Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

​​Nasib Minyak di Tangan Siapa

Perang Rusia-Ukraina memompa harga minyak dunia yang kadung melambung tinggi seiring dengan pemulihan ekonomi. Dunia, termasuk Indonesia, dalam kekalutan.

12 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Awal mula harga minyak dunia melonjak.

  • Perang Rusia-Ukraina memantik kepanikan.

  • APBN tertekan dari berbagai arah.

SETELAH ditekan pandemi Covid-19 sampai di titik negatif, harga minyak mentah dunia kini seperti kesetanan. Jauh sebelum perang Rusia-Ukraina meletus, gejala pemulihan ekonomi dunia—terutama didorong Cina dan Amerika Serikat—telah mengerek harga minyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulanya, harga minyak dunia jatuh sejatuh-jatuhnya pada kuartal pertama 2020, masa-masa awal Covid-19 merebak. Titik terendahnya tercatat pada 30 April 2020, ketika harga minyak spot—yang dihitung berdasarkan harga tertimbang minyak West Texas Intermediate, Brent, dan Dubai—mencapai US$ 21,04 per barel. Harga minyak spot baru bisa menyentuh US$ 60 dolar per barel pada Februari 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan itu berlanjut seiring dengan pemulihan ekonomi sejumlah negara berkembang. Kendati konsumsi bahan bakar minyak untuk transportasi umum belum pulih, penggunaan BBM oleh kendaraan pribadi menanjak. Bisnis yang mulai menggeliat juga membuat permintaan minyak makin menggelembung. 

Namun pasokan minyak tak sederas permintaannya. Selama masa pandemi, banyak sumur minyak berhenti beroperasi. Sebagian perusahaan energi kadung mengurangi aktivitas mereka untuk menuruti tuntutan pengurangan energi fosil yang makin kencang didengungkan investor dan pegiat lingkungan. Di Amerika Serikat, lebih dari 100 perusahaan minyak serpih bangkrut akibat harga yang mengkerut. Adapun Organisasi Negara Eksportir Minyak (OPEC) dan negara penghasil minyak lain, yang biasa disebut OPEC+, setengah hati menggenjot produksi.

Walhasil, harga minyak terus meledak. Laju kenaikannya makin kencang seiring dengan meningkatnya tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina sepanjang akhir 2021 dan awal 2022. Pada Januari 2022, harga minyak patokan global menembus US$ 90 per barel untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir. Selasa pekan lalu, 8 Maret 2022, harga minyak Brent—yang menjadi acuan bagi dua pertiga minyak dunia—sempat menembus US$ 130 per barel, rekor tertinggi sejak Juli 2008.

•••

HARGA patokan minyak dunia yang tertera di bursa-bursa berjangka memang bukanlah harga fisik pada saat pembelian. Transaksinya menggunakan kontrak berjangka atau opsi untuk pengiriman beberapa bulan ke depan. Maka harga yang beredar di bursa amat dipengaruhi berbagai sentimen pasar terhadap kondisi saat ini dan masa mendatang. Faktor lain juga menentukan, seperti praktik perdagangan menggunakan lindung nilai hingga tingkah para spekulan yang ingin mengeruk untung. 

Kampanye untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia, yang selama ini menyumbang sekitar 10 persen dari pasokan minyak dunia, meningkatkan kepanikan. Sejauh ini, baru Amerika Serikat yang memblokir impor energi dari Rusia. Presiden Joe Biden dalam pengumumannya pada Selasa, 8 Maret lalu, menyebut kebijakan ini sebagai “pukulan kuat lain untuk mesin perang Putin”.

Biden juga berkomitmen melepas 30 juta barel cadangan minyak strategis Amerika untuk menggantikan suplai minyak Rusia dalam waktu dekat. Tambahan pasokan juga diharapkan datang dari sejumlah negara lain sebesar 30 juta barel.

Namun intervensi ini—yang dianggap oleh sejumlah analis hanya menjadi atraksi politik Gedung Putih ketimbang solusi—diperkirakan tak mampu mengerem laju kenaikan harga. Alih-alih begitu, embargo minyak Rusia justru dinilai menambah runyam persoalan bagi pasokan global, terutama di Eropa.

Berbeda dengan Amerika yang hanya mengimpor minyak mentah dan minyak olahan dari Rusia sekitar 709 ribu barel per hari, atau setara dengan 3 persen total impor minyak, negara-negara di Eropa amat bergantung pada Negeri Beruang Putih. Sepertiga kebutuhan minyak Benua Biru dipasok Rusia. Rusia mengekspor 4,8 juta barel minyak per hari ke 48 negara yang bersiap mendukung sanksi ekonomi. Jika memutuskan mengikuti jejak Amerika, mereka harus mencari sumber minyak baru. Risiko bertambah jika Moskow memutuskan menyetop pasokan gas.

Para analis energi dan ekonom memandang hanya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, dan Venezuela yang bisa menutup jurang antara pasokan dan permintaan minyak dunia saat ini. Tingkat produksi minyak mereka masih lebih rendah dibanding kapasitas dan rata-rata produksi sebelum masa pandemi. Persoalannya, mendorong Iran dan Venezuela tak akan mudah lantaran buruknya hubungan kedua negara itu dengan Amerika Serikat.

Harapan datang dari Uni Emirat Arab. Dalam pernyataannya, Selasa, 8 Maret lalu, Duta Besar Uni Emirat Arab untuk Amerika Serikat, Yousef Al Otaiba, menegaskan negaranya percaya bahwa stabilitas di pasar energi sangat penting bagi ekonomi global. “Kami mendukung peningkatan produksi dan akan mendorong OPEC mempertimbangkan tingkat produksi yang lebih tinggi.”

Hingga akhir pekan lalu, sikap OPEC belum terang. Tingginya level ketidakpastian ini membuat harga minyak dunia diproyeksikan tetap berada di atas US$ 100 per barel hingga akhir 2022. Sebagian analis dan pelaku pasar bahkan percaya harga minyak pada masa-masa tertentu sepanjang tahun ini bisa menyentuh kisaran US$ 150-200 per barel. Dan yang paling berdarah jika angka itu tercapai adalah negara-negara pengimpor minyak, seperti Indonesia.

•••

KENAIKAN harga minyak dunia saat ini sudah membikin pening pemerintah Presiden Joko Widodo. Berbicara di depan Sidang Terbuka Senat Akademik Dies Natalis Ke-46 Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat, 11 Maret lalu, Jokowi menyinggung persoalan ini. “Gimana, Bu? Tahannya sampai berapa hari ini?” tanya Jokowi kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga hadir dalam acara tersebut.

Keuangan negara memang sedang tertekan akibat kenaikan harga minyak. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022 disusun dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 63 per barel. Sedangkan ICP terus menanjak, jauh melampaui patokan itu, mengekor pergerakan harga minyak dunia. Per Februari 2022, ICP mencapai US$ 95,72 per barel.

Sebenarnya, kenaikan ICP akan menambah pendapatan negara. Nota Keuangan serta APBN 2022 menyebutkan, jika ICP naik US$ 1 per barel saja dari asumsi awal, penerimaan bakal meningkat 3 persen dari target semula Rp 1.846 triliun. Pundi-pundi pemerintah diperkirakan bertambah sekitar Rp 55,4 triliun, terutama dari pos penerimaan perpajakan.

Namun, pada saat bersamaan, kenaikan ICP juga akan mengerek belanja negara sebesar 2,6 persen. Masalahnya, alokasi belanja pada APBN 2022 mencapai Rp 2.714 triliun. Artinya, beban anggaran berpotensi melonjak sekitar Rp 70,6 triliun. Walhasil, setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel dari asumsi awal US$ 63 per barel, anggaran bakal nombok sekitar Rp 15,2 triliun. Selisih ini, yang bisa saja berlipat-lipat jika ICP terus menggelembung di atas asumsi dasar APBN, kudu ditutup dengan utang jika pemerintah tetap menahan harga dengan subsidi.

Hitungan itu pun masih kasar, indikatif, hanya merujuk pada sensitivitas APBN 2022 terhadap perubahan asumsi ICP, dengan catatan asumsi makro lain tak berubah. Asumsi makro lain meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, tingkat suku bunga Surat Utang Negara berjangka waktu 10 tahun, juga lifting. Dalam praktiknya, perubahan pada satu asumsi makro akan mempengaruhi asumsi lain.

Inilah yang membuat masalah harga minyak bumi bisa merembet ke mana-mana. Lonjakan ICP, cepat atau lambat, akan diikuti kenaikan harga barang dan jasa. Inflasi tinggi pada gilirannya akan menurunkan daya beli, mengurangi tingkat konsumsi yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sedangkan di luar urusan harga minyak, pasar finansial mulai bergejolak dengan pengetatan kebijakan moneter bank-bank sentral utama dunia, terutama The Federal Reserve. Dalam sejarahnya, kebijakan tapering off bank sentral Amerika Serikat itu berpotensi meningkatkan yield obligasi, pelarian modal asing, dan depresiasi mata uang. Kombinasi berbagai risiko itu bisa membawa petaka yang tak pernah terbayangkan.

AGOENG WIJAYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus