasi pertama habis, operasi bisa diperpanjang menggunakan IUPK selama dua kali sepuluh tahun dengan wilayah kerja maksimal 15 ribu hektare. “Bukan berarti luas wilayah kerja yang disebut dalam rencana kegiatan berlaku selamanya,” kata Sukhyar kepada Tempo, Desember 2018.
Sisa wilayah kerja dikembalikan kepada negara dan menjadi wilayah pencadangan negara (WPN). Sukhyar saat masih aktif di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merupakan pejabat yang terlibat dalam perumusan Undang-Undang Minerba. Sukhyar menambahkan, napas Undang-Undang Minerba memang untuk membesarkan perusahaan negara dan badan usaha milik daerah. “Wilayah pencadangan itu menjadi privilege BUMN dan BUMD.”
Tafsir berbeda terhadap Pasal 83 Undang-Undang Minerba datang dari Direktur Jenderal Minerba saat ini, Bambang Gatot Ariyono. Menurut Bambang, wilayah kerja maksimal 15 ribu hektare hanya untuk izin usaha pertambangan khusus yang dihasilkan dari proses terminasi. Pemegang kontrak generasi pertama yang beralih menjadi izin khusus, kata Bambang, tidak harus melepas wilayah kerjanya sampai tersisa maksimal 15 ribu hektare. Ini berbeda dengan kewajiban pemegang kontrak karya mineral logam ketika beralih menjadi IUPK, yang wajib melepas wilayah kerjanya hingga tersisa maksimal 25 ribu hektare—seperti kasus PT Freeport Indonesia.
GELOMBANG kritik terhadap isi rancangan peraturan pemerintah tidak mempan. Rancangan tetap jalan dengan lempang. Pada 19 Desember 2018, rancangan sampai di kantor Pratikno, tinggal menunggu tanda tangan presiden. Tapi, sebelum presiden setuju, Pratikno mengirim surat kepada Rini Soemarno dan tiga menteri lainnya pada 2 Januari 2019. Dalam surat tersebut Pratikno meminta Rini, meski tidak masuk tim menteri perumus peraturan itu, ikut membubuhkan paraf. Dimintai konfirmasi melalui telepon dan pesan WhatsApp tentang proses revisi dan suratnya kepada Rini, Pratikno tidak menjawab.
Bukannya langsung membubuhkan paraf, Rini malah meminta anak buahnya memelototi rancangan tersebut. Kajian internal Kementerian Badan Usaha Milik Negara rampung dalam dua bulan. Seseorang yang mengetahui isi kajian itu mengungkapkan, catatan Kementerian sebetulnya banyak, termasuk soal penggunaan barang milik negara hasil operasi kontrak generasi pertama. Dalam pasal 112 ayat 2-c rancangan peraturan pemerintah disebutkan, sepanjang barang milik negara masih dibutuhkan, pemilik izin usaha pertambangan khusus bekas kontrak generasi pertama masih boleh menggunakannya. “Semestinya PKP2B harus menyewa atau membeli barang ini kalau mau menggunakan,” ujar sumber tersebut.
Namun Rini, kata sumber ini, tidak memasukkan semua isi kajian, melainkan hanya mengusulkan sejumlah perubahan yang berkaitan langsung dengan kepentingan badan usaha milik negara. “Menteri Rini hanya memberi masukan,” ucap si sumber. Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno tak merespons ketika dihubungi untuk dimintai konfirmasi tentang kajian dan surat Rini.
Dua sumber Tempo mengatakan, sesaat setelah mendapat bocoran salinan surat Rini, para pemegang PKP2B generasi pertama mengatur strategi. Mereka meminta waktu khusus bertemu dengan Menteri Energi Ignasius Jonan untuk menanyakan kebenaran surat Rini. Audiensi ini antara lain dimotori Garibaldi “Boy” Thohir, bos Adaro. Boy menampik kabar bahwa ia menjadi motor utama. “Bukan saya sendiri yang menginisiasi, melainkan semua pengusaha PKP2B generasi kesatu,” tutur Boy, Kamis, 28 Maret lalu.
