Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ooredoo dan Hutchison 3 dilebur di tengah kompetisi layanan 5G.
Merger mengakhiri negosiasi alot sejak akhir 2020.
Para pesaing tak ingin ketinggalan menggenjot layanan 5G.
SURABAYA menjadi lokasi ketiga bagi PT Indosat Tbk untuk memasarkan layanan teknologi seluler generasi kelima (5G) Indosat Ooredoo di Nusantara. Perusahaan telekomunikasi digital ini meluncurkan produk terbarunya itu di Kota Pahlawan pada Kamis, 16 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami terus mempercepat transformasi Indonesia menjadi bangsa digital dan berkemampuan 5G,” kata President Director and CEO PT Indosat Tbk Ahmad Abdulaziz Al-Neama dalam acara peluncuran yang digelar virtual itu. “Komitmen kami untuk menjadi yang terdepan dalam revolusi 5G di Indonesia.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari setelah peluncuran itu, kabar anyar datang mengonfirmasi wacana lawas Indosat. Ooredoo Group, perusahaan telekomunikasi global asal Qatar, sepakat menggabungkan Indosat, bisnisnya di Indonesia, dengan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri). Kesepakatan transaksi definitif diteken Ooredoo dan CK Hutchison Holdings Limited, induk Tri di Hong Kong. Kelak perusahaan hasil merger ini bernama PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk.
Dua peristiwa berlainan waktu dan tempat itu berhubungan. Kompetisi ketat di era layanan 5G yang membutuhkan pembiayaan besar makin mendorong konsolidasi di antara pemain telekomunikasi. Selain memperkuat pendanaan yang efisien, konsolidasi bertujuan memperluas spektrum jaringan.
Managing Director Ooredoo Group Aziz Aluthman Fakhroo mengatakan merger akan memberikan nilai dan keuntungan yang signifikan bagi para pemangku kepentingan. Perusahaan gabungan akan hadir dengan kekuatan dan skala yang lebih besar untuk mempercepat transformasi digital Indonesia sekaligus meningkatkan kinerja jaringan dan layanan bagi pelanggan.
Adapun Group Co-Managing Director CK Hutchison Holdings Canning Fok hakulyakin, dengan skala yang lebih besar, baik dari aspek spektrum jaringan maupun pembiayaan, Indosat Ooredoo Hutchison akan mampu memperluas jaringan dan menyempurnakan layanan. Ia mengungkapkan, saat ini CK Hutchison telah berinvestasi dan mengoperasikan bisnis telekomunikasi di 12 pasar di berbagai belahan dunia, beberapa di antaranya telah menyediakan jaringan 5G. “Kami sangat menantikan kesempatan untuk membawa layanan 5G paling inovatif ke Indonesia di waktu yang tepat,” ujarnya.
Pemerintah sebenarnya juga telah lama mendorong konsolidasi industri telekomunikasi. Industri ini punya pemain banyak, tapi dengan sumber daya frekuensi amat terbatas. Akibatnya, sektor ini tak efisien.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate di gedung Kominfo, Jakarta, 6 Juli 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate berharap penyederhanaan industri membawa sektor ini ke titik optimum yang sehat dan efisien. Ia menjamin konsolidasi tidak akan kebablasan hingga hanya menyisakan satu atau dua pemain yang justru bisa menimbulkan iklim usaha tidak sehat. “Pemerintah punya beberapa instrumen regulasi dan kebijakan sebagai kendali untuk membentengi agar pasar tidak lantas mengarah pada kondisi seperti monopoli atau oligopoli,” tutur Johnny, Jumat, 24 September lalu.
•••
TAK mudah mengawinkan Indosat dengan Tri. Karakteristik keduanya berbeda, termasuk segmen pasar yang digarap.
Perlu waktu hampir setahun bagi pemegang saham utama kedua perusahaan, yakni Ooredoo QPSC dan CK Hutchison Holdings Limited, untuk menyepakati aksi korporasi senilai US$ 6 miliar—sekitar Rp 80 triliun—ini. Saking alotnya perundingan, masa berlaku nota kesepahaman yang diteken pada Desember 2020 sampai diperpanjang beberapa kali.
Saat ini Ooredoo Group mengendalikan 65 persen saham Indosat Ooredoo lewat Ooredoo Asia Pte Ltd, induk Indosat di Singapura. Dalam skema merger yang disepakati, CK Hutchison akan menerima saham baru Indosat Ooredoo Hutchison sebanyak 21,8 persen. Sedangkan PT Tiga Telekomunikasi, pemegang saham Tri lainnya, menerima saham baru hingga 10,8 persen dari Indosat Ooredoo Hutchison.
Di sisi lain, CK Hutchison akan mendapat 50 persen saham Ooredoo Asia dengan menukarkan 21,8 persen kepemilikannya di Indosat Ooredoo Hutchison untuk 33 persen saham di Ooredoo Asia. Kemudian CK Hutchison akan beroleh tambahan 16,7 persen kepemilikan di Ooredoo Group lewat transaksi senilai US$ 387 juta—sekitar Rp 5,5 triliun.
Ujung skema transaksi yang berliku itu adalah Ooredoo Group dan CK Hutchison akan mengendalikan bersama Ooredoo Asia, masing-masing memiliki 50 persen. Selanjutnya, perusahaan induk ini bersalin nama menjadi Ooredoo Hutchison Asia, yang mengendalikan 65,6 persen saham Indosat Ooredoo Hutchison.
Indosat Ooredoo Hutchison akan tetap terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Selain Ooredoo Hutchison Asia dan PT Tiga Telekomunikasi, pemerintah Indonesia menjadi pemegang saham ISAT—kode saham Indosat—sebanyak 9,6 persen.
Dengan persetujuan pemegang saham Indosat Ooredoo, para pihak akan menominasikan Vikram Sinha sebagai Chief Executive Officer dan Nicky Lee sebagai Chief Financial Officer Indosat Ooredoo Hutchison. Ahmad Al-Neama akan tetap menjalankan tugas sebagai President Director and CEO Indosat Ooredoo. Begitu pula Cliff Woo, yang tetap menjadi CEO Hutchison 3 Indonesia hingga proses merger rampung. Selanjutnya, jika disetujui Indosat Ooredoo, Ahmad Al-Neama dan Cliff Woo bakal duduk di kursi dewan komisaris perusahaan gabungan.
Ooredoo adalah grup bisnis telekomunikasi yang beroperasi di kawasan Timur Tengah, Afrika Timur, dan Asia Tenggara. Selain berniaga di Qatar, Ooredoo berbisnis di Kuwait, Oman, Aljazair, Tunisia, Irak, Palestina, Maladewa, Myanmar, dan Indonesia.
Sedangkan Tri semula dimiliki oleh Hutchinson Asia Telecom (66 persen) dan PT Tiga Telekomunikasi (33 persen), perusahaan yang terafiliasi dengan Garibaldi “Boy” Thohir—kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Awalnya, keluarga Thohir masuk ke Tri Indonesia pada 2013 dengan membentuk konsorsium bersama Patrick Walujo, pendiri Northstar Group. Mereka membeli 35 persen saham dari Charoen Pokphand, konglomerasi bisnis asal Thailand.
Pada 2019, komposisi pemegang saham itu berubah setelah Tri Indonesia menerbitkan saham baru. Hutchison Asia Telecom mengendalikan 66 persen dengan menyerap saham baru senilai Rp 31 triliun. Sedangkan porsi kepemilikan Tiga Telekomunikasi turun dari 35 persen menjadi 33 persen karena perusahaan hanya membeli saham baru sekitar Rp 16 triliun. Adapun PT Cyber Access Communications, yang sebelumnya pemegang saham mayoritas sebesar 65 persen, tidak mengeksekusi seluruh haknya sehingga kepemilikannya turun tinggal 1 persen.
Aktivitas pelayanan di XL Center, XL Axiata Tower, Jakarta, 18 Agustus 2021. Tempo/Tony Hartawan
Toh, perkawinan dua raksasa telekomunikasi ini memantik reaksi berbeda di kalangan pemerhati kedua korporasi. Aksi penggabungan Indosat-Tri ternyata mendapat respons lain. Fitch Ratings, misalnya, memberi status peringkat negatif kepada Indosat lantaran menilai merger akan menyebabkan porsi kepemilikan Ooredoo Group berkurang.
Pada saat bersamaan, Fitch Ratings Indonesia menyatakan peringkat nasional jangka panjang dan seluruh obligasi senior tanpa jaminan dan sukuk mata uang rupiah ISAT di Rating Watch Negative. Merger perseroan dianggap akan menyebabkan penghapusan pengangkatan tiga notch dari profil kredit standalone (SCP) Indosat di level “BB”.
Fitch berpendapat, hubungan legal dan strategis dengan induk yang berbasis di Qatar, yaitu Ooredoo QPSC, akan berkurang selepas merger. “Kami mungkin akan menilai Indosat secara mandiri, sesuai dengan kriteria peringkat hubungan induk dan anak perusahaan Fitch, yang disebabkan oleh tidak adanya dukungan dari induk pascamerger nanti,” demikian keterangan resmi Fitch yang dirilis pada Selasa, 21 September lalu.
•••
BAGAIMANAPUN, merger Indosat dengan Tri bakal mengubah peta persaingan bisnis telekomunikasi Nusantara. Vikram Sinha, Director and Chief Operating Officer Indosat Ooredoo, optimistis merger akan membawa Indosat Ooredoo Hutchison sebagai pemain besar kedua bisnis telekomunikasi—setelah Telkomsel yang memimpin pasar.
Vikram mengatakan perusahaan gabungan akan memiliki skala, kekuatan finansial, dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mempercepat inovasi digital. “Dengan menggabungkan aset jaringan keduanya, kami berharap dapat menawarkan jangkauan jaringan dan kecepatan Internet yang lebih besar kepada pelanggan untuk menciptakan pengalaman digital yang luar biasa,” tutur Vikram.
Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi mengatakan merger tersebut memang memperbesar kapasitas entitas baru Indosat Ooredoo Hutchison. Tapi posisinya masih jauh di bawah Telkomsel—meski jaraknya makin sempit.
Hingga akhir Juni lalu, Telkomsel menguasai pasar telekomunikasi dengan 169,2 juta pelanggan. Indosat Ooredoo Hutchison dan XL Axiata membuntuti dengan pelanggan masing-masing 60,3 juta dan 56,77 juta.
Kinerja keuangan mereka juga terpaut jauh. Pada 2020, misalnya, Telkomsel membukukan pendapatan Rp 87,1 triliun dengan laba bersih mencapai Rp 25,1 triliun. Pada periode yang sama, Indosat memperoleh pendapatan Rp 27,9 triliun, tapi mencetak rugi tahun berjalan sebesar Rp 630 miliar. Sedangkan XL Axiata mencetak laba Rp 371,6 miliar.
Juru bicara PT XL Axiata Tbk, Henry Wijayanto, juga menganggap konsolidasi diperlukan untuk mendukung terciptanya industri telekomunikasi yang lebih sehat. Bisnis yang efisien akan berimbas pada peningkatan layanan kepada pengguna.
Ihwal rencana konsolidasi XL Axiata, Henry menyebutkan sejak dulu perseroan senantiasa terbuka menjajaki berbagai kemungkinan aksi konsolidasi dengan pihak mana pun. "Ini ranah pemegang saham," ujarnya.
Walau begitu, ia memastikan XL Axiata terus berupaya mengakselerasi penyediaan jaringan dan layanan 5G di Indonesia. Perusahaan sebenarnya secara bertahap telah menyediakan jaringan 5G di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Depok, Medan, Banjarmasin, dan Makassar. Namun kondisinya belum ideal karena masih memakai spektrum yang ada, yakni dynamic spectrum sharing, bukan spektrum khusus untuk pemanfaatan 5G.
Adapun PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) memilih strategi kolaborasi dengan mengakuisisi saham PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo) untuk memasuki era kompetisi 5G. Akhir Mei lalu, FREN melalui anak usahanya, PT Smart Telecom (Smartel), mengakuisisi 20,5 persen saham perusahaan penyedia infrastruktur serat optik untuk jaringan telekomunikasi tersebut senilai Rp 360 miliar.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan pemerintah akan berupaya memastikan akselerasi 5G dilakukan secara komprehensif, dari penyederhanaan regulasi hingga penambahan pasokan spektrum frekuensi radio. “Ke depan, hal ini akan terus diupayakan, termasuk penyiapan talenta digital, literasi digital, dan perumusan peta jalan Indonesia digital 2021-2024,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo