Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah startup di Bandung membuat software amplifier untuk studio rekaman serta alat musik gitar, bass, dan efector. Aneka produk digitalnya yang berlabel Kuassa itu sekitar 98 persen laris di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Timur. Selain di komputer, programnya bisa berjalan di sistem operasi iOS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuassa yang dibentuk pada 2010 dibangun oleh tiga orang musisi band di Bandung saat itu, yaitu Grahadea Kusuf dari Homogenic, Adhitya Wibisana pemain bass Helmproyek, dan Arie Ardiansyah gitaris serta vokalis band Disconnected. Idenya berawal dari Arie yang menjajal pembuatan software amplifier selama setahun pada kurun 2006-2007.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya ada beberapa cara membuat software audio itu. Dengan metode analog modelling misalnya, sumber suara yang diolah ke format digital bisa berasal dari sirkuit skematik amplifier fisik. “Masing-masing komponen bisa kita ubah dengan persamaan matematikanya lalu kita konversi ke kode pemrograman,” ujar Arie saat ditemui Tempo di kantornya Rabu, 19 Januari 2022.
Cara lain dengan merekam sumber suara dari speaker atau microphone. “Ada juga yang benar-benar digital hasil simulasi dari cara kerja instrumen musik aslinya,” kata Chief Technology Officer Kuassa itu. Dari banyak metode itu bisa dipilih mana yang lebih cepat dan efektif untuk membuat suatu produk.
Ketika dipakai, pengguna tetap memerlukan kabel untuk plug in atau menyambungkan software di komputer atau smartphone ke gitar, bass, atau alat mixing. Pengaturan atau pilihan ragam suara dan efeknya diatur lewat gambar animasi yang menyerupai kotak amplifier fisik di layar monitor.
Sejauh ini perangkat itu tidak direkomendasikan pada sistem operasi Android. “Karena hasil suaranya ada delay, kalau pengguna maunya langsung,” ujar Arie.
Melibatkan lima orang programmer, puluhan jenis software amplifier Kuassa kebanyakan diminati pemain gitar. Harganya terentang dari US$ 25–300. Meskipun diminati konsumen mancanegara untuk hobi bermusik hingga pembuatan scoring film atau musik latar cerita, pembeli dari Indonesia masih kurang dari 2 persen. “Tapi angka pembelinya bertambah dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Secara umum, penjualan Kuassa per bulan, menurut Arie, berkisar ratusan hingga ribuan lisensi. Kini mereka tengah melirik untuk mengembangkan perangkat lunak suara dari instrumen lain untuk menyiasati kejenuhan produk global sejenis.
Baca:
Software Sejuta Umat Log4j Berisiko Sangat Besar, Disadari di Minecraft
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.