Pertemuan kemudian berlangsung di rumah dinas Menteri Jonan di Jalan Denpasar Raya Blok C3 Nomor 16, Kuningan, Jakarta, Sabtu pagi, 16 Maret. Selain Boy, datang lima orang yang merepresentasikan enam pemegang PKP2B generasi pertama, yaitu Arsjad Rasjid mewakili Indika Energy; Nirwan Dermawan Bakrie dari usaha inti Bakri Group, Bumi Resources; Fuganto Wijaya, cucu pendiri Sinar Mas Group, Eka Tjipta Widjaja; Steven Scott Barki, anak pendiri Harum Energy, Kiki Barki; dan Direktur Utama Multi Harapan Utama Adhi Dharma Mustopo.
Adhi Dharma membenarkan pengakuan Boy. Menurut Adhi, para pemegang kontrak batu bara generasi pertama bersama-sama meminta waktu kepada Jonan untuk bertemu. Steven tidak menjawab saat dihubungi sejak Kamis, 28 Maret lalu. Begitu pula Fuganto, yang dihubungi pada Sabtu pagi, 30 Maret. Adapun Corporate Secretary Bumi Resources Dileep Srivastava pada hari yang sama hanya menjawab singkat soal kehadiran Nirwan dalam pertemuan. “No idea,” ujarnya.
Menurut Arsjad, perwakilan pemegang kontrak generasi pertama menyampaikan kekhawatiran atas beredarnya surat Rini. “Penting untuk meminta klarifikasi dan memberikan opini. Kami hanya meminta keadilan, tidak lebih,” kata Arsjad. Para pengusaha juga menyinggung divestasi kontrak generasi pertama. Dia mengatakan semestinya sudah tidak ada lagi isu divestasi bagi mereka. Semua kontrak generasi pertama, ucap Arsjad, sudah dimiliki pengusaha nasional. “We stay here and we don’t go anywhere.”
Seseorang yang ikut dalam pertemuan tersebut mengatakan para pengusaha mempertanyakan surat Rini. Mereka juga menyoal komitmen Kementerian Energi yang tertuang dalam draf peraturan pemerintah. Mendengar keluhan para pengusaha, Jonan, menurut peserta pertemuan ini, hanya menjelaskan bahwa draf sudah sampai di Sekretariat Negara dan tinggal menunggu harmonisasi.
Ditanyai tentang surat Rini yang menjadi motif pertemuan pengusaha dengan Jonan, Boy menjawab diplomatis. “Sebagai kontraktor pemerintah, kami meminta masukan kepada principal, yaitu ESDM.” Adapun Jonan tidak menjawab pertanyaan tentang pertemuan itu. Permohonan wawancara plus pertanyaan tertulis Tempo tidak dibalas.
Jawaban datang dari Direktur Jenderal Minerba Bambang Gatot Ariyono. Menurut Bambang, yang juga ikut mendampingi Jonan dalam pertemuan, tidak ada isu khusus yang dibahas dalam perjamuan nonformal selama satu jam tersebut. “Hanya diskusi umum mengenai pertambangan, dari investasi, produksi, sampai pengembangan komunitas,” katanya. Topik pembahasan juga mencakup penghiliran batu bara dalam bentuk gasifikasi (dimethyl ether) alias elpiji masa depan.
Head of Corporate Communication Division Adaro Febriati Nadira mengakui perusahaannya berharap peraturan pemerintah yang baru menjamin hak pemegang kontrak batu bara generasi pertama mempertahankan luas wilayah usaha yang dimiliki. Menurut tafsir perusahaan, pembatasan terhadap luas wilayah sebesar 15 ribu hektare justru bertentangan dengan Pasal 171 Undang-Undang Minerba. “Kepastian perpanjangan kontrak batu bara generasi pertama dan kelangsungan luas wilayah usaha ini juga telah disepakati pemerintah dalam amendemen PKP2B pada 17 Januari 2018,” ucap Nadira, Kamis, 28 Maret lalu. “Jadi itu semua bukan konsep baru.”
Bila luas wilayah operasi dibatasi maksimal 15 ribu hektare, Nadira menambahkan, penerimaan negara akan terancam. Dia mencontohkan, tahun lalu perusahaannya menyetor royalti US$ 378 juta atau Rp 5,385 triliun dengan kurs Rp 14.200 dan membayar pajak US$ 343 juta atau Rp 4,886 triliun. Bila wilayah operasi dipotong, menurut dia, perusahaan tidak akan mampu menyetor duit sebanyak itu lagi.
Beda Tafsir Aturan Batu Bara
KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo