Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

digital

Etika Kecerdasan Artifisial. Seperti Apa?

Pemerintah menerbitkan Etika Kecerdasan Artifisial bagi pelaku usaha dan aktivitas pemrograman. Pedoman yang tak mengikat.

7 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Komunikasi dan Informatika menerbitkan surat edaran mengenai Etika Kecerdasan Artifisial (AI) pada 19 Desember 2023.

  • Surat edaran itu ditujukan kepada pelaku usaha dan aktivitas pemrograman berbasis AI.

  • Sebagai pedoman etika dalam pengembangan dan pemanfaatan AI.

MARAKNYA perlawanan global terhadap kecerdasan buatan (AI) generatif kian memantapkan langkah Nezar Patria. Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika itu memberi contoh gugatan The New York Times terhadap Microsoft dan OpenAI pada 27 Desember 2023. Media terbesar di Amerika Serikat tersebut keberatan bila konten hak cipta miliknya dipakai untuk melatih chatbot AI terpopuler, ChatGPT. “Kondisi seperti itu berpotensi terjadi juga di Indonesia,” kata Nezar di kantornya, 3 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Perselisihan, khususnya tentang hak cipta, ini membuat kami akhirnya mengeluarkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial,” tutur Nezar sambil menunjukkan poster “Tolak Gambar AI” yang dikampanyekan oleh situs web createdontscrape.com di telepon selulernya. “Gerakan untuk menolak generative AI seperti ini sudah mulai muncul di Indonesia,” dia menambahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nezar, yang meraih gelar master of science untuk politik dan sejarah internasional di London School of Economics, University of London, Inggris, pada 2007, mengatakan pengaturan yang tertuang dalam surat edaran tersebut ditujukan kepada pelaku usaha dan aktivitas pemrograman berbasis AI. Selain itu, ucap dia, panduan tersebut menyasar para penyelenggara sistem elektronik lingkup publik dan privat.

“Kami harapkan para pihak tersebut dapat menjadikan surat edaran ini sebagai pedoman etika dalam pengembangan dan pemanfaatan AI,” ujarnya. “Walaupun surat edaran ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dalam implementasinya bakal merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ataupun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi,” tuturnya.

Menurut Nezar, surat edaran ini diterbitkan sebagai langkah awal memperbaiki tata kelola ekosistem AI. Apalagi badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, telah mengeluarkan Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence sebagai standar global. Bahkan, kata dia, Uni Eropa telah menerbitkan undang-undang yang mengatur AI. “Ini mengisi kekosongan hukum di sektor AI. Sambil kita juga menyusun rancangan peraturan presiden ataupun undang-undang yang dibahas bersama DPR.”

Nezar menyebutkan terbitnya pedoman etika bertujuan agar penerapan kecerdasan buatan menjunjung prinsip inklusivitas, aksesibilitas, keamanan, kemanusiaan, kredibilitas, dan akuntabilitas. Ia berharap pedoman tersebut bisa meminimalkan potensi dampak negatif seperti bias, halusinasi AI, misinformasi, dan ancaman hilangnya beberapa sektor pekerjaan akibat otomatisasi AI. “Caranya bisa dengan pemakaian watermark bagi semua produk hasil AI.”

Ia juga berharap penyelenggara AI berfokus pada prinsip sebagai pendukung aktivitas manusia, khususnya untuk meningkatkan kreativitas pengguna dalam menyelesaikan permasalahan dan pekerjaan. Selain itu, menurut Nezar, pedoman ini meminta penyelenggara menjaga privasi dan data sehingga tidak ada individu yang dirugikan. “Kami juga ingin memastikan AI tidak diselenggarakan sebagai penentu kebijakan atau pengambil keputusan yang menyangkut kemanusiaan.”

Surat edaran tentang kecerdasan buatan terbit, menurut Nezar, karena melihat potensi pemanfaatan AI pada pasar global tahun 2023 sebesar US$ 142,30 miliar. Sedangkan kontribusi AI terhadap produk domestik bruto pada 2030 untuk ASEAN sebesar US$ 1 triliun dan Indonesia sebesar US$ 366 miliar. “Jadi potensi pasar AI ini besar sekali,” ucapnya.

Ketua Umum Kolaborasi Riset dan Inovasi Kecerdasan Artifisial (Korika) Indonesia, Hammam Riza, menyambut upaya pemerintah mengatur ekosistem AI. Menurut dia, tata kelola AI di Indonesia saat ini memerlukan perhatian segera untuk membentuk suatu kerangka regulasi yang komprehensif. Meskipun negara ini telah mengambil langkah-langkah dalam mengadopsi teknologi digital, kata Hammam, absennya regulasi khusus untuk AI menimbulkan risiko dan ketidakpastian potensial.

“Untuk mengatasi kesenjangan ini, sangat penting memberikan kejelasan hukum, mengurangi risiko, dan mendorong pengembangan AI yang bertanggung jawab,” ujar Hammam melalui Zoom, 4 Januari 2024. “Kerangka regulasi harus mencakup aspek kunci, seperti privasi data, pertanggungjawaban algoritma, dan transparansi, serta memastikan bahwa Indonesia tetap berada di garis depan adopsi AI yang beretika, inklusif, dan aman,” dia menambahkan.

Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria dalam peluncuran AI Policy & Skilling Lab Indonesia di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta Pusat, 11 Desember 2023/Dok Kominfo

Menurut Hammam, surat edaran tentang kecerdasan buatan menjadi penting bagi para pemangku kepentingan, pengguna, dan pelaku usaha yang terkait dengan penggunaan AI. “Jadi ini sebagai pedoman, guideline saja, supaya tidak berada di ruang hampa,” tutur Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi periode 2019-2021 itu.

Ia mengatakan berbagai negara di semua belahan dunia juga telah mencoba mengatur ekosistem AI. Bahkan beberapa negara, seperti Brasil dan Cina, tak hanya membuat pedoman, tapi juga menerapkan sanksi atau denda bagi yang melanggar. “Kita, Indonesia, juga bakal mengarah ke sana dengan hasil rekomendasi dari Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial yang merekomendasikan pembuatan peraturan presiden sehingga nanti bisa membentuk komite etik terkait dengan AI,” katanya.

Hammam menyebutkan pemerintah tidak terburu-buru membuat regulasi mengenai AI mengingat teknologi ini cukup sulit diatur karena terus berkembang dan ibarat pedang bermata dua. Kehadiran AI diakui banyak pihak memiliki risiko besar, tapi di sisi lain dapat dimanfaatkan untuk berbagai inovasi yang bisa membangun ekonomi bangsa.

Menurut Hammam, Korika serta Badan Riset dan Inovasi Nasional sedang mengerjakan revisi Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial dengan melibatkan masukan dari banyak pihak. Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial merupakan arah kebijakan nasional dalam pengembangan teknologi AI. “Korika bakal digadang-gadang sebagai lembaga orkestrasi yang mengawal implementasi Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial. Nanti ikut tertuang dalam peraturan presiden,” ucapnya.

Ketua Communication and Information System Security Research Center Pratama Persadha mengatakan surat edaran AI masih berupa imbauan kepada pelaku usaha karena tidak ada sanksi hukum. Karena itu, kata dia, tidak ada dampak secara hukum yang dapat menimpa pelaku usaha jika mengabaikan surat edaran ini. “Berdampak pada reputasi serta kredibilitas pelaku usaha jika publik mengetahui terjadi praktik pemanfaatan AI yang tidak baik serta tidak sesuai dengan surat edaran,” tutur Pratama melalui aplikasi WhatsApp, 3 Januari 2024.

Menurut Pratama, surat edaran ini diterbitkan karena pemerintah melihat AI memiliki peluang terus berkembang dan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia. “Ada pula beberapa isu serta tantangan yang berkaitan dengan pemanfaatan AI dalam keseharian, seperti kesalahan atau misinformasi, privasi atau kerahasiaan, ancaman berbasis siber, perlindungan hak cipta, bias implementasi AI, dan pemahaman nilai kemanusiaan,” ujar Pratama.

Menurut dia, meski terdapat tantangan tersebut, seharusnya tidak perlu dibuatkan regulasi baru karena sudah ada beberapa regulasi yang mengaturnya. Regulasi itu antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur misinformasi dan ancaman berbasis siber; Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, yang mengatur privasi atau kerahasiaan; serta Undang-Undang Hak Cipta, yang mengatur perlindungan hak cipta.

Sehubungan dengan hak cipta, kata Pratama, beberapa ahli hukum, baik di Indonesia maupun di luar negeri, menyatakan karya yang dihasilkan oleh AI tidak memiliki hak cipta karena tak memenuhi konsep orisinalitas. “Selain itu, tidak dibuat oleh manusia. Karya AI adalah kombinasi dari karya-karya terdahulu yang dimodifikasi oleh mesin sehingga karya tersebut tidak mencerminkan ciri khas serta pribadi dari penciptanya,” ucapnya.

Pratama mengatakan bentuk regulasi yang optimal untuk mendukung ekosistem AI di Indonesia harus mencerminkan keseimbangan antara mendorong inovasi dan melindungi kepentingan publik. Prinsip itu memiliki beberapa elemen yang dapat menjadi bagian dari regulasi yang efektif, seperti adanya kerangka hukum yang jelas serta konsisten untuk mengatur pengembangan, pengujian, dan implementasi teknologi AI yang mencakup undang-undang, peraturan, dan pedoman yang terinci.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tata Krama Kecerdasan Artifisial"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus