Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Dosen dan peneliti dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Prasanti Widyasih Sarli dan timnya mengembangkan teknologi kecerdasan buatan atau AI untuk mengidentifikasi kerentanan bangunan perkotaan terhadap gempa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari riset yang dirintis sejak 2022 dengan judul "Resilience for all: Indonesian Large scale Housing Assessment" itu Prasanti diganjar penghargaan L’Oreal-UNESCO for Women in Science 2024 pada 11 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dalam riset ini kami mengembangkan teknologi artificial intelligence (AI) yang dapat membantu mengestimasi kerentanan bangunan rumah hanya melalui foto, bahkan foto yang diambil dari Google Street View," katanya kepada Tempo lewat jawaban tertulis, Senin 18 November 2024.
Gempa tidak membunuh orang melainkan kerusakan bangunan. Kutipan yang populer di kalangan insinyur sipil itu menjadi dasar pengembangan riset Prasanti dan timnya. Ketika ingin memperkirakan kerentanan suatu area yang luas dengan ribuan hingga jutaan rumah terhadap bencana seperti gempa, sangat penting untuk memahami karakteristik bangunannya.
Namun, menurut Prasanti, keterbatasan data dan keragaman tipologi bangunan sering kali menjadi kendala dalam analisis kerentanan. “Terutama di negara miskin dan berkembang, di mana digitasi data masih terbatas dan sistem pemusatan data belum sempurna,” ujarnya.
"Pemetaan risiko bencana akibat gempa tetap menjadi tantangan besar karena kurangnya informasi detail tentang bangunan. Dari sini muncul ide apakah mungkin untuk memperoleh data bangunan hanya melalui foto. Tim membangun sistem AI sendiri dengan membuat database bangunan dan secara manual melabeli ribuan foto bangunan," kata Prasangi.
"Dalam proses ini, tim membandingkan beberapa syntax AI yang tersedia dan memilih yang memiliki performa terbaik. Aplikasi ini juga sepenuhnya kami bangun sendiri dengan tim yang terdiri dari insinyur sipil, ahli sistem informasi, dan pakar seismik," tambahnya.
Mereka mengajarkan AI untuk mengidentifikasi karakteristik bangunan berdasarkan foto. Sejauh ini jenis bangunan yang dikenali AI baru beberapa. Namun begitu, tim telah melihat potensi keberhasilannya untuk dikembangkan lebih lanjut.
Langkah awal yang dilakukan tim dengan menggunakan AI adalah mengidentifikasi tipologi bangunan di mana setiap tipologi memiliki sifat kerentanan bangunannya sendiri. Saat ini tim masih menggunakan beberapa asumsi, misalnya semua bangunan dengan tipologi yang sama dianggap memiliki tingkat kerentanan yang sama, seperti bangunan kayu. Tim menyadari bahwa dalam kenyataannya, kerentanan bisa bervariasi meskipun dalam tipologi yang sama. Ke depannya mereka berencana untuk mempertimbangkan perbedaan-perbedaan ini secara lebih rinci.
Setelah itu, tim menggunakan koordinat bangunan untuk menghitung jaraknya dari sumber potensi gempa tertentu guna memperkirakan risiko bangunan terhadap bahaya gempa. "Model kami tidak memiliki limitasi untuk skala magnitudo gempa. Model ini dapat diaplikasikan untuk gempa dengan magnitudo berapa pun, selama data potensi bahayanya tersedia,” ujarnya.
Data penunjang itu terkait lempeng tektonik, besar potensi gempa, kondisi tanah, dan lainnya. Sejauh ini informasi gempa yang digunakan masih terbatas. Tim baru mengaplikasikan teknologi ini pada kasus bahaya gempa di Bandung dan Padang. “Jika kami memiliki skenario gempa kecil, sedang, maupun besar, dapat diprediksi dampak gempa terhadap bangunan tersebut,” ujarnya.
Prasanti mengakui masih banyak asumsi yang digunakan. Namun, pendekatan yang dilakukan tim sudah memberikan informasi awal tentang struktur bangunan yang selama ini sering kali kurang diperhitungkan dalam pemetaan risiko. Dengan adanya data ini, tim berharap pemetaan risiko bahaya gempa dapat menjadi lebih akurat dan bermanfaat. Hasil uji coba menunjukkan bahwa penggunaan teknologi ini memiliki potensi yang besar untuk membantu mengidentifikasi kerentanan bangunan secara cepat dan akurat.
Idealnya, menurut Prasanti, teknologi ini dapat digunakan untuk memperkirakan potensi kerusakan akibat bencana gempa dan divalidasi dengan peta kerusakan nyata. Jika hasilnya menunjukkan korelasi yang baik, model itu dapat dianggap memadai. Tim masih harus memperbanyak jenis bangunan untuk diidentifikasi. sementara kurva kerentanan untuk setiap tipologi bangunan saat ini masih dianggap sama. Padahal, seharusnya setiap bangunan dapat memiliki tingkat kerentanan yang berbeda, meskipun tipologinya sama. Aspek itu dinilai masih perlu terus disempurnakan.
Pransati yang biasa disapa Asih, lulusan S1 dan S2 Teknik Sipil ITB pada 2010 dan 2012, kemudian meraih gelar doktor pada 2015 dari Jurusan Teknik Sipil Universitas Tokyo, Jepang, dengan fokus pada energi angin. Pada tahun 2016, ia sempat bekerja di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Indonesia untuk membantu pembangunan program pengembangan proyek energi terbarukan berbasis masyarakat di seluruh negeri.
Saat ini, ia tergabung dalam tim Resilient Indonesian Slums Envisioned (RISE) yang telah mendapatkan dana penelitian bersama dari Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Dewan Riset Belanda (NWO). Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) angkatan 2022 itu juga kontributor aktif World Economic Forum.