Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

PPN Naik Tahun depan, Ekonom Minta Pemerintah Insentif untuk Menjaga Daya Beli Masyarakat

Kenaikan PPN bisa mengerek penerimaan negara. Namun kenaikan PPN juga akan berdampak pada daya beli masyarakat.

15 November 2024 | 16.49 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan ramai dikritik karena dianggap berdampak pada pelemahan daya beli. Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengatakan pemerintah perlu menyiapkan insentif untuk menjaga konsumsi imbas penerapan PPN 12 Persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan tarif PPN tahun depan disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat kerja dengan komisi XI DPR pada Rabu lalu. “Sudah ada UU-nya kita perlu siapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik,” kata dia di Senayan, Rabu, 13 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ajib mengatakan kenaikan tarif PPN bisa mengerek penerimaan, tapi dapat menekan perekonomian. Karena itu, perlu disiapkan insentif untuk menjaga daya beli. Keringanan yang bisa diberikan contohnya dengan menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). “PTKP yang sejak tahun 2016 sebesar Rp 54 juta per tahun, bisa dinaikkan batasnya,” kata dia kepada Tempo, Jumat 15 November 2024.

Besaran PTKP saat ini masih menggunakan hitungan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016. Batas penghasilan tak kena pajak adalah Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan bagi wajib pajak berstatus belum menikah. Artinya orang dengan penghasilan kurang dari nilai tersebut tak kena potongan pajak penghasilan. Sampai saat ini batasan PTKP masih mengacu pada beleid yang dibuat pada 2016 itu.

Pemerintah, kata Ajib, harus mendorong regulasi yang komprehensif dan pro dengan masyarakat. Kenaikan tarif PPN 12 persen, menurut dia berpotensi menambah penerimaan negara sekitar Rp 80 triliun. Tetapi daya beli yang merosot, akan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengatakan kenaikan tarif PPN 12 persen dikhawatirkan tidak sejalan dengan peningkatan penerimaan negara. Bob merekomendasikan pemerintah memberikan relaksasi atau insentif pajak penghasilan 21 Ditanggung Pemerintah (PPh 21 DTP), seperti saat pandemi covid-19. Dengan pemerintah menanggung pajak penghasilan karyawan, diharapkan daya beli dan tetap terjaga karena pekerja mendapat keringanan.

Sementari itu Jaringan pengusaha Muhammadiyah yang tergabung dalam Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) berharap pemerintah membatalkan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Sekretaris Jenderal SUMU, Ghufron Mustaqim, menilai kebijakan itu tidak sensitif kepada pengusaha yang sedang berjuang di tengah penurunan daya beli masyarakat.

"Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika dunia usaha saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikkan angka pengangguran," kata Ghufron dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 15 November 2024.

Ghufron menegaskan, saat ini banyak perusahaan yang mayoritas merupakan UMKM sedang berjuang di tengah ketidakpastian ekonomi. Bahkan, kata dia, banyak yang memutuskan mengurangi jumlah karyawan hingga gulung tikar sehingga menurutnya rencana kenaikan PPN mengancam kelangsungan bisnis mereka.

Ia menyitir data Bursa Efek Indonesia (BEI) tentang rasio keuntungan bersih dengan pendapatan perusahaan kategori LQ45 yang hanya berkisar 11 persen. Menurutnya, keuntungan bersih itu tidak jauh berbeda dengan tarif PPN yang akan dikenakan.

Untuk itu, kata dia, tarif PPN yang lebih rendah akan dapat memutar transaksi penjualan dengan lebih cepat. “Sebab, harga-harga produk bisa menjadi lebih kompetitif. Pada gilirannya, ini dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan,” ujarnya.

Ia mengingatkan, kebijakan yang akan berlaku pada tahun depan itu otomatis menjadikan RI negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN. Sebagai perbandingan, PPN di Malaysia hanya enam persen. Adapun di Singapura dan Thailand sebesar 7 persen. Kenaikan pajak akan semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk di sektor UMKM.

"Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat," ucap Wakil Ketua Lembaga Pengembang UMKM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus