Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Sulit Mencari Gabah Murah

Bulog sulit menyerap beras dan gabah dari petani. Impor beras tersendat kelangkaan pasokan di luar negeri.

4 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bulog sulit memenuhi kebutuhan cadangan beras pemerintah 1,2 juta ton.

  • Petani menahan stok gabah hasil panen karena menunggu harga yang optimal.

  • India mulai melarang ekspor beras demi kebutuhan dalam negeri.

LANTARAN terjebak di posisi sulit, Budi Sultika terpaksa berakrobat. Kepala Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik Kantor Cabang Cirebon ini membeli beras medium secara komersial demi memenuhi perintah menyerap hasil panen para petani ataupun mitra di tengah harga gabah yang makin tinggi dan pasokannya makin sulit didapatkan. Kini Bulog Cirebon membeli beras komersial medium yang kadar patahnya 18 persen seharga Rp 9.700 per kilogram. “Serapannya sudah mencapai 12.615 ton,” katanya pada Jumat, 2 Desember lalu.

Menurut Budi, Bulog tak bisa membeli beras dengan harga pembelian pemerintah (HPP). HPP untuk beras medium public service obligation (PSO) adalah Rp 8.300 per kilogram. Dia mengatakan terakhir kali penyerapan beras medium PSO berlangsung pada Agustus lalu. Setelah Bulog Cirebon membeli beras medium komersial, stoknya mencapai 29.506 ton. Stok tersebut tersimpan di sepuluh gudang yang tersebar di Kota dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, serta Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
 
Dengan stok tersebut, Budi menjamin kebutuhan beras bisa tercukupi sampai musim panen rendeng tiba, Maret-April tahun depan. Bahkan, dia menambahkan, Bulog Cirebon sudah mengirim 40 ribu ton beras ke wilayah lain, seperti Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, Jakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bulog Cirebon sulit mendapatkan gabah karena para petani enggan menjual semua hasil panen gadu atau panen di musim kemarau. Bukan cuma Bulog, para pemilik penggilingan menghadapi persoalan yang sama. Wagi, pemilik penggilingan beras di Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, mengaku stok gabah yang tersisa di gudangnya hanya 20 kilogram. “Ini stok terendah,” tuturnya. Padahal biasanya Wagi bisa menyimpan minimal 100 kilogram beras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wagi pun mencari gabah sampai ke Jawa Tengah. Namun upaya itu sia-sia lantaran tidak ada lagi panen. Harga gabah di Cirebon pun meroket. Wagi mengatakan tak bisa memperoleh gabah kering giling dari petani dengan harga Rp 5.500 per kilogram. Harganya kini Rp 6.500-6.600 per kilogram. Sekarang penggilingan milik Wagi, yang bermitra dengan Bulog Cirebon, tak bisa lagi menggiling beras seharga Rp 8.300 sesuai dengan HPP. Beras yang dihasilkan dari penggilingannya kini digunakan untuk memenuhi kuota beras komersial.

Stok beras di salah satu gudang Bulog di Desa Tuk, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon. TEMPO/Ivansyah

Keengganan menjual gabah hasil panen gadu diakui Hartono. Petani 56 tahun asal Desa Suranenggala Kidul, Kabupaten Cirebon, ini mengaku tak menjual semua gabah hasil panen gadu pada akhir September lalu. Menurut dia, kebanyakan petani memilih menjual gabah sesuai dengan kebutuhan. “Saat butuh untuk makan baru dijual,” katanya.
 
Alasan Hartono adalah jarak antara musim panen gadu dan masa tanam rendeng cukup jauh. Jika semua hasil panen dijual sekaligus, dia dan petani lain khawatir tidak akan punya cukup modal buat menanam padi di musim rendeng. Bahkan kini stok gabah yang ia simpan sudah mulai habis. “Dijual untuk modal tanam sekarang.”

Para petani menahan penjualan juga karena menunggu harga gabah naik. Gabah hasil panen gadu biasa dihargai lebih tinggi lantaran kadar airnya rendah. Selain itu, jarak musim tanam gadu ke rendeng jauh. “Saya kemarin jual Rp 6.600 per kilogram,” tutur Suganda, 58 tahun, petani asal Desa Pegagan Kidul, Kapetakan. Suganda yakin harganya bakal terus naik seiring dengan makin sulitnya penggilingan beroleh pasokan. “Dijual seperlunya. Mau mengolah lahan, jual gabah. Mau beli pupuk, jual gabah,” tuturnya.

•••

DALAM rapat bersama Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 16 November lalu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso blakblakan mengaku tak sanggup memenuhi target penyerapan beras sampai akhir tahun ini seperti yang ditetapkan Badan Pangan Nasional. Sampai Ahad, 13 November lalu, stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog tersisa 651 ribu ton. Budi tak sanggup menambah CBP karena tingkat produksi beras rendah.

Dalam wawancara dengan Tempo pada Senin, 28 November lalu, Budi menyebutkan salah satu penyebab rendahnya angka produksi beras adalah cuaca. Menurut dia, sentra produksi beras di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung kebanjiran. "Kampung saya di Jawa Tengah kebanjiran, Sulawesi Selatan juga dilanda hujan sehingga produksi tidak maksimal," ujar pensiunan jenderal polisi bintang tiga itu.

Budi mengatakan rapat koordinasi terbatas bidang perekonomian pada 8 November lalu meminta Bulog memenuhi kebutuhan CBP sampai 1,2 juta ton di akhir tahun ini. Karena pasokan lokal sedikit, kata dia, atas perintah presiden Bulog merencanakan impor sembari berupaya terus menyerap beras dari petani. "Impor adalah langkah terakhir." Dia pun sadar impor akan memancing respons negatif. "Saya akan dihadapkan pada petani, seolah-olah saya tak berpihak ke petani," ucapnya.

Namun pasokan beras di luar negeri juga seret. Di tengah tingginya angka permintaan beras dari Cina dan negara lain, produksi di sejumlah negara seperti Thailand dan Vietnam tak sebanyak biasanya karena persoalan cuaca. Harga beras dunia pun naik 26 persen dibanding pada tahun lalu.

Di tengah kondisi ini, negara produsen tidak begitu saja melepas stok. India, misalnya, sejak 9 September lalu mengumumkan larangan ekspor dan menaikkan bea masuk 20 persen untuk sebagian jenis beras. Tindakan ini menjadi respons atas penurunan produksi beras 5-6,7 persen atau 7,28-10 juta ton.

Guru besar Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, Bayu Krisnamurthi, mengatakan yang terasa saat ini adalah gejala menuju krisis harga pangan. Krisis ini biasanya ditandai dengan kenaikan harga pangan lebih dari 20 persen dan berlangsung lama. Pada September lalu, misalnya, rata-rata harga beras kualitas premium naik 0,8 persen dari bulan sebelumnya dan meningkat 2,4 persen dibanding pada tahun lalu. Harga beras kualitas medium naik 0,9 persen secara bulanan dan meningkat 2,9 persen secara tahunan. Kondisi ini, menurut Bayu, bakal berdampak langsung pada masyarakat berpendapatan rendah.

Kenaikan harga juga dialami Thailand. Data Bank Dunia menunjukkan rata-rata harga beras di Thailand mencapai US$ 431 per metrik ton pada Agustus lalu atau naik 3,11 persen secara bulanan dan 6,94 persen secara tahunan. Angka kenaikan harga beras di Thailand lebih tinggi dari Indonesia.

Di tengah kondisi ini, rencana impor beras oleh Bulog tak mulus. Budi Waseso mengaku terus berkomunikasi dengan produsen di Thailand dan Vietnam demi mendapatkan pasokan. Sayangnya, kata Budi, beras dari Thailand sudah diborong Cina. Padahal pada Agustus lalu Thailand menyanggupi ekspor beras 500 ribu ton ke Indonesia. Namun komitmen ini menjadi tanda tanya. "Saya kontak lagi sekarang cuma 50 ribu ton. Kita bisa tidak kebagian jika terlambat."

RIANI SANUSI, IVANSYAH (CIREBON)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus