Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Keuangan dan Pertamina membahas intensif masalah kenaikan harga minyak dunia.
Lonjakan harga minyak menambah tekanan terhadap keuangan Pertamina yang sudah menanggung beban tinggi.
Skema dana kompensasi disiapkan untuk menahan harga BBM nonsubsidi.
“BU Menteri, saya tanya, gimana, Bu? Tahannya sampai berapa hari ini?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan dadakan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu terselip ketika ia berpidato dalam Sidang Terbuka Senat Akademik Dies Natalis Ke-46 Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jawa Tengah, Jumat, 11 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri duduk di mimbar yang sama. Pagi itu, dia baru menerima penghargaan Parasamya Anugraha Dharma Bhakti Upa Bhasana dari UNS lantaran dianggap konsisten berkontribusi terhadap kesehatan sistem keuangan dan ekonomi global.
Ketika mengawali pidatonya, Jokowi menyinggung masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara—yang juga memenuhi orasi ilmiah Menteri Sri. “Betapa tidak gampangnya mengelola APBN,” kata Jokowi. “Hal-hal yang dulu tidak kita perkirakan semuanya muncul, semuanya. Kelangkaan energi, sekarang semua negara mengalami, tambah perang, harga naik.”
Harga yang dimaksud adalah harga minyak mentah dunia yang makin melambung seiring dengan berlangsungnya perang Rusia-Ukraina. Harga Brent, yang menjadi acuan sebagian besar minyak mentah global, sempat menembus US$ 130 per barel pada perdagangan Selasa, 8 Maret lalu. “Semua negara harga jualnya ke masyarakat sudah naik juga, kita di sini masih nahan-nahan,” tutur Jokowi sambil menyunggingkan senyum di bibirnya.
Entah apa makna di balik senyum Jokowi. Yang jelas, lonjakan harga minyak dunia menjadi pembahasan intensif Kementerian Keuangan dan PT Pertamina (Persero). Dari sejumlah isi pembicaraan, seorang pejabat Pertamina yang mengetahui detail pembahasan itu mengungkapkan, formula subsidi bahan bakar minyak (BBM) Pertalite menjadi topik paling krusial.
Pertalite, produk BBM Pertamina dengan angka oktan 90, mengandung bensin bersubsidi jenis Premium sebanyak 50 persen. Formula subsidi ini menentukan jumlah dana yang akan masuk ke kantong Pertamina. Dana dibayarkan sebagai kompensasi lantaran Pertamina tak diperbolehkan menaikkan harga Pertalite ketika harga minyak dunia terus menanjak.
Sepanjang tahun lalu hingga saat ini, Pertalite masih dihargai sekitar Rp 7.650 per liter—di beberapa wilayah maksimal Rp 8.000 per liter. Angka tersebut jauh di bawah harga keekonomian BBM dengan research octane number (RON) 90 yang diperkirakan mencapai Rp 11 ribu per liter. “Tanpa itu (kepastian dana kompensasi), Pertamina pasti minus,” ujar seorang pejabat menceritakan kondisi keuangan Pertamina yang sedang berdarah-darah karena dipaksa menahan harga bensin. “Subsidi ke Pertalite sudah disetujui untuk 2021. Tinggal angkanya.”
Persoalan dana kompensasi itulah yang membuat laporan keuangan PT Pertamina (Persero) tahun buku 2021 tak kunjung terbit. Biasanya, perusahaan minyak dan gas negara itu menyelesaikan laporan keuangannya pada bulan pertama atau kedua di tahun berikutnya. Tapi, hingga pekan kedua Maret ini, belum ada konfirmasi tentang selesainya laporan keuangan perusahaan.
•••
SINYAL terguncangnya kondisi keuangan Pertamina sebenarnya telah menyala saat Kementerian Badan Usaha Milik Negara merilis daftar perusahaan pelat merah pencetak laba terbesar per triwulan ketiga 2021 pada Januari 2022. Dalam daftar sepuluh BUMN teratas yang dipamerkan saat itu, tak ada logo Pertamina. Posisi tiga besar diisi berturut-turut oleh PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, dan PT Bank BRI (Persero) Tbk.
Pertamina hanya disebut sebagai penghasil pendapatan terbesar, sekitar Rp 548,29 triliun, tanpa publikasi laba-rugi. Rupanya, duit yang digadang-gadang sebagai laba perusahaan masih dikalkulasi di Lapangan Banteng—sebutan untuk markas Kementerian Keuangan yang berada di bilangan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Manajemen Pertamina membenarkan kabar bahwa perusahaan tengah berkoordinasi dengan pemerintah. Perseroan juga sedang memfinalkan hasil pemeriksaan auditor eksternal. “Informasi kinerja 2021 Pertamina akan kami sampaikan kepada publik setelah RUPS (rapat umum pemegang saham) tahunan dilaksanakan,” kata Fajriyah Usman, Vice President of Corporate Communication Pertamina, Jumat, 11 Maret lalu.
Kinerja keuangan Pertamina sangat bergantung pada sektor bisnis hilir yang meliputi pengolahan, pemasaran, niaga dan perkapalan, serta penjualan bahan bakar minyak. Saat ini kegiatan usaha hilir berkontribusi 70-80 persen dari total pendapatan perseroan. Makanya harga minyak mentah dunia yang melambung membuat lini bisnis ini kedodoran. Pertamina harus membeli minyak mentah dan produk BBM dengan harga yang makin mahal. Sedangkan penjualan BBM penugasan pemerintah (PSO) di dalam negeri dikendalikan alias tak naik.
Pertamina hanya bisa menaikkan harga kelompok BBM nonsubsidi seperti Perta Series dan Dex Series. Ketika terakhir kali menaikkan harga, Kamis, 3 Maret lalu, Pertamina hanya menyasar tiga produk. Harga Pertamax Turbo naik dari Rp 13.500-14.000 menjadi Rp 14.500-15.100. Harga Dexlite naik dari Rp 12.150-12.650 menjadi Rp 12.950-13.550 per liter. Harga Pertamina Dex naik dari Rp 13.200-13.700 menjadi Rp 13.700-14.300 per liter.
Stasiun pengisian bahan bakar Pertamina di kawasan Kuningan, Jakarta, Februari 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Adapun harga Pertalite bertahan. Begitu pula harga Pertamax, yang tetap di kisaran Rp 9.000-9.400 per liter.
Fajriyah mengungkapkan, penyesuaian harga produk dilakukan secara selektif, yakni terhadap BBM nonsubsidi tertentu seperti Pertamax Turbo dan Dex Series, yang porsi konsumsinya hanya sekitar 3 persen dari total konsumsi BBM nasional. Sedangkan harga Pertamax, yang porsi konsumsinya 12 persen dari total konsumsi BBM nasional, sedang dikaji dan dimonitor.
Pertamina, Fajriyah menambahkan, juga mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat dalam penetapan harga produk BBM. “Kami mendukung kebijakan pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.
Fajriyah menyebutkan harga Pertalite tidak berubah dalam tiga tahun terakhir. Saat ini porsi Pertalite mencapai 50 persen dari total konsumsi BBM nasional. Meski harga minyak dunia melambung, dia memastikan Pertamina berkoordinasi dengan pemerintah untuk memutuskan Pertalite bakal tetap dijual dengan harga Rp 7.650 per liter. Karena itu, Pertamina dan pemerintah membahas skenario dana kompensasi Pertalite agar harga tak berubah.
Pertalite dan Pertamax, masing-masing RON 90 dan 92, sebenarnya tidak tergolong BBM bersubsidi. Di stasiun pengisian bahan bakar umum swasta, harga BBM yang setara dengan kedua produk ini sudah naik jauh mengikuti harga minyak dunia.
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, BBM penugasan adalah jenis bensin (gasolin) berangka oktan minimum 88. BBM berangka oktan 88 yang diproduksi Pertamina adalah Premium. Perseroan menggunakan Premium sebagai bahan baku Pertalite dengan porsi 50 persen.
Nah, Premium yang ada dalam Pertalite inilah yang mendapat alokasi subsidi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kementerian Keuangan mencatat, selama 2021, realisasi subsidi BBM dan elpiji 3 kilogram sebesar Rp 42,90 triliun, meningkat 24,25 persen secara tahunan. Pemerintah juga melunasi kekurangan pembayaran pada tahun-tahun sebelumnya senilai Rp 10,87 triliun. Sedangkan pada 2022, pemerintah mengalokasikan anggaran belanja subsidi BBM dan elpiji 3 kilogram sebesar Rp 77,5 triliun dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 63 per barel.
Masalahnya, ICP terus menanjak mencapai US$ 95,72 per barel pada Februari 2022. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengalkulasi, kenaikan ICP menyebabkan harga keekonomian BBM meningkat sehingga menambah beban subsidi BBM dan elpiji serta kompensasi BBM dalam APBN. Setiap kenaikan US$ 1 per barel berdampak peningkatan subsidi elpiji sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun.
Persoalan lain: dalam setiap liter produk Pertalite juga terkandung Pertamax—dengan porsi 50 persen—yang tidak mendapat jatah subsidi. Keberadaan Pertamax dalam Pertalite membuat harganya tidak bisa luwes dilepas mengikuti harga pasar. Pencampuran dua jenis produk BBM dalam Pertalite itulah, yakni Premium dan Pertamax, yang membuat pemerintah perlu membuat rumusan dana kompensasi yang pas.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) tetap berbasis Premium. Karena itu, nantinya bahan bakar yang mengandung Premium akan turut mendapat kompensasi dari pemerintah.
Saat ini pemerintah tengah merumuskan cara menghitung pemberian kompensasi bagi badan usaha yang mengalirkan JBKP yang mengandung komponen Premium. “Besarannya akan segera diumumkan,” tutur Isa beberapa waktu lalu.
•••
KINERJA keuangan Pertamina pada paruh pertama 2021 sebenarnya masih positif. Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengungkapkan, pendapatan perusahaan meningkat 23 persen. “Semua indikator keuangan, dari gross margin, profit margin, hingga EBITDA margin, menunjukkan peningkatan positif dibanding kuartal kedua tahun lalu,” ujar Emma penuh percaya diri dalam Virtual Earning Calls, Agustus 2021.
Bahkan kala itu Emma yakin kondisi keuangan perseroan pada semester I 2021 lebih kuat dibanding posisi per akhir 2020. Penopangnya adalah peningkatan penerimaan kas dari pelanggan, kenaikan harga minyak mentah, serta peningkatan volume penjualan. Ia menambahkan, meski penjualan BBM pada akhir periode meningkat, permintaan belum sepenuhnya pulih ke level sebelum masa pandemi Covid-19.
Di sektor hulu, produksi migas turun 4 persen, dari 884 ribu barel menjadi 850 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD). Dalam laporan keuangan yang belum diaudit, per semester I 2021, Pertamina mencatatkan laba bersih sebesar US$ 0,18 miliar atau sekitar Rp 2,57 triliun. Kondisi ini meningkat dibanding posisi pada periode yang sama 2020, yang menunjukkan kerugian US$ 0,77 miliar atau sekitar Rp 11 triliun.
Petugas mengecek instalasi di Kilang Balongan Indramayu, Jawa Barat, yang pembangunanannya sudah melalui tahapan Engineering, Procurement and Construction, pada September 2021. ANTARA/Dedhez Anggara
Masalahnya adalah harga minyak mentah dunia yang sempat menembus US$ 130 per barel beberapa waktu lalu. Lembaga pemeringkat internasional Moody's Investors Service memperkirakan Pertamina akan merugi di segmen hilir jika harga minyak mentah dunia merangsek naik hingga di atas US$ 60 per barel. Pasalnya, perseroan harus menjual produk minyak tertentu di dalam negeri dengan harga bersubsidi.
Moody’s mencermati, selama sembilan bulan pertama 2021, pendapatan yang belum dikurangi bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) Pertamina turun 23 persen secara tahunan menjadi US$ 4,4 miliar. Padahal pada periode itu harga minyak mentah Brent meningkat sekitar 60 persen. Pertamina berharap sebagian kerugian dapat dikompensasi dengan subsidi dan penggantian biaya dari pemerintah.
Sejak 2018, pemerintah telah mengembalikan US$ 2,7 miliar kepada Pertamina untuk kekurangan pendapatan yang timbul dari perbedaan antara harga jual yang diatur pemerintah dan harga pasar untuk jenis bahan bakar tertentu. Dalam laporan Moody’s disebutkan Pertamina memperkirakan kompensasi pemerintah untuk tahun buku 2021 setidaknya US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 21,49 triliun.
Dukungan pemerintah terhadap pendapatan Pertamina itulah yang semula membuat Moody’s kembali menetapkan Pertamina sebagai perusahaan dengan status layak investasi (Baa2, outlook stable) pada pertengahan Januari 2022. Pertamina dinilai telah menjaga pertumbuhan bisnis dengan hati-hati serta melakukan diversifikasi ke energi yang lebih bersih. Likuiditas perseroan juga dinilai baik. Jika utang jangka pendek yang akan jatuh tempo dibandingkan dengan ketersediaan kas per 30 September 2021, keuangan Pertamina menunjukkan posisi kuat.
Namun pejabat Pertamina justru mengungkap gambaran sebaliknya. Masalah keuangan yang dihadapi Pertamina tidak sederhana, khususnya karena pengeluaran perseroan yang jumbo. Biaya di lini usaha hulu, dia mencontohkan, meningkat, terutama yang terbesar untuk mengambil alih pengelolaan Blok Rokan di Riau dan Blok Mahakam di Kalimantan Timur. Laporan keuangan Pertamina yang belum diaudit menunjukkan, per semester I 2021, biaya produksi hulu dan lifting mencapai US$ 2,48 miliar atau sekitar Rp 35,5 triliun, naik sekitar 2,1 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Proyek lain yang membutuhkan dana besar adalah pembangunan kilang Balikpapan yang harus dibiayai dengan kas internal, kira-kira US$ 1 miliar setahun. Tahun ini beban keuangan Pertamina juga makin berat karena ada global bond yang jatuh tempo pada 3 Mei 2022 senilai US$ 1,25 miliar. Obligasi itu dikeluarkan perusahaan pada 3 Mei 2012 dengan kupon 4,875 persen. Tahun depan satu lagi surat utang yang bakal jatuh tempo, yakni pada 20 Mei 2023 sebesar US$ 1,62 miliar.
Vice President of Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman memastikan perseroan tidak akan merestrukturisasi global bond yang jatuh tempo tahun ini. Artinya, Pertamina akan membayar sesuai dengan jadwal dan ketetapan komitmen. “Kami selalu berupaya agar keuangan tetap sehat dan mendapat kepercayaan dari investor,” kata Fajriyah.
Demikian pula untuk pendanaan proyek. Fajriyah meyakinkan Pertamina berkomitmen menyelesaikan proyek strategis nasional, termasuk Refinery Development Master Plan Kilang Balikpapan di Kalimantan Timur. Ia memastikan proyek tersebut tetap berjalan sesuai dengan rencana. “Proyek terus mengalami kemajuan dengan progres mencapai 49 persen dan diharapkan dapat selesai sesuai dengan jadwal.”
Menyikapi tekanan keuangan akibat kenaikan harga minyak dunia, Fajriyah mengatakan, perusahaan berupaya keras mengoptimalkan operasi semua portofolio, termasuk dengan mempercepat program kerja hulu. Selain itu, Pertamina akan melakukan efisiensi secara menyeluruh di semua aspek bisnis, termasuk mereformasi model bisnis dan model operasi. Menurut dia, perseroan akan berusaha menekan biaya produksi BBM dalam negeri, di antaranya dengan memaksimalkan penggunaan minyak mentah domestik dan mengoptimalkan penggunaan gas alam untuk menghemat biaya energi.
•••
DI tengah pendulum ekonomi dunia yang makin bergerak tak menentu ke sana-kemari, harga Pertalite sudah dipastikan tak akan berubah. Pertaruhannya kini ada pada seberapa tahan keuangan negara menanggung bebannya. Pertanyaan Presiden Joko Widodo di Surakarta, Jumat, 11 Maret lalu, juga belum terang jawabannya.
Pagi itu, ketika memulai orasi ilmiahnya di hadapan Sidang Terbuka Senat Akademis Dies Natalis Ke-46 UNS, Jumat, 11 Maret lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menebar optimisme. “Betapapun lamanya musim dingin, yang beku, gelap, murung dan mencekam, musim semi yang ceria pasti akan datang,” kata Sri.
Entah siapa yang nanti bakal selamat.
FAJAR PEBRIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo